Srivijaya Di Tepi Sungai Batanghari

Daulat

July 14, 2025

Jon Afrizal/Muaro Jambi

Candi Kedaton. (credits: candimuarojambi)

“…. banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau di Samudera Selatan percaya dan mengagumi Buddha, di hati mereka pun telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Srivijaya dipenuhi lebih dari 1.000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik. Jika seorang biarawan Tiongkok ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum melanjutkan ke India”.  I Tsing

TERDAPAT banyak teori tentang letak tepat Srivijaya yang ada pada abad ke-7 M hingga abad ke-11 M. Selayaknya teori, tentu saja harus selalu diperbarui.

Toh, pada kenyataannya, tidak ada atau belum ada “mesin waktu” yang dapat membawa kita semua ke era lampau. Untuk melihat langsung dan memverifikasi apa yang sebenarnya telah terjadi pada satu kurun waktu tertentu.

Di kitaran tahun 2013, penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Peta sejarah pun berangsur-angsur mulai berubah.

Muaro Jambi, dengan situsnya, menunjukkan bahwa pusat awal Srivijaya sangat mungkin terletak di Desa Muaro Jambi. Dan bukanlah di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan, seperti teori-teori terdahulu.

Dan, Srivijaya bukanlah sebuah negeri maritim, seperti yang dinyatakan teori-teori terdahulu. Melainkan sebuah negeri agraris, dengan sungai sebagai nadi kehidupan..

Tentu saja, ini bukan soal klaim previlege suatu wilayah. Tetapi, yang utama, adalah, penelusuran sejarah yang mendekati kondisi yang tepat pada saat itu.

Stupa Candi Tinggi. (credits: Public Domain)

Desa Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi berada tepat di tepi sungai besar, Sungai Batanghari. Kata “batang” dalam bahasa Melayu, merujuk pada kata “sungai”. Kata sejenis yang memiliki arti sama, adalah “air”.

Selama ini, Srivijaya diidentikan dengan Sungai Musi. Dengan budaya maritim, dan perdangangan. Dan, seolah terlepas jauh dari budaya bercocok tanam.

Padahal, pada “Prasasti Talang Tuo”, di masa Shri Jayanasa (684 M), ketika dibangun taman Sriksetra, sangat terlihat adanya budaya bercocok tanam negeri agraris.

Seperti pada kutipan ini;

“Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan.”

Dan, iklim tropis dengan curah hujan antara 2000 hingga 3000 milimeter per tahun pula yang membuat duku (Lansium domesticum) dan durian (Durio zibethinus) tumbuh dengan cepat di areal ini. Bahkan, Candi Koto Mahligai ditumbuhi dan ditutupi rimbunan pohon.

Hal yang sama, juga telah terjadi di Angkor Wat, Kamboja.

Kita akan melihat di Desa Muaro Jambi, yang kini situs-situs di sana terus dipugar, terdapat sebuah kompleks percandian yang terbentang sekitar 12 kilometer persegi, dan memanjang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batanghari, dengan total luasan 260 hektare.

Situs arkeologi ini mencakup delapan candi yang telah digali, dan 85 menapo (: gundukan reruntuhan candi) yang belum dipugar. Adapun nama-nama candi itu, sesuai penyebutan dialek lokal, yakni: Candi Astano, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Gedong 1 dan Candi Gedong 2, Candi Kedato dan Candi Koto Mahligai.

Terdapat sebuah sendang, yang disebut dengan: “Talaga Rajo” (: mata air untuk raja). Sendang, yakni aliran air yang sengaja ditampung atau dibiarkan tergenang, adalah bukti tentang kebutuhan manusia era lampau terhadap air bersih, sebagai kebutuhan pokok.

Sebagai wilayah di tepi Sungai Batanghari, layaknya sungai-sungai tropis, banjir adalah hal biasa, terutama di musim penghujan. Si arsitek situs ini, yang belum ku ketahui siapa namanya, pun telah mengantisipasinya dengan membuat kanal-kanal yang mengelilingi kompleks percandian ini.

Kanal-kanal itu, hari ini masih dapat ditemui. Dengan pola membentengi area percandian. Kanal-kanal itu, meskipun banyak ruas jalurnya yang telah tertimbun, namun seolah melingkari Desa Muaro Jambi, melalui desa-desa di sekitarnya. Yakni Desa Kemingking Dalam dan Danau Lamo.

Situs Muaro Jambi diperkirakan bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Dan situs ini menunjukkan bahwa tempat ini adalah pusat pembelajaran Buddhis.

Sama seperti halnya Srivijaya, yang keberadaannya kerap dihubungkan dengan agama Budha.

Sebagai sebuah universitas, tentunya juga terkait dengan berbagai benda temuan, yang berhubungan dengan “hajat hidup” dan peribadatan. Seperti; arca Prajnaparamita, dwarapala, gajah Simha, umpak batu, lumping atau lesung batu. 

Juga, gong perunggu dengan tulisan beraksara Cina, mantra Buddhis yang ditulis pada kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga besar dari perunggu, mata uang Cina, manik-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda, fragmen pecahan arca batu, batu mulia, fragmen besi, dan, perunggu.

Pernah, ketika itu di awal tahun 2000. Aku menemukan penduduk yang mengasah parang yang akan digunakannya untuk berladang di sebuah makara batu percandian itu.

Tidak dapat dipungkiri, sebab, memang, rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang milik mereka saat ini, berada di areal atau di sekitar areal suci ini.

Terdapat pula “tanah tumbuh” (: gundukan tanah berbentuk gunung kecil), yang diyakni adalah buatan manusia pada saat itu. Meskipun belum diketahui maksud dan tujuan tepatnya, tapi masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan: Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.

Dan, adalah lumrah, jika sebuah ibukota kerajaan memiliki universitas. Sebagai pusat penyebaran agama tempat para biksu digodok keilmuannya, dan juga, sebagai prestige, tentunya.

Peter Skilling dalam penelitian berjudul “Dharmakirti’s Durbodhaloka and the literature of Srivijaya”, mengkaitkan penyebaran Budha di Svarnadvipa dengan seorang pendeta agung Buddhis, bernama Suvarnadvipi Dharmakirtisri atau Kulanta di abad ke-10 M.

Pun, catatan sejarah dari Tiongkok, I Tsing, misalnya, juga menyebutkan bahwa Srivijaya menampung ribuan biksu.*

avatar

Redaksi