Matriarki Dan Budaya “Lalok Di Surau” (1)

Lifestyle

April 4, 2025

Jon Afrizal

Sebuah masjid di Padang Lua, Banuhampu, Agam, sekitar tahun 1900-an. (credits: Geheugen van Nederland)

Artikel kali ini mencoba melihat kompromi antara adat dan agama. Matrlineal di satu sisi, dan penciptaan pemimpin agama, di sisi lainnya. Dalam dua tulisan, untuk pembaca Amira.

BUDAYA Minangkabau adalah matriarki. Dimana ibu atau perempuan tua mempunyai kekuasaan mutlak atas kelompok keluarga. Dan, kekuasaan selanjutnya menurun dari garis ibu.

Beberapa orang menyebutnya sebagai pewarisan dari Bundo Kanduang (: ibu dari seluruh kaum).

Bundo Kanduang (Dara Jingga atau Indreswari atau Puti Reno Merak) adalah ibu dari Adityawarman (Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa).

Adityawarman adalah peletak dasar kerajaan Pagarruyung, yang pada masanya disebut dengan Malayapura Suvarnabhumi atau Kanakamedini, sekitar tahun 1347 hingga 1375 Masehi.

Kemudian, kerajaan ini diketahui adalah sebagai kelompok masyarakat Minangkabau, seperti yang dikenal pada saat ini.

Bundo Kanduang berasal dari Kerajaan Malayupura, Dharmasraya.

Selanjutnya, gelar Bundo Kanduang melekat pula pada seorang ratu yang memerintah di Kerajaan Pagarruyung. Ia, diperkirakan memerintah di saat terjadinya kevakuman di wilayah Pagaruyung, sekitar abad 15 hingga 16 Masehi. Demikian, seperti yang dijelaskan pada Kaba Cindua Mato.

Jika mengacu pada Kaba Cindua Mato, maka tokoh Bundo Kanduang kala itu adalah Puti Panjang Rambut II. Ia adalah puteri dari Maharaja Wijayawarman yang bergelar Tuanku Maharaja Sakti I, Dewang Pandan Putrawana.

Puti Panjang Rambut II naik tahta menggantikan ayahnya. Ini karena saudara laki-lakinya, Rajo Mudo, bukanlah figur yang cocok secara politik pada saat itu, untuk didudukan menjadi raja.

Maka, dengan kemungkinan, sejak saat itu, Minangkabau menggunakan garis keturunan dirujuk pada ibu dan klan/marga diwariskan dari ibu. Sementara, ayah dianggap sebagai tamu dalam keluarga.

Rumah Gadang di Minangkabau, sekitar tahun 1895. (credits: Universiteit Leiden)

Kekuasaan, memang, sangat dipengaruhi dengan penguasaan aset ekonomi oleh perempuan. Meskipun, pria dari pihak perempuan memiliki kontrol kekuasaan pada komunitasnya.

Sebagai tamu, tentu saja, pria tidak memiliki “rumah”.

Perkembangan selanjutnya, Rumah Gadang, yakni rumah komunal adat Minangkabau, yang sejatinya hanya didirikan di wilayah berstatus nagari, umumnya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tertentu secara turun-temurun. Rumah Gadang hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum itu.

Sementara itu, agama Islam (Sunni) pertama kali masuk ke dataran tinggi Minangkabau pada abad ke-7 Masehi. Ketika itu, masyarakat Arab hadir di pesisir timur pulau Sumatra pada tahun 674 Masehi.

Selain berdagang, mereka pun membawa masuk agama Islam ke Minangkabau, melalui aliran sungai-sungai yang bermuara di timur pulau Sumatra.

Meskipun terlalu dini untuk disimpulkan, bahwa kata siak (: alim) dalam bahasa Minangkabau, merujuk pada Sungai Siak, maka diperkirakan bahwa agama Islam masuk melalui aliran Sungai Siak ke dataran tinggi Minangkabau. Sungai Siak bermuara di timur pulau Sumatra.

Walaupun, beberapa catatan lainnya, juga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui aliran Sungai Batanghari.

Tidak ada catatan otentik yang ditemukan tentang muasal budaya “Lalok Di Surau”. Namun, akar budaya Islam yang kuat di Minangkabau dapat dirujuk pada perang antara Kaum Agama dengan Kaum Adat pada tahun 1803, yang biasa dikenal, meskipun penyebutannya keliru, dengan nama “Perang Paderi”.

Sebab, padre adalah kata dalam bahasa Portugis, yang berarti: pendeta. Kata yang disadur sekenanya oleh para peneliti Barat, untuk menamai kondisi perang kala itu.

Dan, tentu saja, kata padre atau paderi bukan berasal dari bahasa Melayu ataupun Minang.*

avatar

Redaksi