Intoleransi Di Kota Toleran
Hak Asasi Manusia
July 31, 2025
Jon Afrizal

Ilustrasi “Stop Kebencian” (credits: Pexels)
SETELAH videonya beredar luas di media sosial, sebanyak sembilan pelaku perusakan rumah doa Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI Anugerah Padang) di Kota Padang, Sumatera Barat, ditangkap polisi. Perusakan ini terjadi pada Minggu (27/7) sore, saat 30 orang anak yang didampingi orangtuanya tengah melakukan kegiatan belajar keagamaan.
Sebanyak dua anak perempuan, dilaporkan menjadi korban kekerasan, dan harus mendapat perawatan medis. Dari sisi psikologis, trauma yang mereka hadapi, tentunya, harus pula diobati.
Insiden intoleransi telah terjadi beberapa kali di Kota Padang.
Mengutip Metro TV News, terjadi pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi non-muslim di SMK 2 Padang, pada tahun 2021. Lalu, jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Lubuk Begalung, Kota Padang, mengalami intimidasi dan pembubaran saat sedang melaksanakan ibadah kegamaan, pada tahun pada 2023.
“Polisi telah mengamankan sembilan orang terkait insiden ini, sesuai dengan video yang beredar. Berkemungkinan jumlahnya akan terus bertambah,” kata Waka Polda Sumbar Brigadir Jenderal (Pol) Solihin, mengutip Kompas, Minggu (27/7).
Waka Polda Sumbar mengatakan bahwa sembilan orang yang teridentifikasi sebagai terduga pelaku pembubaran kegiatan dan perusakan rumah doa ini masih berstatus “Terperiksa”. Dan, ia memastikan polisi akan menindaklanjuti kasus ini.
“Kami meminta kepada seluruh masyarakat untuk tetap tenang, dan, tidak ikut terhasut dan terprovokasi pasca insiden ini,” katanya.
Rumah Doa GKSI Anugerah Padang beralamat di RT 002 RW 009 Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat.
“Saya mendapatkan pesan Whatsapp dari warga pada Sabtu (26/7). Warga menyebut bahwa rumah doa ini adalah bangunan gereja,” kata Pendeta Fatiaro Dachi, penanggungjawab Rumah Doa GKSI.

Pencari ikan di Pantai Pasia Nan Tigo, Koto Tangah Kota Padang. (credits: Public Domain)
Warga, katanya, mendapat informasi ini dari petugas yang memasukkan jaringan listrik ke bangunan ini. Selanjutnya, warga pun mengancam akan membakar dan menghancurkan bangunan ini.
Ia mengatakan bahwa rumah doa ini dibangun adalah sebagai tempat pembinaan dan pendidikan anak-anak sekolah. Agar mereka mendapatkan nilai pelajaran agama Kristen, karena anak-anak jemaat GKSI Anugerah Padang ini tidak mendapatkan pelajaran agama Kristen di sekolah formal.
Dan, dari keterangan ini, dapat diketahui bahwa “rumah doa” tidaklah sama dengan “bangunan gereja”. Meskipun, “rumah doa” tetap berada di bawah naungan gereja.
Pun katanya, pendirian rumah doa ini telah dilaporkan ke Ketua RT. Dan telah pula disampaikan ke Kementerian Agama.
“Insiden perusakan dan pembubaran aktivitas umat Kristen ini adalah tindakan intoleransi,” kata Kuasa hukum GKSI Anugerah Padang, Yutiasa Fakho.
Ia mengatakan akan melaporkan insiden pembubaran kegiatan agama dan perusakan rumah doa ini ke kepolisian, agar insiden serupa tidak terulang lagi. Proses hukum, katanya, harus ditempuh untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum bagi para korban. Selain juga, memberikan efek jera kepada pelaku.
“Kekerasan berbasis kebencian terhadap pemeluk agama berbeda, apalagi sampai menyasar anak-anak menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak beribadah warga sesuai keyakinannya,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengutip laman Amnesty International Indonesia.
Sehingga, katanya, pihak berwenang harus segera mengusut dan menyeret pelakunya segera ke meja hijau.
“Pemerintah Kota Padang berkewajiban melindungi hak beragama dan beribadah umat beragama, termasuk saat umat beragama melaksanakan kegiatan pengamalan dan pengajaran,” kata Heronimus Heron, peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), mengutip rilis Pusham UII.

Stasiun Kereta Api Tabing, Koto Tangah Kota Padang. (credits: Public Domain)
Hak warga negara ini, katanya, tertuang dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945; serta Pasal 4, Pasal 22 ayat (1) dan (2), dan Pasal 55 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Kebebasan untuk mengamalkan dan melakukan pengajaran agama adalah kebebasan internal (forum internum) umat beragama yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Pemerintah Kota Padang maupun setiap individu harus menghormatinya,” katanya.
Sementara itu, Ketua AJI Padang Novia Harlina mengatakan pemerintah harus didorong untuk memberikan pemulihan fisik dan psikologis bagi anak yang menjadi korban kekerasan. Pun, mengingatkan jurnalis untuk berpedoman pada kode etik jurnalistik dalam pemberitaan insiden ini.
Wali Kota Padang Fadly Amran mengatakan Pemkot Padang memberikan ruang seluas-luasnya untuk kegiatan pendidikan anak. Meskipun, senyatanya, masih tersisa persoalan di tengah masyarakat.
“Pemkot Padang mendukung, jika jemaat yang jadi korban hendak mengambil langkah hukum terhadap para pelaku pembubaran dan perusakan,” katanya.
Kota Padang, mengutip Pemkot Padang, mendapat pengakuan dari Lembaga Setara Institute sebagai “Kota Toleran” dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2024, pada awal Juni 2025. Kota Padang berada di peringkat ke-72 dari seluruh kota di Indonesia dengan skor IKT 4,495.
Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2017 menyebutkan, penduduk Kota Padang adalah sebanyak 883.767 jiwa.
Pada tahun 1990, sebanyak 91 persen penduduk Kota Padang adalah dari etnis Minangkabau. Dan, Orang Nias adalah kelompok minoritas terbesar.
Pada pertengahan tahun 2023, sebanyak 96,82 persen penduduk Kota Padang menganut agama Islam. Adapun penganut agama Kristen; sebanyak 2,85 Protestan dan sebanyak 1,53 persen, dan Katolik sebanyak 1,32 persen.*

