“Busang Mayun” Di Long Lejuh

Daulat

August 29, 2024

Jon Afrizal

Sungai Kayan, Kalimantan Timur. (credits: goggle image)

“Sampai di sini lah kita melihat jasad ayahku, dan akhirnya kita tidak akan pernah melihatnya lagi. Dan, aku bersumpah demi Bungan Malan, kita tidak akan mampu pergi ke hulu sungai melewati pulau ini.”

SUNGAI Kayan, satu dari dua sungai terpanjang di Pulau Kalimantan, berhulu di Gunung Ukeng dan bermuara ke Laut Sulawesi. Sungai ini memiliki panjang sekitar 576 kilometer.

Di bagian hulu Sungai Kayan, terdapat Desa Long Lejuh. Desa ini termasuk ke dalam Kecamatan Peso Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara.

Desa Long Lejuh, adalah wilayah penghidupan Suku Dayak Kenyah, satu suku Dayak dari rumpun besar Apokayan. Apokayan, adalah juga rumpun Dayak terbesar, yang awalnya berasal dari Usun Apau, daerah Baram, Belaga, Sarawak.

Dari sebarannya menuju ke hilir Sungai Kayan, hingga menuju ke Sungai Mahakam. Dayak Kenyah, pada akhirnya, tersebar tidak hanya di Serawak saja. Melainkan juga di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Sebaran ini, selanjutnya, membentuk rumpun Apokayan.

Catatan antropologi tentang Suku Dayak menyebutkan bahwa rumpun suku Apokayan berawal dari pinggiran Sungai Kayan, tepatnya kini di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Menurut mitologi masyarakat Dayak Apokayan, orang Kayan adalah cikal bakal dari seluruh suku-suku kecil Dayak yang berada di sepanjang sungai Kayan. Yakni Dayak Kayan, Dayak Kenyah dan Dayak Bahau.

Diperkirakan masyarakat Dayak Apokayan terdiri dari 64.900 jiwa, pada saat ini.

Dayak Kenyah, kemudian, terbagi sesuai dengan geografi tempat hidupnya. Yakni; Kenyah Bahau (dataran rendah) dan Kenyah Usun Apau (dataran tinggi).

Dayak Kenyah terdiri dari beberapa sub suku. Yakni; Kenyah Bakung, Kenyah Lepok Bam, Kenyah Lepok Jalan, Kenyah Lepok Tau’, Kenyah Lepok Tepu, Kenyah Lepok Ke, Kenyah Umag Tukung, Kenyah Umag Maut, Kenyah Lepok Timei, Kenyah Lepok Kulit, Kenyah Umag Lasan, Kenyah Umag Lung, dan Kenyah Uma Kelep.

Berapa catatan menyebutkan bahwa masyarakat Kenyah dan Kayan, sebenarnya menolak untuk dipanggil “Dayak” oleh orang luar. Sebab, panggilan itu terkesan negatif, bagi mereka.

Semboyan mereka adalah ”Menteng Ueh Mamut”. Yang dalam bahasa Kenyah memiliki arti: seorang yang memiliki kekuatan, gagah berani, dan tidak kenal menyerah.

Terdapat folklore tentang Busang Mayun di Long Lejuh. Yang selanjutnya dituliskan kembali oleh Muhammad Thobroni & Desem Soni dari Universitas Borneo Tarakan, dan dimuat di jurnal ilmiah Sarasvati.

Busang Mayun, dalam bahasa Dayak Kenyah, memiliki arti: pulau hanyut.

Sebagai folklore, tidak dapat diketahui tahun tepat kejadiannya. Namun sebagai tradisi, kisah ini telah menggambarkan tentang tata cara penghidupan mereka.

Dan, cerita ini tetap hadir di tengah masyarakat, hingga hari ini. Sebagai bentuk penghargaan terhadap adat dan tradisi mereka yang telah berusia ratusan tahun lamanya.

Cerita rakyat Busang Mayun mengisahkan tentang seorang pemimpin di masyarakat di Long Lejuh. Lai Bara, demikian namanya, yang diingat sebagai pemimpin yang membawa masyarakatnya dalam kemakmuran hidup.

Selain bijaksana dalam mengambil keputusan, Lai Bara pun menerapkan pola gotong royong pada masyarakatnya.

Lai Bara memiliki dua orang anak laki-laki. Keduanya, akan dipilih satu diantaranya, yang akan mewarisi kepemimpinannya, selepas ia meninggal dunia nanti.

Namun, ketika Lai Bara mengalami sakit keras, ia belum sempat memberikan hak diantara kedua anaknya yang akan memimpin masyarakatnya. Dan, ajal pun menjemputnya.

Ketika kedua anaknya, dibantu oleh masyarakat, akan menguburkan mayat Lai Bara, banjir datang mendera wilayah mereka. Keduanya pun kesulitan untuk menguburnya.

Akhirnya, diputuskan untuk membuat peti dari batu, dan mayat Lai Bara diletakan di dalam dalam peti batu itu.

Selanjutnya, karena tidak adanya pesan terakhir Lai Bara terkait siapa pemimpin kelompok ini, masing-masing anaknya membuat kubu dan saling berseteru.

Akibatnya, masyarakat pun terbelah menjadi dua kelompok pendukung. Dan terjadilah persaingan, yang makin lama, makin tidak sehat bagi kelompok masyarakat ini.

Kondisi ini, kemudian, memunculkan provokator, tukang hasut, pendengki, biang gosip dan pemecah belah di tengah masyarakat.

Hingga, keduanya memutuskan untuk bertarung, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin kelompok masyarakatnya, menggantikan ayah mereka.

Pertarungan ini, membuat satu diantara mereka terluka parah.

“Mengapa ikoq menjelek-jelekkan akeq?” tanya anak kedua kepada anak pertama.

Akeq tidak pernah mengatakan seperti yang ikoq katakan,” jawab anak pertama.

Setelah dialog itu, mereka pun bicara dari hati ke hati, sebagai satu keturunan. Dan, akhirnya, mereka menemukan jawaban, bahwa ada yang bermaksud mengadu domba mereka berdua.

Berdasarkan pembicaraan itu, anak kedua mengalah, dan memutuskan untuk pindah, dan mencari wilayah lain. Sebab, katanya, “Akeq harus mengalah demi kebaikan dan demi ketentraman masyarakat.”

Anak kedua, bersama pendukungnya, kemudian bergerak pergi, dan membawa peti batu berisi jasad Lai Bara.

Dengan menggunakan perahu panjang, mereka menyusur sungai Kayan, dan sampailah di suatu tempat bernama Lung Blangan.

Di sana kelompok ini menetap dan membuat pemukiman baru.

Hingga akhirnya, datanglah banjir besar ke wilayah mereka.

Ketika banjir datang, anak kedua sedang memegang dayung, berusaha mencari perahu untuk membawa peti berisi jasad ayahnya. Ia, lalu ia menyeret dayung itu, dan mulai panik.

“Dewa, tolong hentikanlah banjir ini,” katanya menyeru.

Kepanikannya telah mengeluarkan kekuatanya. Dayung yang diseretnya menimbulkan bentuk garisan di tanah.

Garisan itu pun berpola, dan telah membentuk suatu pulau, dan membuat sebuah daratan lain yang terpisah dari Lung Blangan.

Banjir besar telah pula membuat pulau itu hanyut. Dan membawa serta peti berisi jasad Lai Bara.

Namun, yang terjadi, justru sangat mencengangkan. Masyarakatnya hanya memikirkan dan bertindak untuk menyelamatkan diri mereka sendiri saja.

Tidak satu pun dari mereka yang berusaha untuk menolongnya. Apalagi untuk mencegah peti berisi jasad Lai Bara hanyut terbawa banjir.

Anak kedua pun marah. Dan mengeluarkan sumpah.

“Sampai di sini lah kita melihat jasad ayahku, dan akhirnya kita tidak akan pernah melihatnya lagi. Dan, aku bersumpah demi Bungan Malan, kita tidak akan dapat pergi ke hulu sungai melewati pulau ini.”

Pulau yang hanyut itu, yang juga adalah tanah dimana peti jasad Lai Bara berada, terus hanyut terbawa air bah.

Dengan rasa sedih, sebagai seorang anak yang tidak mampu berbuat banyak, pulau itu ia namakan: Busang Mayun  (Pulau Hanyut). Sebagai penanda tempat dimana peti berisi jasad Lai Bara hanyut terbawa air bah.

Mengutip halodayak, terdapat tiga dewa tertinggi dalam kepercayaan Dayak Kenyah. Yakni; Peselung Luan, sebagai dewa pencipta alam semesta beserta isinya, Bungan Malan, sebagai dewa pemelihara, pemberi keselamatan, dan kemakmuran kepada manusia, serta, Bungan Ketepet, sebagai dewa perusak dan kematian.

Dari ketiga dewa ini, Bungan Malan adalah yang paling dipuja, dan menjadi tumpuan harapan manusia.

Penghormatan terhadap Bungan Malan, mengutip budaya-indonesia, terlihat dalam tarian Tekenaq Bungan Malan.

Pada tarian ini, tokoh sentral adalah seorang wanita cantik, sebagai penggambaran dari dewa yang paling dihormati. Dimana, pada satu babak dari tarian itu, penari perempuan diangkat oleh para ajai (penari pria) dengan menggunakan gong*

avatar

Redaksi