Schnitger Dan Sumatra: Yang Terlupakan

Budaya & Seni

May 2, 2025

Jon Afrizal/Muara Jambi

Stupa Candi Tinggi, kompleks percandian “Muara Djambi”. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

DIA meninggal dunia di kamp konsentrasi Mauthausen, Danube, Austria, pada tanggal 23 April 1945, di era Nazi Jerman. Setelah sebelumnya, Gestapo mendakwanya dengan dua tuduhan: dengan sengaja secara keliru menuduh beberapa orang telah melakukan kejahatan, dan, melakukan kegiatan spionase yang berbahaya bagi Reich Jerman.

Frederic Martin Schnigger, demikian namanya, yang lahir pada tanggal 22 April 1912 di Malang, Jawa Timur, era Hindia Belanda.

Tanpa kejelian dan ketelitian tulisan-tulisan Schnigger, mungkin, kompleks percandian Muara Jambi gaungnya tidak seperti sekarang ini.

Schnitger, mengutip Kemendikbud, datang ke areal kompleks percandian Muara Jambi saat ini, pada tahun 1930-an, setelah kunjungan S.C. Crooke, seorang perwira Inggris, pada tahun 1820.

Schnigger yang bergelar P.hd ini, menjabarkan kunjungannya ke kawasan “batu-batu yang terkubur di dalam tanah” itu dalam sebuah buku berjudul “The Archaeology of Hindoo Sumatra” yang terbit pada tahun 1937. Buku, yang hingga kini menjadi rujukan setiap orang yang akan meneliti tentang kebudayaan Hindu di Sumatera era lampau.

Setahun setelah itu, karyanya berjudul “The Forgotten Kingdoms in Sumatra” terbit.

Kedua buku ini, sebenarnya berfokus pada “kebudayaan sungai” yang ada di Sumatera. Termasuk, Sungai Batanghari, yang di tepiannya terdapat peninggalan aliran Siwa.

Schnigger, dalam buku “The Archaeology of Hindoo Sumatra” menggunakan nama “Muara Djambi”. Dan hampir sama, nama itu juga yang ada di teks-teks berbahasa asing, terutama Eropa.

Sehingga, jika kita ingin mencari dan menggali lebih jauh tentang kompleks percandian Siwa ini, gunakanlah nama “Muara Djambi”, dan bukan “Muaro Jambi”.

Frederic Martin Schnigger di Nias. (credits: histanthro)

Nama pertama, akan segera kita dapati, berikut kaitanya dengan sejarah dan budaya era lampau. Sedangkan nama kedua, meskipun sangat sedikit, tapi aku pun sangat berharap dapat mengaitkanya, dengan budaya di era leluhur kita.

Schnigger melakukan ekspedisi di sungai-sungai di Sumatera antara tahun 1935 hingga 1938. Sewaktu itu, ia bertugas sebagai konservator di Museum Palembang, dan juga sebagia ketua dari “Archaeological and Anthropological Expeditions in Sumatra”.

Schnitger, mengutip Lexicon Provenienzforschung, adalah anak dari pemilik perkebunan tebu di Pulau Jawa. Sedangkan ibunya, adalah seorang guru.

Ia menempuh pendidikan bahasa timur, arkeologi dan sejarah Asia Tenggara di Universiteit Leiden, dari tahun 1932 hingga 1935. Setelah tamat, pada tahun 1935, ia pun pergi ke pulau Sumatera untuk melakukan penelitian arkeologi. Dan, di Sumatera, ia juga turut terlibat dalam pendirian Museum Palembang.

Di sela-sela penelitiannya di Sumatera dari tahun 1935 hingga 1938, ia melanjutkan studinya di bidang arkeologi dan etnologi di Universitas Wina, sejak tahun 1936, dan lulus dengan gelar doktor pada bulan Februari 1938.

“The Archaeology of Hindoo Sumatra” adalah disertasinya, yang kemudian menjadi buku panduan bagi pemerhati sejarah dan budaya era lampau Sumatra.

Pada usia 27 tahun saat itu, adalah sebuah prestasi besar, karena ia telah menulis sekitar 150 artikel sains ilmiah dan populer. Meskipun, harus diakui, perekonomiannya masih morat-marit.

Ia mulai bekerja tanpa dibayar di perpustakaan Museum Etnologi (Weltmuseum Wien) pada bulan Januari 1940. Dan, akhirnya, ia menjadi pegawai pada akhir tahun 1942.

Maria Horsky, teman sekantornya, merasa takut tersaingi dengan keberadaan Schnigger. Dan, Horsky adalah anggota Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) yang terafilisia ke Nazi.

Tahanan kamp konsentrasi Mauthausen sedang apelk pagi. (credits: Mauthausen Memorial)

Kemudian ia menuduh Schnigger berhubungan dengan lembaga riset nirlaba Jerman “SS Deutsche Forschungsgemeinschaft Ahnenerbe” dan melakukan tindakan spionase terhadap Jerman, dan melaporkannya ke Gestapo.

Dan selanjutnya, Direktur Museum Etnologi, Fritz Rock ikut bersekongkol. Rock menuduh Schnitger mencuri dan dengan sengaja merusak properti museum; berupa buku, foto, dan peta.

Gestapo Nazi pun menangkapnya. Dan, dari penyelidikan, diketahui bahwa nenek buyut Schnigger dari pihak ibunya adalah orang Tionghoa.

Sungguh, hasil penyelidikan yang memberi alasan bagi Reich Ketiga kala itu.

Cita-cita Horsky tercapai. Mengutip histanthro, dedikasinya di partai telah membuat ia ditunjuk untuk menjabat sebagai Menteri Reich untuk Sains, Pendidikan dan Budaya Nasional pada bulan Februari 1944.

Sementara, Schnigger ditangkap oleh Gestapo di Museum Etnologi pada tanggal 1 Maret 1943. Semua, atas andil Horsky yang ambisius.

Setelah melalui persidangan panjang dan melelahkan, Schnitger dinyatakan bersalah atas kejahatan pencemaran nama baik, dan, mungkin juga kegiatan spionase. Ia diovonis 1 tahun penjara, pada tanggal 14 September 1944.

Lalu, ia diserahkan ke Gestapo untuk dibawa ke “pembuangan” pada 22 November 1944. Dan, selanjutnya, Gestapo memindahkan Schnitger ke kamp konsentrasi Mauthausen, pada tanggal 12 Maret 1945.

“Buku Daftar Kematian” dari kamp konsentrasi Mauthausen menyatakan bahwa: Frederic Martin Schnitger meninggal dunia pada tanggal 23 April 1945 di “kamp medis”. Yakni tempat bagi tahanan yang sakit ditempatkan, dan dapat diasumsikan bahwa hampir tidak ada tahanan yang kembali hidup-hidup dari tempat itu.

Adapun Horsky, ketika perang di Eropa berakhir pada tanggal 30 Juli 1945, pun diberhentikan, dan meninggalkan Wina. Ia dikabarkan  bunuh diri, pada tanggal 24 Februari 1949, di sebuah pondok di Styria.

Sangat disayangkan, Schnitger harus meninggal dunia di kamp konsentrasi. Namun, ia  telah mewariskan dua buku yang mengagumkan, bagi kebudayaan Sumatera.

Dan, tanpa kedua buku ini, pemahaman kita tentang kebudayaan para leluhur, belum tentu akan seperti sekarang ini.*

avatar

Redaksi