Sagu Yang Kalah Bersaing Dengan Padi

Daulat

September 17, 2024

Jon Afrizal

Rumah di sebuah perkebunan di Sumatra. (credits: William Marsden “History of Sumatra”)

“Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Sriksetra dibuat di bawah pimpinan Shri Jayanasa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula aur, buluh, betung, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.” Prasasti Talang Tuo

MASYARAKAT Melayu identik dengan mereka yang hidup dan bertempat tinggal di wilayah pesisir. Bermula di pesisir laut, dan kepulauan, dan terus menuju ke arah daratan dan ketinggian.

Sebelum padi menjadi makanan pokok yang familiar di Nusantara, masyarakat Melayu terbiasa memakan sagu (Sago Palm). Hingga kini, makanan yang terbuat dari sagu masih akrab dengan masyarakat Melayu, dan masih banyak ditemui.

Prasasti Talang Tuo di Bukit Siguntang pada masa Kedatuan Sriwijaya di tahun 606 Saka (684 Masehi) telah menyebutkan pemanfaatan sagu sebagai bahan makanan pokok, kala itu.

Masyarakat Melayu Lingga mengenal Gubal Sagu. Lalu, Sempolet di Kepulauan Meranti. Kemudian mie sagu, dan Bubur Gedegub Sagu.

Umumnya, di sana, sagu dimakan berbarengan dengan olahan ikan sebagai lauk pauknya.

Mengapa Sagu? Karena pohon sagu banyak ditemui di kawasan gambut, rawa-rawa dan pasang surut. Beberapa orang menyebutnya Sagu Rumbia (Metroxylon sagu).

Rumbia menyukai tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, di lingkungan hutan-hutan dataran rendah hingga ketinggian sekitar 700 mdpl. Pada wilayah-wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas.

Pohon rumbia tumbuh merumpun, dengan akar rimpang yang panjang dan bercabang-cabang.

Batangnya berbentuk silinder tidak bercabang dengan diameter 50 centimeter hingga 90 centimeter. Sementara, batang bebas daun dapat mencapai ketinggian 16 meter hingga 20 meter pada saat masa panen.

Dengan daun-daun besar, majemuk menyirip, panjang hingga 7 meter, dengan panjang anak daun 1,5 meter, dan bertangkai panjang dan berpelepah.

Di Provinsi Riau, misalnya. Sejak dari Indragiri Hilir, Bengkalis hinga Kepulauan Meranti, sagu Rumbia gampang ditemui.

Kepulauan Meranti, tercatat memiliki 39.000 hektar kebun sagu milik masyarakat, dengan produksi 205.051.896 ton. Demikian menurut data dari Dinas Tanaman Pangan Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kepulauan Meranti.

Tercatat, setidaknya 300 jenis makanan yang berbahan dasar sagu, di Kepulauan Meranti.

Masyarakat Jambi, mengenal Gulai Tepek Ikan. Atau ikan yang dipipihkan dengan kuah gulai. Yakni ikan gabus yang dimasak dengan menggunakan sagu.

Juga, Burgo. Yakni tepung sagu yang bentuknya mirip telur dadar gulung, dan diberi kuah.

Termasuk Gandus. Yakni kue yang mirip dengan Talam Ubi. Hanya saja, menggunakan taburan bawang dan potongan cabai merah.

Meskipun, untuk daerah Jambi sendiri, penggunaan tepung sagu dalam penyajian makanan, memiliki kecenderungan dicampur dengan tepung beras.

Sagu, juga banyak ditemui di Nusantara. Jika daerah di Sumatra dan Sulawesi disebut dengan sebutan: rumbieu, rembie, rembi, rembiau, rambia, hambia, humbia, lumbia, rombia, rumpia. Di Makassar pohonnya disebut rambiya dan tepungnya disebut palehu.

Maka, di Jawa dikenal dengan sebutan: ambulung, bulung, bulu, tembulu , bhulung , dan ki ray .

Sementara di Maluku dikenal dengan nama: ripia, lipia, lepia, lapia, lapaia, hula atau huda. Lalu, di Banda, pohonnnya disebut romiho, dan tepungnya disebut sangyera.

Sagu juga dikenal di negara-negara tetangga. Seperti balau di Sarawak, lumbia dan labi di Filipina, thagu bin di Burma, sa kuu di Kamboja, dan sa khu di Thailand.

Pemanfaatan Sago Palm sebagai bahan makanan oleh penduduk Nusantara telah dicatat oleh William Marsden dalam History of Sumatra, lalu Rhumpius, dan M. Poivre. Kesemuanya pada masa kolonialisme terjadi di Nusantara.

Pati sagu terdapat dalam empulur (bagian terdalam) pohon sagu. Batang pohon sagu digunakan sebagai tempat penyimpanan pati selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya.

Pada umur panen 10 hingga 12 tahun, berat batang sagu dapat mencapai 1,2 ton. Berat kulit batang sagu sekitar 17 persen hingga 25 persen, sedangkan berat empulurnya sekitar 75 persen hingga 83 persen dari berat batang.

Pada umur 3 tahun hingga 5 tahun, empulur batang sagu hanya sedikit mengandung pati. Namun, pada umur 11 tahun empulur sagu mengandung 15 persen hingga 20 persen pati.

Pati sagu inilah yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia. Sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Sagu dapat diolah menjadi bahan makanan seperti mutiara sagu, kue kering, mie, biskuit, dan kerupuk.

Daerah-daerah di Indonesia yang memiliki makana pokok dari sagu, adalah: Maluku, Papua, Riau dan Sulawesi.

Ini, karena sagu mengandung karbohidrat yang tinggi. Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan 73 persen amilopektin, dan pada kosentrasi yang sama pati sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serelia lainnya.

Setelah padi didatangkan ke Nusantara pada 1500 Sebelum Masehi (SM), yang selanjutnya diolah menjadi beras dan selanjutnya menjadi nasi, maka sagu kalah bersaing, dan terjadilah penyeragaman.

Seolah-olah di masyarakat seluruh Nusantara ini adalah pemakan nasi yang berasal dari padi. Meskipun, secara sejarah budaya, tidaklah melulu demikian.

Meskipun, mungkin ini yang jadi pertimbangannya, kenapa padi lebih dipilih dibanding sagu.

Kandungan protein pada pati sagu jauh lebih rendah daripada padi. Padi mengandung 6,1 gram protein per 100 gram. Sedangkan pati sagu hanya mengandung 0,1 gram protein per 100 gram.

Mengutip halodoc, dalam 100 gram sagu, terdapat beberapa nutrisi. Seperti; 332 kalori, kurang dari satu gram protein, kurang dari satu gram lemak, 83 gram karbohidrat, kurang dari satu gram serat, dan 11 persen Zinc dari referensi asupan harian (RAH).

Sehingga, sagu baik bagi tubuh manusia. Seperti untuk meningkatkan berat badan, mengurangi resiko penyakit jantung, meningkatkan kekuatan fisik, dan menjaga kesehatan pencernaan.

Saat ini, pati sagu mulai dikembangkan untuk dijadikan beras analog bersama tepung singkong, jagung, dan sorgum.

Satu alasannya adalah pati sagu memiliki karbohidrat yang jauh lebih tinggi daripada padi. Pati sagu memiliki karbohidrat sebesar 86,1 gram per 100 gram, sedangkan padi memiliki karbohidrat sebesar 77,1 gram per 100 gram.

Beras analog tersusun atas bahan utama berupa bahan yang kaya akan karbohidrat, sebagaimana fungsi beras pada umumnya yang merupakan sumber karbohidrat.

Adapun ingredient beras analog terdiri atas; pati, serat, lemak, air, bahan pengikat, serta bahan tambahan lain yang bersifat opsional, seperti pewarna, flavor, fortikan, dan antioksidan.  

Sehingga, perlu dilakukan analisis metabolomik untuk mengetahui metabolit-metabolit yang dapat membentuk protein. Agar poduksi metabolitnya dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kandungan protein dalam pati sagu.

Metode pengoptimalan produksi metabolit itu dapat dilakukan melalui rekayasa bioproses ataupun rekayasa genetika.*

avatar

Redaksi