Ramai-Ramai Tolak Kenaikan Tarif PPN 12 Persen
Hak Asasi Manusia
December 20, 2024
Farokh Idris

Penolakan terhadap kenaikan tarif PPN 12 persen. (credits: X/@barengwarga)
KEBIJAKAN pemerintah menaikan tarif value-added tax (VAT) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang berlaku sejak 1 Januari 2025, mendapat penolakan dari rakyat. Penolakan ini, terkampanyekan secara online di internet.
Kenaikan tarif PPN juga telah terjadi pada tahun 2022 lalu. Sewaktu itu, pemerintah menaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.
Akun @bersamawarga, misalnya, yang mengkampanyekan petisi penolakan kenaikan PPN 12 persen di platform change.org. Dengan tagar #PajakMencekik dan #TolakKenaikanPPN, sebanyak 111.120 orang telah menandatangani petisi ini pada tanggal 19 Desember 2024 pukul 13.27 WIB.
Adapun alasan penolakan ini, mengutip penjelasan @bersamawarga, rencana menaikan PPN adalah kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga bahan bakar minyak (BBM) akan naik.
Padahal, lanjutannya, keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, angka pengangguran terbuka masih sekitar 4,91 juta orang. Dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor informal, yakni 83,83 juta orang.
Masih menurut data BPS per Bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin merapat dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Trennya sempat naik di tahun 2022, namun kembali menurun di tahun 2023. Tahun ini selisihnya hanya IDR 154.000 saja.
Naiknya PPN juga akan membuat harga barang ikut naik, dan sangat mempengaruhi daya beli. Padahal, terhitung sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot.
Adapun acuan pemerintah untuk menaikan PPN hingga 12 persen ini adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang “Harmonisasi Peraturan Perpajakan (PPN)”. Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) pada tanggal 7 Oktober 2021, dan Presiden Joko Widodo menetapkannya menjadi Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang “Harmonisasi Peraturan Perpajakan (PPN)” pada tanggal 29 Oktober 2021.
Dalam Bab IV Pasal 7 UU HPP terdapat penyesuaian tarif menjadi 11 persen, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2022, dan, menjadi 12 persen, yang mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Ketua DPR, Puan Maharani, mengutip CNN Indonesia, menyatakan pemerintah harus memperhatikan dampak yang akan muncul dari kebijakan itu. Dampak kenaikan PPN pada tahun 2022, contohnya, telah menyebabkan sejumlah persoalan ekonomi.
“Dampaknya akan terasa di sektor konsumsi rumah tangga, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan menengah,” katanya.

Potret kemiskinan di Indonesia. (credits: theindonesianinstitute)
Kenaikan tarif PPN, menurutnya, diprediksi akan memicu inflasi pada konsumsi harian, seperti pakaian, perlengkapan kebersihan, dan obat-obatan.
Dan, terhadap masyarakat luas, dampak buruk pun dapat terjadi ketika produsen dan pelaku usaha menaikkan harga produk secara antisipatif sehingga memicu inflasi naik semakin tinggi.
Mengutip kemenkeu, penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah, seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
Seperti; rumah sakit dengan layanan VIP atau fasilitas kesehatan premium, pendidikan bertaraf internasional dengan biaya mahal atau layanan pendidikan premium, konsumsi listrik rumah tangga dengan daya 3.600 hingga 6.600 VA, beras dengan kualitas premium, buah-buahan kategori premium, ikan berkualitas tinggi (seperti: salmon dan tuna), udang dan crustasea mewah (seperti: king crab), dan daging premium (seperti: wagyu atau kobe).
Sementara penetapan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti; kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0 persen).
Tetapi, barang yang seharusnya membayar PPN 12 persen, antara lain; tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (dulu minyak curah) beban kenaikan PPN sebesar 1 persen akan dibayar oleh Pemerintah (DTP).
“Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan,” Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Pemerintah juga akan memberikan stimulus dalam bentuk berbagai bantuan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah. Seperti; bantuan pangan, dan diskon listrik 50 persen.
Serta insentif perpajakan, seperti; perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen untuk UMKM, insentif PPh 21 DTP untuk industri pada karya, dan berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai IDR 265,6 triliun pada tahun 2025.
Kenaikan PPN, mengutip pajak, penyesuaikan tarif PPN berhubungan dengan peningkatan pendapatan negara. Disesuaikannya tarif PPN adalah untuk menjaga stabilitas anggaran pemerintah.
Adapun dampak jangka panjang dari peningkatan tarif PPN ini, selaras dengan peningkatan pendapatan negara dan stabilitas ekonomi.
Jika dibandingkan dengan negara maju, tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah. Rata-rata tarif PPN seluruh dunia yaitu sebesar 15 persen, sementara di Indonesia saat ini masih 11 persen.*

