Dahulukan “Serah Turun”, Sebelum “Jajah Naik”

Ekonomi & Bisnis

December 24, 2024

Jon Afrizal

Umat Nabi Musa sedang menyeberangi Laut Merah untuk menghindari kejaran Firaun. (credits: wiki commons)

MASYARAKAT Provinsi Jambi mengenal isitlah jajah (: pajak). Berdasarkan catatan, sekitar era perdagangan kain belacu di abad ke-16.

Mengutip Jon Afrizal dalam buku Belacu Ditukar Lada, masyarakat Jambi mengenalnya dengan prasa “Serah Turun, Jajah Naik”. Arti dari kalimat ini, adalah; yang pertama-tama memberikan kepada rakyat adalah Kesultanan Jambi.

Kesultanan memberikan berbagai alat perkebunan dan pertukangan kepada rakyat. Agar rakyat dapat berkegiatan ekonomi.

Timbal balik dari pemberian kesultanan ini, maka terciptalah pajak (jajah). Setelah masyarakat mendapatkan alat-alat yang menunjang perekonomianmya, maka sebagai ucapan terimakasih, rakyat pun memberikan beberapa bagian dari pencarian mereka kepada kesultanan.

Yakni berupa berbagai hasil hutan dan perkebunan. Seperti lada, rotan, manau, dan juga berbagai bagian dari satwa, seperti cula badak, misalnya.

Hasil hutan itu, yang kemudian diperdagangkan oleh pihak kesultanan, kepada pedaganga asing yang datang ke wilayah Jambi. Dan, perdagangan ini, diketahui oleh syahbandar, sebagai otoritas bea cukai pada waktu itu.

Pajak telah menjadi subjek utama kontroversi politik sepanjang sejarah manusia. Bahkan, kontroversi itu telah terjadi sebelum pajak menjadi bagian terbesar dari pendapatan nasional sebuah negara.

Mengutip taxfoundation, banyak jenis pajak paling dasar, seperti; pajak penghasilan, pajak properti, pajak penjualan, dan tarif telah ada sejak peradaban awal, yakni sekitar 5.000 tahun yang lalu.

Dinasti Qin pada tahun 221-206 Sebelum Masehi (SM) di Tiongkkok telah menerapkan pajak sebesar 10 persen terhadap: garam, besi, pembuatan uang koin, hasil hutan, dan danau.

Firaun di era Mesir kuno, telah memungut pajak sebesar 20 persen atas semua panen gandum. Bahkan, sewaktu itu, mereka belum menggunakan mata uang logam.

Julius Caesar juga menerapkan pajak penjualan pertama. Caesar Augustus pun melembagakan pajak pendapatan langsung.

Tetapi, konsep pajak yang revolusioner terjadi pada masa Magna Carta pada tahun 1215 Masehi. Sewaktu itu dinyatakan bahwa raja tidak dapat memungut pajak baru tanpa persetujuan dari yang diperintah.

Revolusi Prancis tahun 1789 terjadi karena persoalan pajak. Dimana distribusi beban pajak yang tidak merata terhadap rakyat menjadi faktor utama.

Revolusi Amerika pada abad ke-18 juga terjadi karena kemarahan atas pajak. Kala itu dikenal slogan, bahwa, “Pajak tanpa keterwakilan adalah tirani”.

Sehingga, koloni rakyat Amerika kala itu tidak mau membayar pajak yang dikenakan oleh Inggris Raya kepada mereka tanpa persetujuan mereka. Akibatnya, terjadilah perang: Revulosi Amerika.

Perang Belasting di Minangkabau, adalah sejarah betapa buruknya penerapan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda di era tanam paksa kopi 1908.

Perang, mengutip Britannica, ternyata telah mempengaruhi penerapan pajak oleh negara, lebih banyak ketimbang pajak yang mempengaruhi terjadinya revolusi. Banyak pajak diawali sebagai tindakan perang “sementara”.

Terutama pajak penghasilan, yang pertama kali diperkenalkan di Inggris Raya pada tahun 1799, dan pajak perputaran atau pembelian yang pertama dikenalkan di Jerman tahun 1918.

Penyerbuan Benteng Bastile pada masa Revolusi Perancis, 14 Juli 1789. (credits: wiki commons)

Begitu juga dengan metode pemotongan pajak penghasilan yang dimulai sebagai inovasi pendapatan negara di masa perang di Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris.

Bahkan, Perang Dunia II pun telah mengubah pajak penghasilan di banyak negara. Yang awalnya, pajak hanya untuk masyarakat kelas atas, kemudian berubah bentuknya menjadi pajak massal untuk seluruh rakyat.

Pajak, secara modern, telah diperkenalkan oleh Adam Smith, ekonom abad ke-18. Adam Smith lah yang mensistematisasikan aturan yang harus mengatur sistem perpajakan yang rasional.

Rujukan tentang ini dapat dibaca dalam kompilasi buku The Wealth of Nations, terutama pada Buku V, bab 2.

Adam Smith telah menetapkan empat kanon. Pertama, subjek setiap negara harus berkontribusi terhadap dukungan pemerintah, sedekat mungkin, sebanding dengan kemampuan masing-masing; yakni sebanding dengan pendapatan yang mereka nikmati masing-masing di bawah perlindungan negara.

Kedua, pajak yang wajib dibayar setiap individu harus pasti, dan tidak sewenang-wenang. Waktu pembayaran, cara pembayaran, jumlah yang harus dibayarkan, keseluruhannya harus jelas dan nyata bagi kontributor, dan setiap orang lainnya.

Ketiga, setiap pajak harus dipungut pada waktu, atau dengan cara, yang paling memungkinkan bagi kontributor untuk membayarnya. Dan keempat, setiap pajak harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengambil dan menahan sesedikit mungkin dari kantong rakyat melebihi apa yang dibawanya ke kas negara.

Tetapi, pajak telah menciptakan trend-nya sendiri. Pada saat ini, kewenangan penguasa untuk memungut pajak dengan cara yang sewenang-wenang telah hilang, dan kekuasaan untuk mengenakan pajak sekarang umumnya berada di lembaga parlemen.

Dan, tingkatan sebagian besar pajak telah meningkat secara substansial. Begitu pula dengan rasio pendapatan pajak terhadap pendapatan nasional.

Pajak saat ini dipungut dalam bentuk uang, bukan barang. Tax farming (pengumpulan pajak oleh kontraktor luar) pun telah dihapuskan, dan pajak sebagai gantinya dinilai dan dipungut oleh lembaga pemerintah.

Bahkan, untuk mengatasi inefisiensi lembaga pemerintah, pengumpulan pajak pun telah dikontrakkan ke bank-bank di banyak negara yang kurang berkembang. Selain itu, beberapa negara juga mengalihdayakan administrasi bea cukai.

Sehingga, terdapat pula pengurangan ketergantungan pada bea dan cukai. Banyak negara semakin bergantung pada pajak penjualan dan pajak konsumsi umum lainnya.

Perkembangan penting di akhir abad ke-20 adalah penggantian pajak omzet dengan pajak pertambahan nilai. Pajak atas hak istimewa berbisnis dan atas properti riil mengalami kemunduran, meskipun pajak tersebut tetap menjadi sumber pendapatan penting bagi masyarakat lokal.

Sehingga, beban absolut dan relatif dari pajak pribadi langsung telah meningkat di sebagian besar negara maju. Dan perhatian yang semakin besar telah difokuskan pada PPN dan pajak gaji.

Pada akhir abad ke-20, perluasan e-commerce menciptakan tantangan serius bagi administrasi PPN, pajak penghasilan, dan pajak penjualan.

Masalah administrasi pajak diperparah oleh anonimitas pembeli dan penjual, kemungkinan menjalankan bisnis dari surga pajak luar negeri, fakta bahwa otoritas pajak tidak dapat memantau aliran produk digital atau kekayaan intelektual, dan serentetan aliran uang yang tidak dapat dilacak.

Pajak penghasilan untuk individu dan perusahaan, pajak gaji, pajak penjualan umum, dan, pajak properti di beberapa negara telah menghasilkan jumlah pendapatan terbesar dalam sistem pajak modern.

Pajak penghasilan tidak lagi menjadi pajak “orang kaya”. Pajak tersebut kini dibayarkan oleh masyarakat umum, dan di beberapa negara pajak tersebut digabungkan dengan pajak atas kekayaan bersih.

Penekanan pada prinsip kemampuan membayar dan redistribusi kekayaan, yang mengarah pada tarif berjenjang dan tarif pajak pendapatan marjinal yang tinggi, tampaknya telah mencapai puncaknya.

Yang digantikan oleh perhatian yang lebih besar terhadap distorsi dan disinsentif ekonomi yang disebabkan oleh tarif pajak yang tinggi.*

avatar

Redaksi