Tak Elok Melupakan “Titik Nol” Pekanbaru
Daulat
August 1, 2025
Jon Afrizal/Pekanbaru, Riau

Patok “Titik Nol” Kota Pekanbaru. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Sultan, Raja Muda, dan para Adipati Agung Kerajaan berjanji untuk menjaga perdamaian dan persahabatan dengan Pemerintah Hindia Belanda, sebagai musuh Belanda dan sahabat dari sahabat Belanda, dan berjanji, atas permintaan Pemerintah Hindia Belanda, untuk memberikan segala bantuan yang mereka miliki, baik berupa manusia, senjata, maupun kapal, untuk melawan musuh Belanda dan kepada sahabat Belanda.” Traktat Siak
DI tepi Sungai Jantan, di eks Pelabuhan Pelindo Kota Pekanbaru.
Sungai itu kini biasa disebut dengan Sungai Siak. Pun, areal itu bukan lagi Pelabuhan (: bandar).
Melainkan telah berubah bentuk menjadi relokasi sementara “Pasar Bawah” di Kampung Dalam, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru, tempat beberapa item produk impor dapat dibeli.
Ketika memasuki kawasan ini, tepat di sebelah kiri, terdapat patok berwarna kuning. Tentunya, bukan patok biasa. Patok itu, adalah “Titik Nol” Kota Pekanbaru.
Beberapa literatur lama menyebutkan bahwa patok berwarna kuning itu telah ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1920. Sebagai penanda jarak antar wilayah, jika melalui jalur darat.
Seperti; dari Pekanbaru ke Padang (313 kilometer), dan dari Pekanbaru ke Bangkinang (65 kilometer). Sehingga, pada patok itu, tentu saja Kota Pekanbaru adalah titik 0 (nol).
“Titik Nol” Kota Pekanbaru terdaftar sebagai cagar budaya pada Inventarisasi BPCB Sumatera Barat, dengan nomor 08/BCB-TB/B/01/2014.
Jika pun nanti, ditemukan atau diklaim terdapat “Titik Nol” yang lain di Kota Pekanbaru, seperti Tugu Zapin di depan Kantor Gubernur Riau di Jalan Sudirman Pekanbaru, misalnya, tentu saja tidak akan dibahas di tulisan ini. Karena, tidak “satu ruang dan satu bangun” pun juga tidak satu masa dalam sejarahnya.
Diketahui, bahwa ibukota pemerintahan Kesultanan Siak berpindah beberapa kali. Bermula dari Buantan, lalu berpindah ke Mempura, selanjutnya berpindah ke Senapelan, dan kembali lagi ke Mempura.
Kembalinya ibukota pemerintahan Kesultanan Siak ke Mempura adalah pada masa Tengku Sulung Syarif Kasim, atau, sesuai namanya pada penabalan, yakni; Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).
Ia adalah Sultan Siak yang ke-12. Sultan Syarif Kasim Tsani adalah sultan terakhir Siak, yang dinobatkan pada tahun 1915.
Sultan Syarif Kasim II, jika berlayar dari Mempura ke Pekanbaru mengarungi Sungai Siak dengan “Kapal Kato”, akan singgah di “Rumah Tuan Kadi”.
Kita akan kembali mengingat “Bab Al-Qawa’id” atau yang disebut sebagai “Kitab Hukum Kesultanan Siak Sri Indrapura”. Kitab ini membagi wilayah administatif kesultanan menjadi 10 propinsi negeri.
Yakni; Siak, Tebing Tinggi, Merbau, Bukit Batu, Bangko, Tanah Putih, Kubu, Pekanbaru, Tapung Kiri, dan Tapung Kanan.
Propinsi Negeri Pekanbaru, yang kini adalah ibukota Provinsi Riau, dipimpin oleh Hakim Polisi Negeri Pekanbaru, bergelar Datuk Syahbandar. Sedangkan untuk urusan keagamaan, ditunjuk Hakim Syari’ah, bergelar Imam Negeri Pekanbaru.
Kota Pekanbaru, bermula pada masa sultan Siak keempat, yakni Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766 -1780). Tengku Alam menetap di wilayah Senapelan, dan membangun istananya di Kampung Bukit, yang berdekatan dengan Senapelan.

Cagar Budaya “Titik Nol” Kota Pekanbaru. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Letaknya, adalah di sekitar Mesjid Raya Kota Pekanbaru, pada saat ini.
Selanjutnya, Tengku Alam membangun sebuah pekan (: pasar) di Senapelan.
Agar pasar berkembang pesat, maka Raja Muda Muhammad Ali, yang adalah putra Tengku Alam, melanjutkan pembangunan pasar, dengan menggesernya ke sekitar wilayah bandar (Pelabuhan) pada saat ini.
Lalu, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 Masehi, diadakan musyawarah oleh para datuk empat suku; Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar.
Dari musyawarah itu, kemudian, kata “Senapelan” diganti namanya menjadi: “Pekan Baharu”. Yang artinya adalah: pasar yang baru.
Lama makin lama, sesuai perkembangan bahasa, nama itu berubah penyebutannya menjadi: “Pekanbaru”.
Hari terjadinya rapat itulah, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.
Ketika Belanda mulai melirik wilayah-wilayah yang cocok untuk “berpolitik dagang” di pesisir timur Sumatera, maka Pekanbaru pun termasuk didalamnya. Besluit van Het Inlandsch Zelfbestuur van Siak No. 1 tertanggal 19 Oktober 1919 menjelaskan bahwa Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak.
Selanjutnya, melalui Staatsblad tahun 1932 Nomor 135, Pekanbaru menjadi ibukota distrik Onderafdeeling Kampar Kiri. Dan Staatsblad tahun 1940 Nomor 565 tertanggal 1 Januari 1941, menjelaskan bahwa Pekanbaru adalah bagian dari Residentie Riouw (Keresidenan Riau). Sebelumnya, Pekanbaru adalah bagian dari Residentie Oostkust van Sumatra (Keresidenan Sumatra Timur).

Kantor eks Residen Belanda di Siak. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Penguasaan Kota Pekanbaru oleh Kolonial Belanda, tentu tidak terlepas dari “Traktat Siak” pada tanggal 1 Februari 1858.
Setelah penguasaan Kesultanan Siak di wilayah Pantai Timur Sumatera pada tahun 1863 hingga 1900, dan berhubungan erat dengan JT Cremer yang mendirikan Deli Planter Vereniging (DVP) pada tahun 1879, maka penetrasi penguasaan oleh Belanda ke seluruh wilayah Kesultanan Siak pun semakin kentara saja.
Pasal yang termaktub dalam “Traktak Siak”, seperti penggalannya di awal tulisan ini, telah berubah menjadi hak prerogatif Belanda terhadap Kesultanan Siak. Dan, tentunya, ini adalah “kekhilafan” yang terlambat untuk disadari, pada saat itu.
Di Pelabuhan Pekanbaru, kapal milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) tanpa ragu terus menerus membawa hasil bumi pantai timur Sumatera dari Pekanbaru menuju ke Singapura.
Dengan administrasinya yang teratur, kemudian, pemerintah kolonial mendirikan patok berwarna kuning ini. Sebagai penanda jarak, yang berhubungan dengan waktu tempuh, dan juga biaya yang harus dikeluarkan, dari dan ke Pelabuhan Pekanbaru.
Jika patok berwarna kuning ini dilupakan, apapun alasannya, maka penggalan sejarah Kota Pekanbaru pun akan hilang.
Sebab, sangatlah tidaklah mungkin sebuah kota terbentuk secara tiba-tiba begitu saja. Melainkan membentangkan sejarah panjangnya.*

