Kandis, Negeri Di Sumatera Tengah (2)
Inovasi
April 10, 2025
Jon Afrizal

Lubuk Jambi. (credits: Wiki Maps)
SEBELUM era Melayu Jambi (Melayu tua), diyakini telah pula terdapat sebuah negeri dengan struktur pemerintahan yang mendekati kerajaan. Yakni, Negeri Kandis, yang diperkirakan hadir di masa sebelum Masehi.
Pebri Mahmud Al Hamidi dalam “Kerajaan Kandis, Atlantis Nusantara, Antara Cerita dan Fakta” menjelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan baru sebuah negeri atau kerajaan di wilayah Lubuk Jambi. Yup, “kemungkinan” dan “baru”.
Meskipun, masih terbuka banyak kemungkinan-kemungkinan lain. Terkait klaimisasi, berdebatan secara nalar, dan, kisah-kisah lama yang harus diberbandingkan dan dipersandingkan. Serta perubahan yang sangat drastis tentang “nama” yang terkandung dalam “bahasa”.
Sebab, sejarah yang berasal dari legenda oral, adalah langkah awal untuk meneliti keberadaanya.
Masyarakat Lubuk Jambi mengenal kisah, bahwa mereka adalah keturunan dari Raja Iskandar Zulkarnain.
Dinarasikan, bahwa Iskandar Zulkarnain memiliki tiga orang putera. Yakni; Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja.
Ketiganya berpencar mencari wilayah baru. Dimana, Maharaja Alif ke Banda Ruhum (Romawi), Maharaja Depang ke Bandar Cina (Cina), dan, Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra).
Dinarasikan, bahwa anak terakhir, yakni Maharaja Diraja, ketika berlabuh di Pulau Emas, ia beserta rombongannya mendirikan sebuah kerajaan (negeri) yang diberi nama: Kandis.
Negeri itu yang berlokasi di Bukit Bakar (Bukit Bakau). Daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.
Tunggu dulu, tolong disimpan komentar anda untuk penelitian lanjutan saja. Sebab, legenda oral, bukanlah untuk diperdebatkan, dan biarkanlah mengalir sebagaimana adanya. Take it or leave it.
Kisah ini, hampir mirip dengan yang tertera pada Tambo Minangkabau. Mitologi yang menjelaskan tentang Iskandar Zulkarnain. Yakni, dikisahkan yang hampir atau sangat sama, atau, mungkin juga mengadopsi Tambo Minangkabau. Mungkin.

Alexander melawan seekor singa. Mosaik abad ke-3 SM di Museum Pella, Yunani. (credits: Wiki Commons).
“Pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhum (Eropa), yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera.”
Iskandar Zulkarnain, adalah nama lain dari Alexander III dari Macedonia, di era Yunani Kuno. Yang, dalam bahasa Inggris disebut: Alexander The Great.
Ia lahir pada tanggal 20/21 Juli 356 SM dan meninggal dunia pada tanggal 10/11 Juni 323 SM.
Alexander menikah dengan Roxana (Rosyanak). Tujuannya adalah untuk memperkuat hubungannya dengan kesatrapan di Asia Tengah.
Setelah pernikahan itu, Alexander mengalihkan perhatiannya ke anak benua India. Yakni, subkawasan Asia Selatan yang meliputi; India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Sri Lanka, dan Maladewa.
Diketahui, bahwa Alexander tidak memiliki ahli waris yang sah dan jelas. Putranya, yang disebut Alexander IV adalah anak dari hubungannya dengan Roxana.
Alexander IV lahir setelah Alexander The Great meninggal dunia.
Mungkin saja, pertanyaan pun akan muncul. Siapakah ketiga anak dari Alexander The Great yang dimaksud? Tetapi, permakluman, selalu ada dalam sejarah.
Bahwa, anak raja, anak yang terbuang, atau anak yang tidak diakui dalam silsilah kerajaan, pada akhirnya akan menjadi sebuah kekuatan baru, yang akan menentang sejarah itu sendiri. Demikian kira-kira, seperti dinyatakan Sigmund Freud melalui tela’ah teori psikoanalisanya.
Lalu, kisah tentang Lubuk Jambi kita lanjutkan.
Setelah berada di Bukit Bakau, maka Maharaja Diraja membangun sebuah istana (tempat tinggal) yang diberi nama: Istana Dhamna.
Maharaja Diraja memiliki seorang putera bernama Darmaswara bergelar Mangkuto Maharaja Diraja atau Datuk Rajo Tunggal.
Sama seperti kisah heroik di masa lalu, dimana setiap hero memiliki senjata andalan. Maka, Datuk Rajo Tunggal bersenjatakan sebilah keris berhulu kepala burung garuda.
Garuda, menurut Robert E. Buswell Jr dalam “The Princeton Dictionary of Buddhism”, adalah satu makhluk mitologi berwujud burung yang menyerupai manusia (manusia-burung) dalam kepercayaan Hindu, Buddha, dan Jain.
Lalu, Datuk Rajo Tunggal menikah dengan seorang bernama Bunda Pertiwi. Ia adalah anak tertua, dan memiliki adik bernama Bunda Darah Putih.
Setelah Maharaja Diraja wafat, maka Datuk Rajo Tunggal pun menjadi raja di kerajaan Kandis. Sementara Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam.
Adapun, lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya (kembang sepatu: Hibiscus rosa-sinensis L.), berwarna merah dan putih.
Semasa itu, berdiri pula Kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau) yang memiliki raja bernama Raja Aur Kuning. Selanjutnya, terjadilah perselisihan antara Kerajaan Koto Alang dan Kerajaan Kandis.
Untuk menghindari konflik, Raja Aur Kuning pun pindah ke wilayah Provinsi Jambi saat ini.
Tak lama setelah itu, Kerajaan Kandis diserang kerajaan dari Cina belakang. Setelah kalah perang, dan banyak pemuka kerajaan yang terbunuh, maka pusat kerajaan pun dipindahkan ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan).
Keterbatasan teks tertulis, dan sumber yang “melulu” hanya dari legenda oral, adalah persoalan yang harusnya dapat didukung oleh bukti-bukti tulisan.
Meskipun, terlepas dari klaimisasi “kerajaan yang tertua”, maka kemungkinan-kemungkinan baru akan tetap terbuka, untuk terus diteliti.
Begitu juga dengan penyebutan kata “Atlantis”, yang secara sadar tidak penulis bahas di sini. Sebab, dibutuhkan sinkronisasi yang rumit dan menyeluruh terkait ruang dan waktu.
Dan, harusnya, dapat dilihat, bahwa legenda, mitos dan kisah-kisah lisan, terkadang berada jauh di luar nalar manusia modern, yang selalu bertumpu pada rasionalitas dalam berpikir.
Padahal, kisah-kisah lisan, sebagai local wisdom, sesungguhnya, lebih mementingkan pesan-pesan terkait moralitas, sebagai tolak ukur. Ketimbang menjelaskan nama-nama tempat, orang dan waktu dengan tepat dan jelas.
Serta, kisah-kisah oral, harus diakui, kerap membiarkan sesuatu yang rahasia untuk tetap menjadi rahasia. Entah sampai kapan.*

