“Orang Suku Pindah” Di Kerajaan Jambi

Budaya & Seni

November 18, 2024

Aulia Tasman gelar Depati Muaro Langkap

Suku Batin di Rantau Panjang, Tabir, Merangin antara tahun 1914 hingga 1921. (credits: Tropenmuseum)

PENDUDUK Kerajaan Jambi terdiri dari berbagai suku bangsa; Bangsa XII, orang Kubu, orang Batin, suku Keraton, Kadipan, dan lainnya, termasuk “Orang Penghulu”.

Yang dimaksud dengan “Orang Penghulu” dalam kerajaan Jambi, adalah kelompok suku bangsa yang berasal dari keturunan orang Minangkabau yang dulunya dari sana, lalu berpindah ke tanah Jambi dengan tujuan utama untuk mencari emas. Mereka, dengan istilah lain sering pula disebut sebagai “Orang Suku Pindah”.

Agar mendapat tempat menetap lama, mereka pun menggabungkan diri dan tunduk kepada Batin induk (: kalbu setempat). Untuk ini mereka harus sanggup membayar kepada Batin per satu kali dalam satu tahun. Yakni “kerbau seekor beras seratus gantang” dengan syarat harus patuh pula kepada “Taliti” atau Undang-undang Jambi.

Diantaranya, bahwa mereka tidak dapat melepaskan diri dari peperangan dimana Batin terlibat dan mempertahankan segala keputusan yang telah diambil dengan daerah sekitarnya.

Adat istiadat atau budaya yang mereka pegang pakai menurut kebiasaan negeri asal masing-masing (Minangkabau) boleh berlaku. Dengan istilah lain “boleh bercupak gantang sendiri”.

Kelompok mereka disebut “Anak Batin”.

“Beras seratus kerbau seekor” sebagai pembayar denda kepada Batin adalah untuk kenduri. Yang dimasak bersama-sama dan dimakan bersama seluruh rakyat.

Pula sebagai pereratan hubungan antar Induk-Anak Batin. Sehingga membawa rakyat kepada perasaan campurbaur (integrasi) antar keduanya.

Adat ini termasuk di dalam waris “yang tak lapuk dek hujan dan tak lekang dek panas”.

Sedangkan kewajiban terhadap kerajaan Jambi, dimana Orang Penghulu harus membayar “Jajah” atau pajak penghasilan kepada raja dan wajib bakti dalam suatu tugas tertentu. Seperti; Orang Penghulu di Limun – Batang Asai, sebagi penjaga batas dengan Bengkulu dan Palembang, dan yang berada di Ulu Tabir dan Bungo sebagai penjaga batas dengan daerah Minangkabau.

Pada pemerintah adat, kepenghuluan ini adalah daerah otonomi dari Batin. Yakni, diatur dan dipimpin oleh seorang yang dipilih diantara mereka sendiri dengan gelar Penghulu dan panggilan sehari-hari “Datuk”.

Tegasnya, Batin adalah territorial, dan kepenghuluan adalah kesatuan masyarakat hukum dari suatu keturunan (genealogiesche rechtsgemeenschap), dalam hal ini dari Minangkabau.

Batin menguasai tanah seluruh daerahnya. Bagi orang kepenghuluan selagi masih mengakui atau takluk pada Induk Batin, maka mereka dibenarkan untuk mencari penghidupan dalam areal Batin itu seperti pendulangan emas, pengambilan hasil hutan, ikan di lebak lebun dan sungai dengan syarat tertentu pula.

Jika tidak menampakkan kepatuhannya lagi, maka mereka harus membayar ganti rugi ekonomi bagi Batin. Yakni berupa atau berbentuk suatu kontribusi yang harus disumbangkan kepada Batin.

Di bagian Muaro Bungo orang-orang penghulu ini, yaitu suku pindah dari Minangkabau, di Hulu Pelepat dengan dusunnya: Batu Kerbau, Lubuk Tebat, Beluar Panjang, Pedukun dan Dusun Baru. Di daerah itu, di mana mereka dibatasi dengan rimba antara dengan Batin.

Dalam satu keputusan, mereka ini dibenarkan mengambil hasil hutan seperti kayu, buah, balam dan lainnya. Dengan syarat membayar retribusi kepada Batin seperi yang digariskan dalam “Taliti Jambi: “ke laut berbungo pasir, ke darat berbungo kayu”.

Kependudukan seperti ini terdapat juga di dusun-dusun seperti: Bukit Lunang, Sekampil, Bukit Telago, Rantau Asam, Pulau Balai di Peleptat;  Batang Sungai Bungo, Sungai Arang, Pulau Pekan dan Talang Pantai di daerah Sungai Bungo, Pemunjin pada Hulu Tebo.

“Rumah Tuo” Rantau Panjang, Tabir, Merangin. (credits: kemenkraf)

Di wilayah Bangko, penduduk penghulu ini yang menempati tanah Batin, dengan dibebani membayar hasil tanah kepada Batin untuk sekali. Dan tidak seperti di daerah Muara Siau dan di Tabir yang dibayar tiga tahun sekali. Contoh dalam hal ini adalah penduduk Muara Kibul yang menempati tanah Batin.

Dari gelar Kepala Adat atau pimpinannya mudah dapat diketahui dari mana asal mereka. Sebab orang Batin para pemimpinnya adalah: Depati, Rio dan sebagainya.

Marga Hulu Tabir dan Muara Kibul penduduknya dapat dikatakan keturunan Minangkabau. Sedangkan di Pangkalan Jambu, sebagaimana juga Lubuk Gaung dan Masumai (tanah renah) didapati sedikit dari mereka.

Namun, rakyat Batin dan rakyat Penghulu pun kemudian bercampurbaur. Yang pembauran ini menghasilkan penduduk Bangko asli.

Di mana orang penghulu menetap di daerah Batin, maka berlakulah adat Batin. Di daerah Orang Penghulu, hukum adat banyak menyimpang, dan mengarah kepada Undang Minangkabau, sedang kedua adat ini berlainan falsafah.

Untuk keseragaman ditempuh kebijaksanaan oleh Kerajaan Jambi dengan dasar:

“Undang Turun Berali Galeh (Gala)

Taliti Muki Belantak Tajuk

Taliti Tenggelam Dalam

Undang Bergantung Tinggi”

Dikarenakan rakyat Batin dan Orang Penghulu sudah menyatu, maka diambil lah jalan tengah. Dimana keduanya “disisik disiang” diambil yang baik yang kurang dibuang untuk pengatur kehidupan sehari-hari dengan garis “Undang Dikundang, Taliti Dititi, disebut Adat Pubokalo.”

Kemudian, untuk dimaklumi bahwa sebelum Kesultanan Jambi ini menguasai seluruh daerah ini sampai ke uluan, orang Minangkabau dan Kerinci turun ke daerah Sungai Tengan dan Serampas. Mereka menetap dan berpenghidupan di sana.

Tetapi mengajak rakyat setempat untuk agar tunduk kepada kerajaan Pagarruyung.

Lama-kelamaan, setelah daerah ini berbenah diri menjadi Batin II Hulu Tembesi, mereka yang berasal dari Minangkabau dan Kerinci itu lalu menyebar ke Batang Asai, sebagian lagi menghilir Sungai Merangin dan sebagian tinggal di Rangkiling dan Koto Buayo.

Pada waktu masuk dalam pemerintahan Kesultanan Jambi, mereka dapat menguasai sampai ke Koto Buayo saja. Dengan mendudukkan seorang Jenang sebadi koordinator mewakili raja untuk bidang ekonomi dan hukum.

Daerah ini, selanjutnya masing-masing dengan sistem kekeluargaan yang disebut oleh orang Jambi sebagai “Kelebu”.

Namun sudah ber-tuo nan tigo takah; yakni tuo tengganai yang mewakili setiap keluarga, tuo kampung sebagai ketua dari tuo-tuo tengganai tadinya, terpilih dari salah seorangnya suaranya berdengar dan rupanya berlihat atau disegani dan terpandang, kemudian terakhir Tuo Batin, yaitu seorang yang berwibawa diantaranya atau waris, “pucuk jalo himpulan tali” dari segala perundingan, keputusannya berarti keputusan orang banyak.

Menurut tulisan J. Tideman, kedatangan orang-orang dari Serampas dan Sungai Tenang ke Rangkiling dan Koto Buayo itu tadinya terus menerus “mengojok” dengan selalu menimbulkan kegaduhan dan keresahan pada raja Jambi. Sehingga raja terpaksa berangkat ke Pagarruyung menyelesaikan persoalan ini.

Dalam musyawarah antara dua kerajaan ini, yakni Jambi dan Pagarruyung, diputuskan dan disepakati bersama bahwa tempat-tempat yang dimasuki oleh orang-orang imigran itu adalah sah dalam kekuasaan raja Jambi.

Sehingga Sultan Jambi mengambil tindakan dan mengesahkan daerah-daerah yang dikategorikan sebagai Batin untuk mempunyai struktur dan fasiltasnya.

Dan daerah Orang Penghulu dibuat pula dengan tegas dan “Pasak Kancing-nya” (pembatasannya), sebagai mana tercantum dalam “Taliti Jambi”: Deang Nan Empat – Paseko Nan Tigo”.*

avatar

Redaksi