Membumikan Harimau Sumatera?
Lingkungan & Krisis Iklim
August 2, 2025
Jon Afrizal

Karikatur harimau. (credits: Pixabay)
HARIMAU, jika menurut pandangan masyarakat lokal, selalu berhubungan dengan konsep-konsep mitos dan sakral. Konsep ini terejawantah dalam rasa hormat terhadap harimau.
Sehingga harimau sumatera (panthera tigris), di wilayah Provinsi Jambi, juga disebut dengan sebutan “Datuk”. Kata “Datuk” yang berasal dari kata “Datu” adalah merujuk pada kata “pemimpin” di wilayah Asia Tenggara era lampau. “Datu” hampir sama artinya dengan raja.
Bahasa Jawa kuno mengenal kata “Kedaton” (ka-datu-an) yang berarti singgasana atau Keraton. Kata ini pertama kali diketahui pada manuskrip “Batu Bersurat Telago Batu” tinggalan era Srivijaya abad ke-7 Masehi.
Sehingga, dalam konflik manusia – harimau di sekitar wilayah hutan, harimau tidak pernah dikenai kata “hama”. Melainkan “serangan harimau”.
Kata “serang” atau “menyerang” dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI), berarti; mendatangi untuk melawan dengan cara melukai, memerangi, dan sebagainya, dan juga, menyerbu. Termasuk: menentang, atau menantang.
Maka, seperti tahun-tahun sebelumnya, Global Tiger Day diadakan pada akhir bulan July 2025. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, keresahan demi keresahan tertangkap dalam setiap peringatan ini.
Populasi harimau Sumatera (Panthera tigris) yang tersisa di alam diperkirakan kurang dari 600 individu, demikian menurut Forum Harimau Kita. Sehingga, jika tidak ada tindakan nyata untuk melindungi dan memulihkan habitatnya, maka harimau Sumatera berada di ambang kepunahan.
Harimau Sumatera, masuk dalam Red List International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dengan kategori “Critically Endangered” (kritis terancam punah).
Secara hukum, pemerintah Indonesia pun telah melindungi harimau Sumatra melalui Peraturan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Yang kemudian dipraktekan dengan berbagai inisiatif untuk mendorong koeksistensi antara masyarakat dengan harimau.

Harimau Sumatera. (credits: IUCN)
Tapi, tetap, dengan harapan, agar harimau tetap terjaga, dan ekosistem tidak semakin memburuk.
“Ketika kita melihat ke masa depan, tekad kita tetap lebih kuat dari sebelumnya. Bersama-sama, kita dapat melindungi spesies ini, dan juga bumi yang kita tinggali ini,” kata Direktur Jenderal IUCN, Dr Grethel Aguilar, mengutip laman IUCN.
Sejak 2014 lalu, telah dilakukan Program Konservasi Hayati Harimau Terpadu (ITHCP) oleh IUCN. Program ini didukung oleh Kerjasama Jerman melalui KfW Development Bank, yang menggelontorkan dana sebesar EU 47,5 juta.
Program ini dilakukan di 33 proyek di negara-negara, yang memiliki harimau dan habitatnya. Diantaranya, adalah; Bhutan, India, Bangladesh, Nepal, Myanmar, Indonesia, dan Thailand.
Program ini mengedepankan pendekatan berbasis hak, dan telah menempatkan masyarakat di pusat konservasi harimau. Yang, memastikan suara masyarakat didengar publik, mata pencaharian mereka didukung, dan kepemimpinan mereka diakui.
“Melalui ITHCP, kami bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk melestarikan dan memulihkan habitat harimau dengan cara yang juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat,” kata Aguilar.
Dampaknya sangat signifikan. Program ini, katanya, telah berkontribusi pada peningkatan populasi harimau secara global sekitar 40 persen, dari tahun 2015 hingga 2022.
Lebih dari 10.500 hektare habitat harimau telah dipulihkan, dengan lebih dari 500.000 pohon ditanam untuk membantu landscape terdegradasi yang dapat diurai.
Harimau adalah indikator kuat dari kesehatan ekosistem. Sebagai predator puncak, harimau membantu menjaga keseimbangan di alam.
Pada akhirnya, secara luas, keberadaan harimau mendukung keanekaragaman hayati, mengatur iklim, dan memastikan integritas sungai dan hutan.

Hutan di Sumatera. (credits: WWF)
Tetapi habitat harimau ini bukanlah “padang gurun yang tak tersentuh”.
Habitat harimau adalah rumah bagi pengetahuan dan tradisi. Sehingga hak-haknya harus dihormati sebagai bagian dari solusi yang langgeng.
KKI Warsi menganalisa tutupan hutan di Provinsi Jambi hingga akhir tahun 2024. Yang tersisa hanya 969.322 hektare saja, atau hanya 19,78 persen dari total daratan Provinsi Jambi.
“Angka ini masih di jauh bawah angka ideal keseimbangan ekosistem. Untuk menjamin keseimbangan ekosistem, kelestarian keanekaragaman hayati, dan keberlanjutan jasa lingkungan,” Adi Junedi, Direktur Eksekutif KKI Warsi, mengutip laman KKI Warsi.
Di Provinsi Jambi, katanya, kehilangan hutan sebagian besar terjadi di wilayah dataran rendah, yang adalah merupakan jalur jelajah utama harimau. Kondisi ini jugalah yang memicu terjadinya konflik antara manusia dengan harimau.
Selain persoalan pendanaan, yang kerap menjadi masalah dalam pelaksanaan konservasi di negeri ini, maka pendekatan kemasyarakatan, dengan mengedepankan pengetahuan lokal, tetap diperlukan.
Sebab, jika raja tak punya istana, maka ia bukanlah raja. Dan sebagai raja di hutan, dimana hutan adalah bagian dari ekosistem bumi, kita berkewajiban untuk menjaga istana sang raja.*

