Peran Gender Pada Masyarakat Dayak

Hak Asasi Manusia

September 28, 2024

Bima Satria Putra*

Perempuan Dayak yang mengenakan kostum tradisinya. (credits: pinterest)

MASYARAKAT Dayak hari ini heteronormatif, yang artinya mereka hanya mengakui dua gender, yaitu feminin dan maskulin. Meski begitu, ini adalah hasil dari perubahan sosial.

Sebab Dalam sejarah beberapa suku, terdapat pengakuan terhadap gender ketiga bagi para dukun transgender, yaitu basir  bagi “dukun laki-laki yang feminism” (Ngaju), dan manang bali  yang berarti “dukun yang berubah bentuk” (Iban).

Mereka tidak lebih kuat ketimbang dukun lain, tetapi mereka dipercayai sebagai perwujudan dari dewa-dewa dan mereka memiliki spesialisasi atas beberapa tugas rohaniah yang tidak dapat ditangani dukun pada umumnya.

Report dari misionaris pada 1930-an mengenai seseorang dukun bernama Minyan di Tamambaloh, menyebutkan, “Dia bukan laki-laki dan bukan perempuan. Suara dan bentuk badan dari laki-laki akan tetapi pergaulan hanya dengan perempuan; dia pakai cawat dari laki-laki tetapi kain kepala dari perempuan. Kalau dia oleh anak-anak dipanggil baki’ (: kakek), dia sangat marah tetapi kalau dia disambut dengan piang (: nenek), dia manis. Demikian Minyan satu tipe khusus, sendirian, pada rakyat kecil ini. Tetapi tipe ini, yang sangat kurus, Minyan yang sangat jelek, merupakan satu orang besar: dia dukun dan imam. Dia menyembuhkan orang-orang sakit (dan buat lebih banyak bagi yang mati), mengusir roh-roh jahat, mempersembahkan kurban-kurban, mengantar jiwa-jiwa yang meninggal ke Thailon atau gunung jiwa-jiwa dan punya satu praktek sibuk.”

Hari ini perempuan Dayak pada umumnya bertanggungjawab atas kerja domestik seperti mengasuh anak, mencuci dan memasak. Sementara laki-laki berburu, menjala ikan, menebang pohon dan membangun rumah.

Perempuan pada umumnya dianggap lemah dan laki-laki mesti melindunginya. Perempuan juga memiliki kebebasan yang lebih sedikit dalam berkelana, jarang ikut berperang dan pada umumnya tidak dapat menjadi kepala suku.

Kendati, pada banyak kasus perempuan telah melanggar “peran gender” yang semestinya dan hal ini ditolerir oleh masyarakat. Saya curiga, pengondisian gender dan domestifikasi adalah sesuatu yang terjadi satu abad terakhir. Sebab catatan 1800-an selalu menunjukkan kebebasan perempuan yang “keterlaluan” bagi standar banyak orang pada hari ini.

“Jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan, bagian pusat Kalimantan menunjukkan tingkat ketidaksetaraan seksual yang terbatas dan tanpa pemisahan jenis kelamin,” demikain menuurt Rousseau.

Sementara Tjilik Riwut menyatakan, “Baik laki­ laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kesetaraan jender bukan merupakan hal baru bagi mereka. Peran serta dalam tugas kemasyarakatan, berperang, mengurus rumah tangga dan mencari natkah boleh dilakukan siapapun baik laki­ laki maupun perempuan asalkan mau dan mampu.”

Lumholtz, misalnya. Pernah mencatat tentang kelompok berburu yang terdiri dari seorang laki-laki dan tiga perempuan Ahoeng bersenjata parang dan tombak yang berhasil mendapatkan seekor babi hutan dewasa.

Saya juga mendapatkan laporan serupa dari Ibu Iban saya di Ngaung Keruh. Meski hari ini hal berikut semakin jarang ditemui, ia masih ingat bahwa sewaktu ia kecil, dalulu juga banyak perempuan dewasa yang pergi menjerat hewan ke hutan. Sendirian.

Rousseau menyatakn, bahawa “Bukan hal yang jarang kalau perempuan menjadi kepala suku.”

Enthoven juga melaporkan kesempatan perempuan untuk menjadi kepala suku di Tamambaloh, dan Kayan di Mendalam mengenal Bawang, seorang kepala suku perempuan. Beberapa kepala suku Ahoeng juga perempuan, dan Ngaju mengenal Nyai Balau dan Nyai Undang sebagai tokoh legenda panglima perang dan kepala suku.

Seluruh laporan kolonial pada umumnya mencatat sangat banyak kepala suku perempuan di pedalaman Kalimantan, atau laki-laki jadi kepala suku nominal sementara kekuasaan yang sesungguhnya dipegang oleh istri atau saudarinya.

Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan beragam di tiap tempat. Misal, Dove pernah menyatakan bahwa perempuan Kantu’ biasanya tetap di bilik mereka masing-masing selama pertemuan kampung, tetapi mereka dapat berpartisipasi dengan meneriakkan pendapat mereka atau muncul sejenak ke serambi.

Di Tamambaloh, perempuan dari seluruh usia hadir dalam pertemuan, kalau mereka mau. Saya dikisahkan bahwa, di dalam bilik masing-masing, suami cenderung mendengarkan dan menimbang pendapat istri mereka.

Tidak ada keputusan yang diambil tanpa pengetahuan atau persetujuan istri. Perempuan dan laki-laki sama banyaknya dalam pertemuan kampung dan anak-anak kadang hadir bersama orang tua mereka, beberapa di pelukan ayahnya ketimbang ibu. Yang hadir tidak dianggap mewakili bilik atau keluarga selain diri sendiri.

Di ladang, adalah tugas laki-laki untuk nugal (melubangi tanah untuk benih padi yang ditabur), menebang atau membangun pondok; perempuan menebar benih dan menebas rumput. Selebihnya, kerja fisik dilakukan bersama-sama.

Saya sering melihat laki-laki yang justru memasak dalam gotong royong berladang. Kapan pun laki-laki dapat memasak, mereka melakukannya. Dalam suatu gotong-royong untuk membersihkan akses jalan kampung yang mulai rimbun oleh semak belukar, perempuan hadir dengan parang terikat di pinggang mereka. Tampak gagah.

Pada kesempatan yang lain laki-laki dan perempuan bersama­sama melakukan gotong-royong kerja konstruksi bangunan kampung. Saya tidak dapat menyembunyikan rasa heran saya, sehingga seorang kawan kaget ketika saya menceritakan bahwa di kota ini pasti pemandangan yang aneh.

Meski perempuan ditekankan memiliki tanggung jawab dalam pengasuhan anak, terdapat pembagian kerja yang cukup adil. Anak-anak tidak mesti selalu bersama ibu mereka. Saya punya adik kesayangan, Baki’ Sidin, panggilan mesra saya untuk seorang anak laki-laki Tamambaloh, menghabiskan sebagian waktunya di bilik kakek nenek mereka, tempat saya bermalam selama penelitian.

Ia tidur, makan dan bermain di bilik itu selama berhari-hari meski kakek-neneknya sibuk berladang. Ketika kami hendak berangkat ke ladang, Baki’ Sidin meninggalkan ibunya dan berlari menangis berlari memeluk neneknya. Ibunya menyusul dan tidak dipedulikan.

Satu anak perempuan lagi begitu beruntung karena dirawat oleh keluarga besarnya. Tetapi ia pernah bergurau hendak menukar paman supaya menjadi ayahnya, di depan ayah kandungnya sendiri. Keluarga besarnya hanya tertawa.

Tapi ada sesuatu yang cukup serius yang menunjukkan bahwa anak ini, yang cukup beruntung menjalani bentuk pengasuhan bergilir tetapi juga cukup modern untuk mengetahui bahwa ia mulai mengenali sesuatu yang ideal mengenai bagaimana bentuk keluarga yang semestinya: satu ayah, satu ibu serta beberapa saudara, yang dalam ilmu sosial biasa disebut nuclear family  (keluarga inti).

Anak ini mewakili suatu generasi transisi yang kita dapat tebak akan mengarah kemana, apalagi jika kita mempertimbangkan bahwa rumah panjang telah menurun jumlahnya secara drastis.

Seorang kawan menjelaskan kepada saya bahwa merawat anak tidak menjadi tanggungjawab satu keluarga inti, melainkan satu keluarga besar. Dengan begini, ujarnya, seorang anak pada kenyataannya dapat memiliki “banyak” ayah, ibu dan saudara.

Saya langsung membayangkan bahwa seorang anak Dayak dapat memiliki seorang ayah yang pandai berburu, seorang lagi yang pandai mendongeng, dan mungkin ayah kandungnya sendiri yang pandai menganyam rotan. Ini bukan kasus terpisah.

Tom Harrisson dalam pengamatannya mengenai anak-anak Dayak di Bario pernah menulis, bahwa, “…para pengunjung yang tidak terbiasa dengan generasi muda Bario mungkin tidak bisa menebak mana anak yang dimiliki oleh keluarga tertentu. Hal ini disebabkan karena terkadang seorang anak tidak makan dan tidur di tempat orangtuanya pada malam hari. Anak-anak berkeliaran di seluruh rumah panjang. Ketika sudah cukup umur mereka membaur di daerah sekitar dengan bebas tetapi bertanggungjawab.”

Jelas ada pembagian kerja berdasarkan gender, tetapi pengamatan saya di antara Tamambaloh, Iban dan Tomun, hal ini sering sifatnya cair dan kerja fisik oleh perempuan ditolerir.

Saya yakin bahwa pembagian kerja yang tidak ajeg pada masyarakat Dayak hari ini berasal dari situasi dimana dulunya mereka mesti memanfaatkan setiap tenaga kerja yang tersedia tanpa pembedaan gender.

Ketika bermigrasi, mereka harus membuka ladang dan rumah panjang yang baru. Kerja yang menguras tenaga ini terlalu berat jika hanya dibebankan kepada laki-laki.

Selain itu, telah berladang sedari kecil, tidak banyak yang dapat dibedakan dari ketangguhan, keuletan dan kekuatan antar jenis kelamin. Perempuan bermain-main dengan batang kayu besar dan tidak kikuk memegang parang atau menyalakan api.

Pun pada masa-masa genting seperti perang, kisah mengenai kesatria perempuan ada di banyak suku. Jarangnya pemecahan keluarga untuk membangun bilik yang berbeda telah memusatkan tenaga kerja yang melimpah ke dalam satu unit rumah tangga. Ketika satu bilik dihuni oleh kakek, nenek, anak, menantu dan cucu-cucunya, kerja dapat disebar merata ke keluarga besar tanpa memandang usia dan gender, salah satunya berladang dan mengasuh anak.

Di Kinipan, saya tinggal bersama satu keluarga dimana anak paling bungsu berada di pelukan ayahnya, terus-menerus, sementara istrinya pergi ke ladang. Ayahnya adalah perangkat desa di sana.

Ketika saya katakan bahwa di Jawa atau di kota-kota besar kerja bangunan atau membersihkan belukar dari jalanan sebisa mungkin ditangani laki-laki, atau laki-laki merasa punya tekanan moral untuk mengambilalih pekerjaan fisik dari tangan perempuan, salah satu Ibu Tamambaloh saya terkejut. Ia tidak pernah ke kota dalam waktu lama dan belum pernah serta tidak tertarik meninggalkan Kalimantan Barat.

Ia menunjukkan ekspresi bingung dan bertanya, “mengapa begitu?”

Ia bertanya-tanya apa jadinya jika para perempuan ditinggalkan laki-laki. Ia lalu mencerita­ kan kemandirian beberapa janda di kampungnya, yang justru memperkuat dugaan saya.

Dimana kerja fisik dibenarkan dari kecurigaannya atas ketidakberdayaan perempuan jika laki-laki tidak ada. Perang suku, perburuan kepala atau perdagangan ke pesisir yang lebih sering ditangani laki-laki tampaknya mendorong perempuan untuk terlibat dalam pekerjaan fisik lebih sering ketimbang dalam masyarakat urban modern. Warisannya masih bertahan hingga hari ini, meski semakin terkikis.

Tetapi faktor penting yang memainkan peran signifikan adalah karena mereka dulunya adalah masyarakat yang bersahaja. Kesederhanaan hidup masyarakat tradisional Dayak sangat tidak sebanding dengan beban kerja domestik masyarakat modern.

Saat ini, tampak bahwa perempuan punya kepekaan yang lebih besar untuk menyadarinya.

Menurut Ida Pffeifer, penggambaran bahwa perempuan Dayak harus menjalani hidup yang berat telah dilebih-lebihkan, terutama oleh petualang laki-laki. Siapapun yang memiliki pandangan demikian, tulisnya, “cuma tahu sedikit soal kehidupan harian sebagian besar perempuan di banyak negeri Eropa.”

Ia menjelaskan gambaran umum beratnya kehidupan harian sebagian besar perempuan Eropa pada masanya, dan jika dibandingkan, perempuan Borneo, khususnya Dayak, jauh lebih ringan dan mudah.

“Terutama perempuan Dayak, kadang-kadang mereka pergi ke ladang, di semua kegiatan selama panen padi, selama beberapa jam selama sehari, dan mereka memotong sekeranjang atau lebih padi, dan membawanya pulang; tetapi bahan yang diperlukan untuk tikar dan gubuk dibawa pulang oleh laki-laki, perempuan duduk di ruangan yang lapang, teduh, terbuka, bekerja sesuka mereka, karena tidak ada yang mendesak mereka, dan mereka menanggung hal ini dengan tenang. Jika pekerjaan itu tidak selesai hari ini, maka akan dilanjutkan besok atau lusa. Adapun soal memasak… perempuan Melayu atau Dayak hampir tidak memasak apapun selain menanak nasi. Mereka tidak punya ternak, dan unggas kebanyakan mencari makan sendiri. Mereka tidak memiliki panci untuk digosok, tidak ada kamar yang perlu dibersihkan; semua jenis kotoran tinggal dijatuhkan dengan mudah melalui lantai bambu yang jarang-jarang. Adapun untuk mencuci dan menambal pakaian, karena mereka hanya memakai satu pakaian, dan anak-anak bertelanjang, jadi itu tidak jadi soal.” Demikian ditulis Ida Pffeifer.

David Barclay menyatakan bahwa dalam tiap bentuk entitas politik, termasuk masyarakat anarkis yang pernah tercatat, kesetaraan seksual yang sejati jarang ada. Yang paling mendekati ideal kesetaraan macam ini, menurut Barclay, biasanya cenderung untuk menganut sistem kekerabatan bilateral. Ia mencontohkan Dayak.

Dalam bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu. Kedua belah pihak sama pentingnya untuk ikatan emosional atau untuk transfer properti dan kekayaan. Ini adalah pengaturan keluarga di mana keturunan dan warisan diwariskan secara merata melalui kedua orang tua.

Dengan begini, ada persamaan atau harapan akan persamaan soal pembagian warisan melalui salah satu orang tua dan oleh anggota dari kedua jenis kelamin. Suami dan istri, setelah bercerai, akan cenderung membawa jumlah harta yang sama ke rumah tangga baru.

“Situasi bilateral ini,” tulis Barclay, “pada akhirnya menyediakan panggung untuk partisipasi yang relatif setara dalam bidang ekonomi.”*

*disadur dari buku Dayak Mardaheka

avatar

Redaksi