Perlawanan Petani Banten

Daulat

December 16, 2024

Jon Afrizal

Ilustrasi Jawara Banten. (credits: kibrispdr)

“Di sana-sini terlihat usaha menyalahgunakan suasana resah di kalangan pemerintah daerah, sesudah terjadinya huru-hara di Cilegon, yaitu untuk menyingkirkan oknum-oknum yang oleh satu dan lain sebab tidak mereka senangi.” Snouck Hurgronje

PADA suatu malam, Kiai Haji Wasyid bin Muhammad Abbas atau yang dikenal dengan Ki Wasyid dan muridnya menebang pohon yang disebutnya: berhala. Ini karena, berdasarkan ajaran agama Islam, bahwa: meminta kepada selain Allah adalah perbuatan musyrik.

Atas tindakannya, Ki Wasyid diseret ke pengadilan kolonial pada tahun 1887.

Sepanjang lima tahun terakhir terhitung sejak peristiwa ini, kondisi di Cilegon dan sekitarnya masih dalam tahap recovery. Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan itu telah menyebabkan gelombang tsunami yang menghancurkan daerah-daerah: Anyer, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur, dan Carita.

Bencana kelaparan, penyakit pes, dan penyakit hewan ternak, adalah akibat lanjutannya.

Setelah penangkapan Ki Wasyid, pemerintah kolonial Belanda mewaspadai bahwa para kyai dan ajaran Islam adalah ancaman bagi mereka.  

Pemerintah kolonial Belanda di Cilegon, mengutip Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 telah mengeluarkan surat edaran kepada bawahannya. Isinya adalah meneruskan larangan pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid.

Pemerintah kolonial pun menghancurkan menara Masjid Cilegon. Alasannya, menara masjid telah terlalu tua.

Selain itu, penularan penyakit hewan ternak akibat bencana meletusnya Krakatau telah pula membuat pemerintah kolonial Belanda menerbitkan kebijakan yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut penularan penyakit.

Kemiskinan, sebagai dampak lanjutan dari bencana Krakatau, membuat masyarakat melakukan perbuatan klenik. Ini dianggap sebagai cara yang “jitu” untuk terhindar dari himpitan kehidupan.

Klenik, mengutip umy, adalah aktivitas perdukunan yang berhubungan dengan hal-hal mistis, gaib, dan paranormal. Klenik juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi dipercaya memiliki hubungan langsung dengan manusia.

Puncak dari itu semua, adalah pada tanggal 9 Juli 1888. Para pimpinan tarekat Qadiriyah di Cilegon bersatu memimpin perlawanan petani terhadap kolonial Belanda.

Tarekat Qadiriyah pertama kali didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166 Masehi). Tarekat ini menjadi cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat.

Satu dari pemimpin Tarekat Qadiriyah di wilayah Banten adalah Ki Wasyid.

Para petani dibawah komando Ki Wasyid, melakukan perlawanan. Mereka berkumpul di Pasar Jombang Wetan, Cilegon.

Ki Wasyid membagi pasukan menjadi tiga kelompok. Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua, pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail.

Adapun fokus penyerangan pada saat itu adalah pembebasan tahanan politik kolonial Belanda, kepatihan, dan rumah asisten residen yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.

Areal persawahan di Banten. (credits: pexels)

Dini hari, sebanyak 100 orang petani atau mungkin tiga kali lipat dari jumlah itu, bergerak. Target utama mereka adalah pejabat kolonial dan pribumi yang berpihak pada kolonial.

Ini adalah gerakan sosial. Sama seperti banyak pemberontakan di masa kolonial Belanda, perlawanan petani Banten ini tidak berciri modern. Seperti; organisasi, ideologi modern dan agitasi yang meliputi seluruh wilayah.

Gerakan sosial ini adalah gerakan lokal; yang berkutat dalam persoalan lokal. Tetapi, tujuannya adalah universal: melawan penindasan.

Setelah Kota Cilegon dikuasai, target selanjutnya adalah Kota Serang.

Pemberontakan Ki Wasyid di Banten (: Bantan) banyak terpengaruh oleh pemikiran guru-gurunya. Yakni; Nawawi al-Bantani dan Abdul Karim al-Bantani.

Ki Wasyid memiliki keahlian dan kemampuan strategis. Ia melakukan komunikasi-komunikasi politik dengan para ulama, jawara, dan pejuang-pejuang lainnya di Banten dan luar Banten untuk terlibat dalam pemberontakan ini.

Tentu saja pasukan pemerintah kolonial dari Batavia membantu para pejabat daerah. Pejabat kolonial di Kota Serang dilengkapi dengan pasukan bersenjata api sebanyak 28 pucuk senjata.

Di daerah Toyomerto, para petani dipukul mundur. Sebanyak sembilan orang petani tewas, dan sebagian lainnya terluka.

Perlawanan terus dikobarkan. Selanjutnya, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju arah Banten Selatan. Tetapi, tentara kolonial mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah Sumur, pada tanggal 30 Juli 1888.

Akhir dari pertempuran, tentara kolonial membawa beberapa mayat yang mereka identifikasikan sebagai Ki Wasyid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Sedangkan Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, terkabarkan menyelamatkan diri ke Makkah, Arab Saudi.

Perlawanan para petani ini terjadi hampir satu bulan lamanya. Sebanyak 17 orang martyr tewas dalam pemberontakan petani Banten ini.

Sebanyak 94 petani harus menjalani hukuman pembuangan ke banyak tempat. Yakni ke: Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Selayar, Kema, Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Laut Banda, Bantaeng, Manado, Bukittinggi, Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, dan Balangnipa.

Perlawanan Petani Banten 1888 juga dikenal dengan sebutan “Geger Cilegon 1888”. Ini adalah sebuah peristiwa perlawanan tani terbesar yang pernah terjadi di masa kolonial. Dengan kompleksitas persoalan, serta pemahaman pembebasan dari kondisi ketertindasan yang terhubung pada kedatangan sosok Imam Mahdi ataupun Ratu Adil.

“Geger Cilegon 1888” terjadi setelah era pembubaran Kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh VOC, dan masa sebelum terjadinya “Perlawanan Kaum Tani 1926” di Anyer yang diperuntukan untuk kemerdekaan.

Banten adalah sebuah kesultanan, sejak tahun 1520. Kesultanan Banten didirikan oleh mereka yang datang dari Kerajaan Demak.

Kawasan Banten telah dikenal sebagai pusat perdagangan lada. Yakni sejak Melaka direbut oleh Portugis. Namun, Banten dengan segera memudar setelah Belanda mendirikan Batavia pada tahun 1619.

Pemberontakan para petani di Banten ini, telah mengakibatkan trauma pada jajaran pemerintah Belanda. Trauma yang mengubah cara pandangan mereka terhadap semua guru agama dan haji, setelah peristiwa itu terjadi.

Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda menyatakan bahwa: haji, petani, dan guru agama seringkali membaur dalam identitas seseorang. Tapi ada kalanya pula identitas itu terbagi secara ketat.

Namun, para pejabat kolonial berpura-pura tidak mau tahu. Para guru agama dan ulama diburu untuk ditumpas.

Kondisi menjadi tidak stabil, karena pribumi yang pro kolonial ikut mencari kesempatan.

“Di sana-sini terlihat usaha menyalahgunakan suasana resah di kalangan pemerintah daerah, sesudah terjadinya huru-hara di Cilegon, yaitu untuk menyingkirkan oknum-oknum yang oleh satu dan lain sebab tidak mereka senangi,” kata Snouck Hurgronje dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda X.

Di Ponorogo, misalnya. Meskipun kota di Jawa Timur ini berjarak 786 kilometer dari Cilegon, tetapi penangkapan tanpa alasan kuat telah menimpa Haji Rahwin. Ia adalah seorang guru agama dan penyebar ajaran tarekat Naqsyabandiyah.

Kekacauan dalam pemikiran dan kebijakan pemerintah kolonial terhadap para guru agama pun terus terjadi, bahkan hingga ke Yogyakarta. Siapapun yang dicurigai, diusahakan untuk diasingkan dnegan pembuangan.

Snouck Hurgronje mengusulkan agar para pegawai pemerintah dan sultan mendalami pengetahuan mereka tentang ajaran Islam. Sebab, menurutnya, pendalaman pengetahuan ini penting untuk membuat keadaan lebih tenang dan menghilangkan salah paham.*

avatar

Redaksi