Akankah Kita Kembali Mengkonsumsi Ubi Gadung?
Resonansi
November 4, 2023
Jon Afrizal
Areal persawahan di Kabupaten Kerinci, Pebruari 2019. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
SAAT ini adalah masa-masa sulit bagi banyak orang. Kala resesi ekonomi melanda tidak hanya masyarakat di kota-kota, tapi juga hingga ke pelosok.
Menurut data Susenas Maret 2O21, rata-rata pengeluaran penduduk Provinsi Jambi adalah IDR 1.180.260 per kapita per bulan. Sementara pengeluaran untuk makanan adalah IDR 613.753.
Berdasarkan panel “Harga Badan Pangan”, harga beras premium saat ini adalah IDR 15.040 per kilogram. Sedangkan harga beras medium IDR 13.240 per kilogram.
Sementara Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Jambi pada tahun 2023, seperti telah ditetapkan Gubernur Jambi adalah sebesar IDR 2.943.033, atau naik sebesar 9,04 persen dari tahun 2022 yang sebesar IDR 2.649.034.
Berdasarkan kondisi itu, mari kita telaah tentang aspek ketahanan pangan, dan tentang apakah kita semua benar-benar “tahan” terhadap pangan. Sebab, makanan utama masyarakat di Provinsi Jambi adalah nasi yang berasal dari beras dan beras berasal dari padi.
Adapun untuk memakan ubi gadung, misalnya, adalah tradisi yang telah lama ditinggalkan. Selain memakan waktu lama dalam proses pengolahannya, juga tidak praktis untuk diterapkan saat ini.
Ubi Gadung (: dioscorea hispida) adalah bahan pangan yang akrab dengan penduduk Djambi pada masa pendudukan Jepang, atau di tahun 1943 hingga di awal masa kemerdekaan. Saat itu, beras teramat sulit untuk didapat, sehingga penduduk lokal memanfaatkan umbian beracun ini untuk dimakan.
Tentunya ubi gadung diolah sedemikian rupa agar racunnya hilang, dan dapat dimakan. Caranya, yakni dengan merendam ubi gadung selama berhari-hari di dalam air sungai yang mengalir.
Hingga racunnya hilang terbawa arus air, dan dapat untuk dikonsumsi.
Jika tidak diolah, atau langsung dikonsumsi, maka racun pada ubi gadung dapat mengakibatkan kepala pusing, perut mual atau bahkan muntah-muntah.
Berdasarkan kondisi itu, maka ubi gadung tentu dapat dikecualikan untuk dikonsumsi pada saat ini. Sebab, lagi lagi, penduduk Jambi telah terbiasa mengkonsumsi nasi yang berasal dari beras.
Pemerintah pada tahun 2023 ini telah menambah impor beras sebesar 1,5 juta ton. Sebab produksi beras nasional diprediksi hanya 30 juta ton saja, dari target 31,5 juta ton.
Tidak tercapainya target ini adalah karena kondisi perubahan iklim yang terjadi pada saat ini, yakni el nino.
Mari kita bandingkan dengan kondisi Provinsi Jambi.
Menurut data BPS, jumlah luasan sawah di Provinsi Jambi pada tahun 2021 adalah seluas 64.412 hektare dengan produksi padi sebanyak 298.149 ton. Sementara terkait konsumsi, yakni maksimal 3 piring makan per hari.
Menurut enutrisi.com, 1 piring nasi di masyarakat Indonesia adalah 180 gram, dan bukanlah 100 gram. Porsi 1 piring nasi di masyarakat Indonesia ini rata-rata memiliki 235 kalori.
Jika, setiap orang mengkonsumsi tiga porsi nasi sejumlah 540 gram per hari, maka 1 kilogram beras dapat dihabiskan hanya dalam waktu 2 hari untuk satu orang.
Dengan penduduk Provinsi Jambi berjumlah sekitar 3,5 juta orang ini, maka dibutuhkan sebanyak 1.890.000.000 kilogram atau 1.890.000 ton beras per hari. Jumlah yang besar dan menakjubkan.
Budi Kurniawan, dalam jurnal ilmiah Median edisi Desember 2018 telah menyatakan bahwa konsumsi beras di Provinsi Jambi dengan penduduk sekitar 3.570.272 jiwa dari Januari hingga Desember 2018 diperkirakan sekitar 334.520 ton dengan tingkat konsumsi per kapita 93,7 kilogram per tahun.
Pada nyatanya, konsumsi beras diperkirakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi beras dari Januari hingga Desember 2018, yang hanya 440.173 ton saja.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa produksi beras Provinsi Jambi tidak dapat mencukupi konsumsi penduduk Provinsi Jambi.
Lalu, ketahanan apa yang telah dibentuk bersama saat ini? Sebab jumlah luasan lahan pertanian padi sawah di Provinsi Jambi terus berkurang dari tahun ke tahun.
Apakah kita akan tetap bergantung dengan impor beras? Atau, akankah kita kembali mengkonsumsi ubi gadung?*