Jambi Butuh Pertanian Cerdas
Hak Asasi Manusia, Inovasi, Lingkungan & Krisis Iklim
April 4, 2023
Junus Nuh/Kota Jambi
Pertanian Cerdas diperlukan untuk mendapatkan produksi yang baik. (credit tittle : Setmas LPAS)
STABILITAS pangan adalah hal yang patut diprioritaskan di Provinsi Jambi saat ini. Mengingat rendahnya produktifitas pertanian, terutama padi sawah sejak beberapa dekade terakhir.
Menurut “Laporan Perekonomian Provinsi Jambi” bulan Agustus 2021, produktifitas pertanian menjadi sumber pertumbuhan tertiggi, yakni sebesar 1.60 persen. Sektor pertanian menjadi satu sektor yang mendominasi PDRB Provinsi Jambi, yakni sebesar 32.24 persen.
“Namun dalam dasawarsa 10 tahun terakhir, areal persawahan di Provinsi Jambi hanya tinggal 64.412 hektare saja,” kata penggagas Setmas LPAS (Sekretariat Masyarakat Lingkungan, Pembangunan dan Sosial Ekonomi), Wisma Wardana, Selasa (4/4).
Dengan luasan itu, maka jumlah produksi gabah kering giling hanya mencapai 298.149 ton, atau setara dengan 178.889,4 ton beras per tahun.
Padahal, luas Provinsi Jambi adalah 5 juta hektare, yang memiliki populasi 3,64 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,34 persen.
“Jumlah produksi ini tentu saja tidak dapat memenuhi kebutuhan terhadap konsumsi beras bagi penduduk di Provinsi Jambi,” katanya.
Jika dihitung secara sederhana, setiap orang membutuhkan 9 kilogram beras per bulan, atau 108 kilogram per tahun. Maka, kebutuhan beras untuk penduduk di Provinsi Jambi adalah 324 juta kilogram per tahun. Atau, jika diuangkan adalah setara dengan Rp 3,2 triliun.
Pengalaman dan inovasi dapat digunakan dalam Pertanian Cerdas. (credit tittle : Setmas LPAS)
Padahal, pada tahun 2011, Provinsi Jambi sempat memiliki areal persawahan seluas 169.599 hektare, dengan produksi gabah berjumlah 646.641 ton.
Kondisi yang kini dialami Provinsi Jambi adalah seperti yang dinyatakan Food and Agriculture Organization (FAO). FAO menyatakan bahwa demand pangan dunia menunjukkan tendensi peningkatan yang lebih cepat dari supply. Efek domino dari persoalan peningkatan kebutuhan pangan yang tinggi, telah mengakibatkan meningkatnya harga berbagai jenis bahan pangan, dan meningkatnya jumlah penduduk miskin dan angka kelaparan.
Saat ini, jumlah penduduk dunia yang miskin dan kelaparan setiap hari melebihi 1 milyar orang atau lebih dari 15 persen dari populasi dunia. Angka yang tinggi ini terjadi karena mereka tidak dapat mengakses pangan.
Kondisi saat ini, dapat didefinisikan sebagai Climate Justice (Keadilan Iklim). Menurut Eric Njuguna, Youth Climate Justice Organizer pada lama unicef.org, “Harus diakui bahwa orang-orang yang yang tidak memiliki peran dalam menyebabkan terjadianya krisis iklim di seluruh dunia, justru adalah orang yang paling menanggung beban. Tetapi, sayangnya, Keadilan Iklim belum menjadi pembahasan utama.”
Sementara itu, persentase penduduk miskin di Provinsi Jambi pada Maret 2022, yakni sebesar 7,62 persen, atau 279,37 ribu orang. Dan, pada kondisi ini, mereka bukanlah penyebab terjadinya Krisis Iklim saat ini, melainkan hanyalah sebagai korban saja.
“Persoalan ini tidak pernah berdiri sendiri,”kata Wisma Wardana.
Persoalan yang bersumber pada ketergantungan yang teramat tinggi terhadap alam. Tetapi ketika alih fungsi lahan terjadi, maka masyarakat tidak dapat mencegah terus berkurangnya luasan areal persawahan. Padahal, areal persawahan itu adalah tempat mereka mendapatkan beras sebagai sumber pangan nomor satu.
Penyebab lainnya adalah tidak adanya regerasi petani. Selain itu, sulitnya mendapatkan “perangkat pertanian” pun menjadi soal. Seperti ketersedian bibit yang baik, pupuk dan peralatan pertanian lainnya yang dapat diakses oleh pertani .
Pemerintah Indonesia telah melakukan antisipasi terhadap kondisi ini. Program Climate Smart Agriculture (CSA) telah diinisiasi pun oleh Kementrian Pertanian. Dengan tujuan untuk menyelamatkan produksi pertanian Indonesia.
Lalu, dimana posisi Provinsi Jambi dalam frame ini? Ikut dalam perubahan, atau, tetap dengan jumlah produksi pertanian yang cenderung statis dan terus menurun?*