Domestikasi Politik Di Sumatera Tengah (1)
Daulat
March 12, 2025
Jon Afrizal

Pelantikan Kabinet PRRI, 15 Februari 1958. (credits: bode-talumewo)
“Pergolakan-pergolakan daerah di Indonesia dewasa ini terjadi pada saat-saat sedang hangatnya berlangsung Perang Dingin antara Blok Komunis dan Blok Barat. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pergolakan daerah itu merupakan peluang bagi Blok Amerika untuk menungganginya, karena khawatir akan sikap Presiden Soekarno yang akrab dengan Blok Uni Soviet”. Pesan Bung Hatta dan Bung Syahrir, 16 Januari 1958
TRAUMA, mengutip National Library of Medicine, adalah cedera jaringan yang terjadi lebih atau kurang secara tiba-tiba karena kekerasan atau kecelakaan dan menciptakan hipotalamus-hipofisis-adrenal dan respons imunologis dan metabolik yang bertanggungjawab untuk memulihkan homeostasis.
Meskipun ada beberapa mekanisme cedera yang berbeda, trauma dapat dikategorikan secara luas menjadi 3 kelompok: trauma tembus, tumpul, dan deselerasi. Ada tumpang tindih yang signifikan dalam penyebab, hasil, dan respons tubuh terhadap berbagai jenis cedera. Namun, tema umum adalah aktivasi sistem saraf otonom tubuh.
Penting juga untuk dicatat bahwa setiap orang merespons trauma secara berbeda, dan kondisi medis kronis yang mendasarinya dapat mengubah respons fisiologis normal. Ada entitas lain, koagulopati yang diinduksi trauma, yang muncul pada pasien trauma.
Itulah yang terjadi pada banyak pelaku sejarah pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang masih hidup pada saat ini. Dimana, mereka merasakan begitu banyak kepedihan terkait dengan Perang Saudara ini.
Pemahaman yang sama tentang tragedi ini, bahwa pergolakan dan pemberontak yang terjadi adalah juga bentuk lain dari “Perang Saudara”, saudara sebangsa dan setanah air. Jika pun tidak sepemahaman tentang definisi “Perang Saudara”, maka baiknya, mari belajar dari sejarah masa lalu.
“Maso Bagulak”, demikian orang Minangkabau biasa menyebutnya, untuk apa yang dalam buku sejarah dikenal dengan PRRI. Mereka berperang untuk, entah melawan “siapa”. Sebab, yang disebut musuh adalah: juga satu bangsa: Indonesia.
Meskipun, dalam prasa orang-orang yang terlibat PRRI, yang kerap disebut musuh adalah: pemerintah pusat, yang pada masa itu presidennya adalah Soekarno.
Dan, atas persoalan itu, banyak Orang Minang terpaksa harus merantau, karena stigma dan justifikasi politik. Sejak peristiwa PRRI meletus, Orang Minang cenderung disebut sebagai: pemberontak.
Pemberontak adalah orang atau kelompok yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah.
John J. Lalor dalam “Cyclopedia of political science, political economy, and of the political history of the United States” menyebutkan bahwa; pemberontakan, dalam pengertian umum, adalah penolakan dan penentangan terhadap kepatuhan dan kebijakan pemerintah otoritas presiden yang berdasarkan norma fundamental negara.
Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience), organisasi massa, hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada.
Istilah pemberontakan ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa. Tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan, disebut sebagai “pemberontak”.
Harus diakui, Sumatera Barat adalah pusat gerakan PRRI. Meskipun senyatanya, PRRI, sebagai gerakan pembangkangan tidak hanya terjadi di Sumatera Barat saja. Tetapi juga di teritori Sumatera Tengah pada umumnya, yakni; Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.

Balaikota Padang, sekitar tahun 1900. Tepat di depan Balaikota, terdapat “Lapangan Banteng”, atau yang sekarang disebut dengan “Lapangan Imam Bonjol”. (credits: Universiteit Leiden)
Domestikasi, menurut sciencedirect, merujuk pada konsep rumah sebagai tempat peristirahatan pribadi dan kekeluargaan dari ranah publik, beserta identitas ibu rumah tangga yang terkait. Sementara domestikasi politik, mengutip springer, adalah domestikasi manusia yang dapat dipahami dalam proses seleksi politik.
Mengutip macrotrends, jumlah penduduk Indonesi pada tahun 1950, adalah 69,5 juta jiwa. Sementara Pemilu pertama diadakan pada tahun 1955.
Pada Pemilu 1955, mengutip KPU, Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih 57 kursi, Masyumi meraih 57 kursi, NU meraih 45 kursi, dan, PKI mendapatkan 39 kursi DPR.
Berdasarkan pemetaan kekuatan politik pada waktu, dua kekuatan politik tengah bersaing meraih kuasa pengaruh di Indonesia. Masyumi di Sumatera, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa.
Begitulah, dan dapat disederhanakan bahasanya, dimana basis massa Masyumi adalah di Sumatera dan bukan sebaliknya. Pun begitu juga dengan PKI, hanya di Jawa, dan tidak berkuasa penuh terhadap Sumatera.
Indonesia pada saat itu baru saja merdeka, yakni sekitar 10 tahun. Dan masih menyibukan diri dengan banyak eksperimen terkait berbagai bentuk dan model kekuasaan dan pemerintahan ala demokrasi.
Soekarno, memilih: Demokrasi Terpimpin. Sebagai dampak dari Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 yang mengakhiri era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer.
Terdapat pula “celah” lain, di luar pemahaman tentang perseteruan politik antara Masyumi dan PKI.
Tersebutlah “Komando Divisi IX Banteng”, yakni komando militer yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945 – 1950) di Sumatera Tengah. Wilayah operasinya adalah; Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau.
Mereka berperan penting dalam pertempuran Agresi Militer Belanda I (1947), dan Agresi Militer Belanda II (1948).
Prajurit Komando Divisi IX Banteng sangat terlatih secara militer. Sebab, mereka adalah tamatan Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, pada masa Jepang memerintah.
Satu pasukan Komando Divisi IX Banteng, yang dianggap terbaik, adalah Resimen 6.
Selanjutnya, pemerintah mengambil kebijakan efisiensi yang di luar perkiraan para prajurit.
Komando Divisi IX Banteng diciutkan menjadi Brigade Banteng. Belum cukup, lalu berlanjut menjadi Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur ke dalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan.
Terdapat banyak pertimbangan dari tokoh-tokoh di Sumatera Tengah kala itu, dalam melihat situasi ini.
Dengan menimbang bahwa; nasib para prajurit yang berjasa sangat mengenaskan setelah era kemerdekaan. Dan juga, kondisi masyarakat tidak sejahtera. Serta, kondisi pembangunan di luar Jawa sangat jauh tertinggal, meskipun sumber devisa terbanyak berasal dari daerah di luar Jawa.
Atas persoalan-persoalan ini maka sejumlah perwira aktif dan perwira purna eks pasukan Divisi IX Banteng di Sumatra Tengah berkumpul di Jakarta pada 21 September 1956. Mereka menggagas pembentukan Dewan Banteng.
Setelah itu, dibentuklah Dewan Banteng, di Padang pada tanggal 20 Desember 1956. Dengan yang dihadiri sekitar 600-an perwira aktif dan purna yang berasal dari Divisi Banteng.
Dewan Banteng diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah. Sedangkan ketua Dewan Banteng adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Kolonel Ismail Lengah, pada tahun 1956 menjabat sebagai Panglima Komando Divisi IX Banteng.
Sedangkan Letnan Kolonel Ahmad Husein adalah Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB. Ia adalah komandan pasukan tempur Padang Area. Pasukan yang memiliki julukan “Harimau Kuranji.”
Ahmad Husein, pada tahun 1956, pernah diusulkan untuk menjadi Gubernur Sumatera Tengah oleh partai NU.
Hanya dua hari berselang setelah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maludin Simbolon selaku Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan, juga dinyatakan bahwa Dewan Gajah melepaskan diri dari Pemerintahan Perdana Menteri Djuanda.
Dengan kata lain, Dewan Gajah dan teritorialnya telah farewell party with Indonesia.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa wilayah teritorial Dewan Gajah berada dalam keadaan Darurat Perang (SOB).
Menyikapi keputusan ini, kemudian, KASAD Jenderal AH Nasution diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk memecat Kolonel Maludin Simbolon. Ia digantikan oleh Letnan Kolonel Djamin Ginting.*

