Indigenous People Semenanjung Sumatra

Hak Asasi Manusia

February 17, 2025

Edwin M Loeb*

Orang Mamaq Bukit Tigapuluh. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Seringkali mereka menabur padi, tetapi tidak menuainya. Karena mereka hanya diperintahkan untuk menabur, dan bukan untuk menuai.”

ORANG Mamaq adalah kelompok masyarakat yang berkemungkinan berasal dari Veddoid (ras Melayu Tua) yang tinggal di wilayah Indragiri di sisi kanan Sungai Kuantan. Mereka terpisah dari Orang Kubu di Kesultanan Djambi. Terdapat sekitar 20.000 jiwa Orang Mamaq pada tahun 1880.

Sekitar pertengahan abad ke-14, dua saudara kandung (suku) orang Minangkabau menetap di muara Sungai Indragiri. Mereka membawa adat matrilineal mereka. Dimana jus connubii (hak perkawinan campur) ada di antara kedua saudara kandung ini.

Pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, seorang pangeran dari Johor di Malaka datang untuk memimpin orang Minangkabau di Indragiri. Secara perlahan pengaruh Johor menyebar, dan penjajah dari Johor datang ke wilayah itu.

Di bawah rezim Johor, lembaga matrilineal di wilayah itu digantikan oleh patrilineal; sebagai bentuk pemerintahan demokratis ala monarki. Dan, dialek asli Minangkabau juga berubah menjadi Melayu Riau-Lingga.

Pada pertengahan abad ke-16, ketika terjadi konversi masyarakat ke Islam, telah menambah kekuatan dalam membentuk masyarakat patrilineal. Meskipun dengan pengaruh patrilineal yang kuat ini, orang Melayu Indragiri tetap mempertahankan sisi matrilineal dalam adat istiadat.

Seperti yang dikatakan Wilken, “matriarki” hanya terjadi dalam bentuknya yang paling murni dimana bahasa Melayu Minangkabau digunakan, dan orang Melayu di wilayah ini telah kehilangan bahasa aslinya ini.

Sementara para imigran Melayu asli di Indragiri telah kehilangan adat matrilineal mereka. Mereka telah mentransfernya ke Orang Mamaq, yang telah melestarikan bahasa asli Minangkabau dan “matriarki”.

Orang Mamaq belum masuk Islam. Nama “mamaq” mengacu pada saudara laki-laki tertua dari istri, yang merupakan kepala keluarga. Seluruh masyarakat terbagi dalam suku-suku eksogami, dan garis keturunan dihitung dari garis keturunan ibu suku.

Seluruh anggota suku tinggal bersama dalam satu rumah keluarga, dan saling bertanggungjawab atas tindakan masing-masing. Pernikahan bersifat monogami.

Seorang patih, atau pangeran, mengepalai seluruh Orang Mamaq. Sementara setiap suku diperintah oleh seorang panghulu. Patih sebelumnya bertanggung jawab kepada Kesultanan Johor.

Rumah-rumah keluarga Mamaq adalah rumah panggung. Pertanian padi dipraktikkan, tetapi ini adalah inovasi baru.

Makanan yang dimakan sebagian besar adalah hasil berburu, memancing, atau dari hutan. Tombak dan jaring digunakan untuk memancing, dan penggunaan sumpit tidak diketahui.

Meskipun tenun dan tembikar tidak dikenal, tetapi mereka telah menjadi pandai besi yang baik. Mereka juga mengolah rotan untuk keranjang anyaman. Seruling bambu, sebagai instrumen musik Melayu, pun melengkapi musik mereka.

Orang Akit sedang mencari kayu bakau di Sungai Kembung, di Pesisir Timur Pulau Bengkalis, Riau. (credits: YKAN)

Tapa tidak lagi dikenakan, tetapi katun menggantikannya untuk kain cawat.

Orang Mamaq memiliki lebih banyak upacara adat, ketimbang Orang Kubu. Pernikahan dirayakan dengan upacara, dan upacara besar suku diadakan ketika musim durian tiba. Adu ayam juga terjadi pada saat ini.

Dalam agama, mereka menyerupai Orang Kubu yang telah menetap. Mereka memiliki dukun seperti Orang Kubu. Tetapi dukun Orang Mamaq telah menetapkan harga yang pantas untuk keahlian pengobatannya.

Sementara Suku Sakai tinggal di sebelah utara Orang Mamaq. Namun masih di dataran pantai aluvial, yakni di Kesultanan Siak. Mereka membentuk dua kelompok besar: Batin Lima (lima suku atau saudara) dan Batin Selapan (delapan suku).

Kelompok pertama menetap terutama di sepanjang hulu Sungai Mandau, anak sungai Siak. Sedangkan kelompok kedua tinggal di hulu Sungai Rokan.

Suku Sakai adalah orang-orang yang tertutup dan sulit untuk ditemui. Moszkowski telah mengumpulkan hampir seluruh informasi yang kita miliki tentang mereka. Mereka berasal dari suku Veddoid, dan dalam banyak hal mirip dengan suku Sakai di Semenanjung Melayu.

Namun, suku Sakai di Sumatra telah menerima bahasa dan adat istiadat matrilineal mereka dari suku Minangkabau yang berimigrasi ke wilayah itu pada abad ke-14.

Terdapat sebuah kisah bahwa terdapat sebuah kerajaan besar Minangkabau di Sungai Gasip, anak Sungai Siak, dan kerajaan itu dikuasai oleh orang Aceh. Orang Sakai kemudian melarikan diri ke hutan Mandau.

Sebenarnya, Suku Sakai tidak suka dipanggil dengan nama ini, dan menganggapnya sebagai penghinaan. Mereka menyebut diri mereka Orang Batin.

Gelar Batin dipinjam dari suku Melayu dan disandang oleh sekelompok bangsawan Sakai dengan gelar Melayu. Seperti halnya suku Mamaq, suku Sakai telah meminjam adat istiadat Melayu tanpa harus masuk Islam.

Kendati, mereka tidak mempraktekan khitan, tetapi kebanyak anak-anak laki-laki dikhitan pada usia tiga belas tahun.

Suku Sakai memiliki budaya nomaden, seperti semua suku Veddo, dan tidak menyukai pertanian. Sultan Siak telah memerintahkan mereka untuk menanam padi, dan kadang-kadang menghukum orang yang tidak memiliki ladang.

Seringkali mereka menabur padi, tetapi tidak menuainya. Karena mereka hanya diperintahkan untuk menabur, dan bukan untuk menuai.

Namun, setiap suku memiliki sebidang tanahnya sendiri, tempat anggota suku itu berladang dan mengumpulkan hasil semak belukar.

Suku Batin memiliki hak atas sepersepuluh dari hasil produksi. Untuk tanaman utama mereka, yaitu tanaman tapioka, tanah harus diganti setiap tiga tahun.

Sementara Suku Sakai juga menanam ubi jalar, talas, kacang-kacangan, lada, semangka, tebu, nanas, dan pisang.

Masjid Tengkera, Melaka (credits: Wiki Commons)

Sedangkan tembakau dan sirih mereka beli dari orang Melayu.

Satu-satunya alat pertanian yang digunakan oleh suku Sakai adalah tongkat penggali. Pada masa prapertanian, tongkat ini digunakan untuk menggali akar dari dalam tanah. Sekarang, tongkat ini digunakan untuk membuat lubang tempat akar tanaman budidaya ditanam.

Dengan cara yang sama, tongkat penggali adalah bentuk utama tombak. Suku Sakai masih menggunakan tombak, tetapi sekarang mereka membuat ujung tombak dari besi sepeti Orang Melayu.

Seperti di antara suku Sakai di Semenanjung Melayu, tidak ada peralatan dari batu yang digunakan. Dahulu, kayu dan bambu digunakan, dan pisau dibuat dari serpihan bambu.

Suku Sakai hanya memiliki sedikit hewan peliharaan. Mereka selalu memiliki anjing, dan sekarang mereka memiliki beberapa ayam.

Masyarakat menghidupi diri mereka sendiri terutama dengan berburu dan memancing. Mereka menggunakan sumpit dan amnak panah beracun, dengan Antiaris toxicaria dan sejumlah tanaman striknin.

Hewan yang terkena anak panah sumpit, lalu dibuang daging dibagian yang terkena, agar dapat dikonsumsi.

Meskipun sumpit hampir menghilang dari Sumatera Timur, namun sumpit adalah senjata utama suku Dayak di Kalimantan dan suku-suku tertentu di Kepulauan Melayu, termasuk suku Sakai.

Kadang juga, rusa, dan landak biasanya ditangkap dengan menggunakan ketapel dan perangkap buatan Orang Melayu.

Seperti penduduk Kepulauan Mentawai, suku Sakai menggunakan akar tanaman Tuba (Derris eliptica) untuk meracuni ikan. Praktik ini masih berlanjut, meskipun atas usulan pemerintah Belanda, hal itu dilarang oleh Sultan Siak.

Karena meracun ikan akan membunuh induk ikan dan banyak ikan-ikan kecil. Kail dan tali jarang digunakan. Praktik yang umum adalah menggantung pagar di seberang sungai, dengan lubang di tengah dan perangkap ikan di lubang itu.

Atau mereka menggunakan jaring, dengan panggung di atasnya tempat nelayan berdiri. Semua metode ini dipinjam dari orang Melayu.

Dulu orang Sakai mengenakan ikat pinggang tapa yang biasa. Sekarang mereka memperoleh barang-barang katun dari orang Melayu.

Rumah orang-orang ini sangat sederhana, hanya terdiri dari satu ruangan, terbuat dari kulit kayu dan daun palem kering, dan ditempatkan di atas rakit. Orang-orang ini terus berpindah-pindah, sehingga tidak dapat menggunakan tempat tinggal yang lengkap rumit.

Jika ladang mereka habis, atau sungai tempat mereka tinggal mengering, maka mereka pun bermigrasi. Pun, rumah akan kosong saat sakit atau meninggal.

Adat perkawinan orang Sakai agak membingungkan. Awalnya, masyarakat memiliki kebebasan untuk berhubungan seksual antara kedua jenis kelamin, yang kemudian mengarah pada perkawinan monogami tetapi tidak stabil.

Tidak ada batasan perkawinan di luar yang diberlakukan oleh keluarga sedarah bilateral. Sistem saudara kandung diperkenalkan oleh orang Minangkabau, dan seorang pria harus menikahi seorang wanita di luar saudara kandungnya sendiri.

Kemudian, Sultan Siak memperkenalkan sistem pembelian pengantin perempuan dan warisan patrilineal. Namun, yang terakhir ini ditujukan hanya untuk para kepala suku.

Karena semua perubahan ini terjadi dalam beberapa abad, jelaslah bahwa organisasi sosial bukanlah lembaga yang stabil.

Saat itu, perkawinan dilarang dalam hubungan saudara kandung.

Ketika seorang pria ingin menikahi seorang gadis, pertama-tama ia bertanya kepada ibunya. Kemudian, ibunya bertanya kepada gadis itu apakah pelamar itu menyenangkannya atau tidak. Jika tidak, masalah selesai. Namun, jika gadis itu menjawab “ya”, ayahnya diminta untuk memberikan persetujuannya.

Pria itu tidak diizinkan membawa istri atau anak-anaknya ke luar desanya. Jika seorang pemuda ketahuan bersama seorang gadis oleh orang tua gadis itu, ia harus menikahi gadis itu dan membayar emas kawin, jika mampu.

Emas kawin biasanya dibayarkan dalam bentuk barang, karena masyarakat kekurangan harta dalam bentuk uang.

Di antara suku Sakai di Rokan, ada bentuk “perkawinan tangkap” yang unik. Ketika seorang pemuda ingin menikah, ia dan objek kasih sayangnya diletakkan di sisi tumpukan tanah, dan dalam pengejaran yang terjadi, pemuda itu harus menjebak gadis itu.

Karena pengejaran ini tidak ditemukan di tempat lain di Sumatra, tetapi juga terjadi di antara suku Sakai di Semenanjung, maka hal itu pastilah asli dari kedua suku itu.

Dalam perkawinan, semua harta benda, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, adalah milik wanita. Kepemilikan diwariskan melalui ibu. Anak-anak mengikuti ibu dan bukan ayah.

Perceraian sangat sering terjadi. Sang istri dapat dengan mudah mengusir suaminya. Anak-anak dan harta bersama tetap menjadi miliknya.

Seorang pria juga dapat meninggalkan istrinya tanpa formalitas, namun kehilangan anak-anak dan harta bersama. Jika ia belum membangun rumah, ia harus membayar denda kepada keluarga istrinya atas masalah yang telah ia sebabkan kepada mereka.

Suku Sakai tidak mempraktikkan poligami, dan kesetiaan dalam perkawinan sangat ditekankan. Pada saat kematian istri, semua hartanya dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga diberikan kepada suami, sepertiga kepada keluarganya sendiri, dan sepertiga dimasukkan ke dalam kuburan bersama istrinya.

Pada saat kematian pria, semua yang diperolehnya bersama istrinya dibagi antara keluarganya dan keluarga istrinya. Sangat sedikit yang dikubur bersama seorang pria. Moszkowski hanya menemukan sebilah pisau kecil dan koin tembaga di kuburan seorang pria.

Peta Sumatera, Kalimantan dan Jawa karya De Bry. (credits: Bartele Gallery)

Para wanita memiliki lebih banyak harta untuk dikubur, karena perhiasan apa pun yang digunakan oleh suku Sakai dikenakan oleh para wanita.

Adat pemakaman sangat kuno dalam bentuk Malaysia dan bukan Veddoid. Sebuah tempat berteduh empat sudut didirikan di atas kuburan.

Para kerabat berjaga selama tiga hari di atas kuburan orang biasa, dan tujuh hari di atas kuburan seorang kepala suku. Ini dilakukan untuk menakut-nakuti hantu kubur, roh jahat di dalam kuburan. Untuk alasan yang sama, api dibiarkan menyala di atas kuburan. Sebuah upacara adat diadakan setelah kematian.

Seperti yang telah berulang kali ditekankan dalam buku ini, apa yang disebut “matriarki” tidak serta merta meningkatkan posisi perempuan. Di antara suku Sakai, semua kerja keras, seperti mengambil air, dibebankan kepada perempuan.

Moszkowski menulis bahwa hak-hak yang dimiliki perempuan secara de jure, dipraktikkan secara de facto oleh anggota keluarga laki-laki.

Satu-satunya perbedaan antara hak ibu, seperti biasa di sini, dan hak ayah, seperti biasa di tempat lain, adalah kenyataan bahwa perempuan tidak berada di bawah kekuasaan suaminya, tetapi di bawah kekuasaan kakak laki-lakinya, yang, karena seribu alasan, memberikan kekuasaan yang jauh lebih tidak menyenangkan kepadanya daripada yang dapat atau akan dilakukan suaminya.

Jadi, hak-hak teoritis yang paling maju tidak ada gunanya jika seseorang tidak memiliki kekuatan untuk menegakkannya.

Tidak ada yang diketahui tentang agama asli suku Sakai. Mereka tidak memiliki alat musik, tarian, atau lagu mereka sendiri. Mereka telah kehilangan mitos-mitos mereka, dan ketika mereka berbicara di malam hari, sebagian besar pembicaraan mereka adalah tentang makanan.

Secara umum, suku Sakai memiliki kepercayaan yang sama dengan suku Melayu, takut pada hantu atau hantu yang sama, dan menggambarkan Batara Guru (Siwa) sebagai pemburu liar. Hantu jahat adalah penyebab semua penyakit, dan fungsi terpenting dukun adalah mengusir mereka dari tubuh pasien.

Orang Melayu percaya bahwa jiwa meninggalkan tubuh dalam bentuk burung, dan ditawan oleh roh-roh jahat yang harus direnggut oleh dukun.

Dukun Sakai intrance dengan menari. Dalam tarian itu, ia memegang pedang di tangan kanannya dan sering kali juga busur dan anak panah. Di tangan kirinya, ia memegang gelang yang dilapisi lonceng untuk memberi tempo pada genderang.

Dukun itu jatuh ke dalam kondisi tak sadar dan berkomunikasi dengan roh-roh, yang, bagaimanapun, tidak memasuki tubuhnya. Ketika dukun itu sadar, ia berkata bahwa pasien tidak perlu takut karena ia memiliki roh-roh dalam kekuasaannya.

Dalam pertunjukan kedua, dukun itu menyedot penyakit keluar dari pasien.

Orang Sakai, seperti seluruh orang-orang asli lainnya, pasti pada suatu waktu memiliki dukun atau peramal mereka sendiri. Meskipoun, kini mereka telah kehilangan dukun mereka, karena dukun kerap berbohong.

Terdapat dua suku Akit di Kesultanan Siak. Awalnya mereka adalah penduduk pesisir, tetapi sekarang mereka tinggal di sungai Mandau dan Siak.

Nama mereka konon berasal dari kebiasaan mereka membangun rumah di atas rakit.

Budaya fisik suku Akit menarik, karena mereka adalah ras yang sangat campuran. Moszkowsky mengamati individu berambut lurus, keriting atau bergelombang, dan bahkan berambut wol.

Jadi mungkin ada darah Semang atau Negrito diantara orang-orang asli ini.*

*Antropolog Amerika. Tulisan ini dinukil dan diterjemahkan dari buku: “Sumatra, Its History And People” tahun 1935

avatar

Redaksi