Reforma Agraria Di Indonesia; Sebuah Strategi Pertumbuhan
Hak Asasi Manusia
September 24, 2024
Jon Afrizal
Serikat Petani Pasundan (SPP) mendatangi kantor KPK, Senin (23/9). Mereka menyampaikan aspirasi terkait urgensi pembongkaran dan pemberantasan korupsi agraria di Indonesia. (credits: KPA)
“Tanah bukanlah bagi mereka yang duduk ongkang-ongkang dan menjadi gemuk dan makmur karena menghisap dari keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanahnya.” Soekarno
PERANG Dunia ke-2, yang biasa disebut “Perang Total” pada tahun 1939 hingga 1945. Perang ini melibatkan banyak negara di dunia, yang pada akhirnya membentuk dua kekuatan; Sekutu dan Poros.
Perang ini adalah perang terbesar dalam sejarah umat manusia. Dengan melibatkan lebih dari 100 juta orang prajurit militer dari berbagai negara.
Banyak negara memaksimalkan seluruh kemampuan. Baik itu di bidang ekonomi, industri, dan ilmiahnya, untuk keperluan perang. Sehingga telah menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer.
Kehancuran yang terjadi di negar-negara Asia pasca Perang Dunia ke-2, telah memunculkan starategi pertumbuhan baru. Sebuah fondasi untuk bertumbuh di Jepang, Korea, Taiwan, India dan Iran. Strategi itu, disebut: Land Reform.
Indonesia, yang baru saja merdeka kala itu, pun ikut memaknainya.
Krishna B Ghimire dalam bukunya Land Reform and Peasant Livelihoods mendefinisikan land reform (reforma agraria) sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian tenure (penguasaan) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendamping lainnya.
Presiden Soekarno, pada peringatan ulang tahun RI tahun 1960, menyatakan bahwa, “Tanah bukanlah bagi mereka yang duduk ongkang-ongkang dan menjadi gemuk dan makmur karena menghisap dari keringatnya orang-orang yang disuruh menggarap tanahnya.”
Land reform yang dicanangkan di Indonesia, mengakui hak kepemilikan pribadi dengan batasan-batasan tertentu demi menuju tatanan Indonesia baru. Demikian, memahami seruan Bung Karno.
Puncaknya, adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan pada 24 September 1960. Undang-Undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961, dengan tujuan untuk memulihkan dan redistribusi (menebus) tanah pertanian kepada setiap kepala keluarga petani.
Mengutip Setiyo Utomo pada Perjalanan Reforma Agraria Bagian Dari Amanah Konstitusi Negara, reforma agraria pun telah digiatkan oleh Muhammad Hatta di era sebelum kemeredekaan Indonesia.
Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1926, dibawah kepemimpinan Bung Hatta telah memproklamirkan tentang penghapusan tanah milik pribadi di Hindia Belanda. Ide-ide land reform terungkap pada tulisan-tulisan Bung Hatta di koran Daulat Ra’jat tahun 1930-an.
Maka sebagai konseptor Pasal 33 UUD 1945, Bung Hatta mengusulkan pada kebijakan mengenai sistem pembatasan hak kepemilikan tanah; sampai dengan 5 hektare dengan melalui proses yang panjang.
Ini, berkesinambungan dengan tujuannya dari UUPA.
Namun, pemerintahan Orde Baru telah menerbitkan UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan. Ketiganya, berbeda nafas dengan UUPA.
Sebab, ketiga undang-undang ini lebih mementingkan semangat pembangunan yang berbasis modal asing, dengan kebijakan pemberian konsesi lahan secara luas. Tentu saja, ini seperti “menghidupkan” warisan kolonial domein verklaring, dan kembali mengesahkan eksploitasi sumber daya alam secara bebas, mengeksklusi masyarakat dari lahan dan penghidupannya.
Kekuasan 32 tahun Orde Baru telah melakukan perubahan pada orientasi kebijakan agraria. Dengan memprioritaskan tanah dalam kebijakan pembangunan.
Yakni pembangunan pertanian, industri, dan pembangunan prasarana umum. Sehingga, Soeharto, sebagai presiden di era itu mendapat julukan Suharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Turunnya Soeharto pada tahun 1988 melalui era reformasi dan munculnya Gerakan agraria yang kala itu digaungkan oleh B.J Habibie dengan menghidupkan kembali isu Land Reform.
Damianus Krismantoro dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Kolonialisme Dan Pelaksanaann Reforma Agraria Di Indonesia menyebutkan bahwa Agrarische Wet 1870 merupakan “perintah” hukum dari pemerintah kolonial kala itu. Sebab sebelumnya pengusaha hanya memiliki hak sewa atas tanah negara yang memiliki batas waktu yang singkat.
Pengusaha tidak berhak menyewakan tanah masyarakat adat, yang menyebabkan kurang berkembangnya usaha yang dilakukannya. Upaya pengusaha mempunyai hak untuk menyewakan tanah kepada rakyat dan sebagai jaminan untuk memperoleh modal, pengusaha mendesak pemerintah kolonial untuk segera membuat peraturan mengenai hal tersebut, sehingga dengan adanya Agrarische Wet memberikan kepastian hukum bahwa pengusaha dapat mengembangkan usahanya dan memberikan hak erfpacht (hak atas tanah dapat dibebani dengan hipotek) yang berjangka waktu 75 tahun.
Selain itu, undang-undang ini memberikan hak eigendom (hak ulayat yang dibuat oleh pemerintah kolonial dan sewaktu-waktu dapat diperjualbelikan oleh orang Eropa) kepada rakyat. Tetapi, sesungguhnya ini hanyalah bentuk kepura-puraan untuk menghormati dan mengakui hukum adat.
Terjadi peningkatan perampasan tanah secara perlahan tapi pasti oleh pemerintah kolonial sejak penerapan Agrarische Wet yang juga didukung oleh Agrarische Besluit, yang mencakup peraturan terkait Domein Verklaring, yang merupakan bagian dari implementasi Agrarische Wet. Sehingga, hak masyarakat atas tanah dikatakan dilanggar melalui Domein Verklaring, dimana negara merampas tanah dari pemilik pribadi.
Menurut teori ini, tanah yang tidak bersertifikat dan tanah ulayat yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akta atau sertifikat, langsung menjadi milik negara. Selain itu, masih banyak lagi hak ulayat yang diinjak-injak oleh penguasa saat itu.
Dan, harapan datang ketika UUPA disahkan di masa Orde Lama. Ketika pemerintah memulai untuk menentukan luas maksimum dan minimum lahan pertanian, dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, luas dan faktor lainnya.
Namun, iklim politik di Indonesia, pada tahun 1960-an, telah menyeret Land Reform, yang sejatinya adalah isu populis, menjadi isu kelompok politik tertentu.
Maka, dimulailah masa-masa konflik agraria, hingga hari ini.
Menurut Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2023 Konsorsiumn Pembaruan Agraria (KPA), terdata sebanyak 241 letusan konflik agraria di sepanjang tahun 2023, atau meningkat 12 persen dibanding tahun 2022 lalu yang berjumlah 212 letusan konflik.
Letusan konflik pada tahun 2023 ini terjadi di atas tanah seluas 638.188 hektare. Konflik agraria ini tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 Kepala Keluarga (KK).
Melalui hitung-hitungan sederhana, jika rata-rata terdapat empat jiwa dalam satu keluarga, maka setengah juta orang di Indonesia telah menjadi korban dari letusan konflik agraria pada tahun 2023.
Sebanyak 108 letusan konflik diakibatkan oleh perusahaan perkebunan, 44 letusan konflik di sektor properti, 32 letusan konflik di sektor pertambangan, 17 letusan di sektor kehutanan, dan, di sektor pesisir-pulau-pulau kecil dan fasilitas militer masing-masing lima letusan konflik.
Meskipun, diketahui telah ada peraturan presiden tentang reforma agrarian pada saat ini.
Namun, itu semua belum dirasakan oleh masyarakat dalam redistribusi tanah yang diamanatkan oleh UUD 1945 tentang tanah untuk kesejahteraan masyarakat. Seperti juga dalam penyelesaian sengketa agraria yang berpihak pada keadilan masyarakat.*