Domestikasi Politik Di Sumatera Tengah (2)
Hak Asasi Manusia
March 13, 2025
Jon Afrizal

Uang di masa PRRI. (credits: Wiki Commmons)
“Siang hari mereka masuk hutan dan malam harinya mereka kembali ke perkampungan. Pada siang hari, sering terdengar suara letusan senapan dan bahkan mortir melayang di udara. Dalam hitungan detik, mortir akan meledak di perkampungan yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para gerilyawan.” Novel “Bergolak” – Armini Arbain dan Ronidin.
PADA tanggal 8 September 1957, para tokoh dari wilayah-wilayah bergejolak mengadakan pertemuan di Palembang. Lalu disepakati untuk membentuk “Dewan Perjuangan”. Ini adalah wadah untuk mengakomodir Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Timur, dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Ahmad Husein dipilih dan diangkat secara bersama sebagai Ketua Dewan Perjuangan.
Pada pertemuan ini, para pemimpin dewan-dewan sampai kepada kesepakatan: menuntut pembubaran PKI.
Ketegangan antara Sumatera Tengah dan pemerintah pusat mulai meruncing. Tentu saja, Soekarno cenderung dekat ke Blok Uni Soviet.
Pemerintah pusat tidak memenuhi tuntutan Dewan Banteng terkait; otonomi, sistem pemerintahan desentralisasi, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil, penyerahan mandat Perdana Menteri Djuanda kepada Mohammad Hatta dan Hamengku Buwono IX, pembentukan zaken kabinet, dan, tuntutan agar presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional.
Maka, benih-benih pemberontakan pun mulai tumbuh.
Sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat ini, maka terjadilah pembangkangan.
Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat. Uang itu tetap di daerah, dan digunakan untuk pembangunan daerah.
Dewan Banteng pun melakukan perdagangan dan barter hasil alam Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Jejak pengusaha-pengusaha Amerika hadir di sini. Juga, beberapa negara lainnya.
Seluruh dana yang didapat dari perdagangan itu digunakan untuk pembangunan daerah.
Lobi-lobi perdagangan ini, tidak lepas dari peran dua orang. Keduanya memilih bergabung dengan PRRI karena alasan perbedaan pandangan politik dengan pemerintah Soekarno kala itu.
Yakni; Soemitro Djojohadikoesoemo, yang nantinya menjadi Menteri Keuangan PRRI. Dan, Sutan Mohammad Rasjid, Gubernur Militer Sumatra Tengah tahun 1949.

Tokoh-tokoh PRRI. (credits: bode-talumewo)
Setelah PRRI ditumpas, Soemitro tidak pulang ke Indonesia, hingga tahun 1967. Ia kembali ke Indonesia, setelah Soeharto menjadi presiden,.
Adapun Sutan Mohammad Rasjid, setelah PRRI diberantas, ia hidup berpindah-pindah sebagai pelarian politik.
Meskipun, hasil dari kebijakan Dewan Banteng ini sangat nyata, dan tentunya berbeda dengan keadaan sebelum adanya Dewan Banteng. Bahkan, pembangunan yang terjadi di Sumatera Tengah pada saat itu, kerap dinyatakan sebagai yang terbaik di Indonesia pada masanya.
Tentu saja, kebijakan ini didukung oleh masyarakat luas, tokoh adat, dan alim ulama. Rakyat; yang belum memahami efek-efek lanjutan dari sebuah pembangkangan.
Dan, seperti dinyatakan sebelumnya, gerakan ini mendapat simpati dari banyak kalangan partai politik, terutama Masyumi, dan, terkecuali PKI.
Akibatnya, hubungan antara Sumatera Tengah dan pemerintah pusat menjadi semakin genting saja.
Pada bulan Desember 1957, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden.
Lalu, Dewan Banteng mengirim ultimatum kepada pemerintah pusat pada tanggal 10 Februari 1958. Isinya: menuntut pembubaran Kabinet Djuanda, dan pembentukan kabinet baru di bawah Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Pemerintah pusat menolak ultimatum itu. Pun, Hatta dan Hamengkubuwono tidak memberikan dukungan terhadap ultimatum itu.
Akhirnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) AH Nasution membekukan Komando Sumatera Tengah. Dan, menetapkan bahwa seluruh kesatuan militer hanya menerima perintah langsung dari KASAD.
Pada tanggal 12 Februari 1958, AH Nasution memerintahkan untuk menangkap Ahmad Husein, Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek, dan Maludin Simbolon. Dan memecat mereka dari kemiliteran dengan tidak hormat.
Pada pertengahan Januari 1958, sekutu Dewan Banteng melakukan pertemuan di Sungai Dareh, Kabupaten Dharmasraya. Terdapat juga literature dimana dinyatakan bahwa utusan dari Masyumi yang juga hadir kala itu, merasa terjebak, tersudut, dan ikut serta dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Selanjutnya, Dewan Banteng dibawah komando Ahmad Husein, membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Kota Padang pada tanggal 15 Februari 1958.
Syafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri, dan juga telah disusun kabinetnya. Sedangkan Kolonel Maludin Simbolon dari Dewan Gajah diangkat menjadi Menteri Luar Negeri.

Tugu Peringatan Pembebasan di Kewalian Indrapura. (credits: Wiki Commons)
Langkah yang terlalu jauh dalam situasi yang semakin sempit. Genderang perang mulai ditabuh. Dan, sepertinya, terlalu kencang.
Tetapi, ternyata, tokoh-tokoh PRRI belum sepenuhnya satu suara. Terdapat kelompok yang menentang proklamasi PRRI itu. Seperti Mayor Nurmantias dan Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa.
Dan, keduanya telah menjalin kerjasama dengan tentara pemerintah pusat.
Gerakan PRRI menjadi semakin aneh dan terlalu meliar. Terlebih ketika tokoh-tokoh PRRI memproklamasikan berdirinya Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federal pada bulan Februari 1960.
Sebuah tindakan politik yang melemahkan kekuatan PRRI sendiri.
Tentu saja, para tokoh PRRI tidak satu suara. Sebab, pendirian RPI sudah terlalu jauh, dan telah melenceng dari tujuan awal gerakan. Yang, tujuan awal gerakan PRRI adalah bukan untuk terpisah dari Indonesia.
Harus diakui, PRRI terlalu “berani” dan salah dalam menghitung langkah. Mengutip kemdikbud, pihak asing, seperti Amerika, yang sempat memberi dukungan, pun mengubah kebijakannya, dan tidak lagi melakukan perdagangan dan barter dengan PRRI.
Sejak itu, peperangan demi peperangan terjadi di Sumatera Tengah. Gerilyawan dikejar di kota, ke kampung hingga ke dalam hutan.
Dinding-dinding rumah bagonjong yang bolong-bolong terkena peluru di wilayah Tanah Datar, misalnya, yang berdiri tegak hingga hari ini, menjadi saksi terjadinya perang saudara antar satu bangsa. Antara tentara PRRI dan tentara pusek (: tentara pemerintah pusat).
AH Nasution pun membekukan kegiatan Dewan Banteng, Masyumi, dan PSI. Pada tanggal 13 September 1960, karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam persekutuan gerakan PRRI, Presiden Soekarno melalui Kepres nomor 200 tahun 1960 menyatakan: membubarkan Masyumi.
Di lain sisi, AH Nasution pun telah menyiapkan operasi militer; gabungan dari angkatan darat, laut, dan udara dengan sandi “Operasi 17 Agustus” di Sumatera Tengah, dibawah komando Kolonel Ahmad Yani dari Kodam Brawijaya. Selanjutnya, pasukan berasal dari Kodam Diponegoro.
Pasukan khusus dari Banteng Raiders dan KKO adalah pasukan andalan di darat oleh pemerintah pusat. Di sisi lainnya, KRI Pati Unus pun dipersiapkan berlayar menuju ke Kota Padang.
Satuan pasukan tempur bawah air pun ikut serta. Yang selanjutnya, pada tahun 1962, pasukan ini resmi menjadi Komando Pasukan Katak (Kopaska).
Operasi militer yang terstruktur mulai diberlakukan sejak bulan Februari 1961. Dan dalam waktu tiga bulan, tentara pusat pun berhasil menguasai titik-titik pertahanan dan perlawanan pemberontakan di Sumatera Tengah.
Jelas, PRRI telah “Kalah Perang”.
Drama tagis ini berakhir pada 17 Agustus 1961. Dengan terbitnya Kepres nomor 449 tahun 1961 tentang “amnesti dan abolisi kepada seluruh orang yang terlibat PRRI/PERMESTA”.
Abrar Yusra dalam “Azwar Anas: teladan dari ranah Minang” menyebutkan bahwa seluruh operasi di daerah Kodam III/17 Agustus di Sumatera Tengah menelan banyak korban. Baik itu dari tentara PRRI, maupun tentara pusat.
Sebanyak 7.146 orang tewas, 1.944 luka-luka, dan 321 orang hilang. Jika seluruh orang yang tewas dan yang luka dijumlahkan (9.080 orang) dan dibagi dengan banyaknya total waktu operasi (48 bulan), maka rata-rata korban kedua belah pihak setiap bulan adalah 187 orang.
Sebagian besar korban yang tewas berasal dari pihak PRRI, dan sebagian besar yang luka dari pihak APRI, Polisi/Brigade Mobil, OPR, pegawai, dan rakyat.
Saafroedin Bahar gelar Sutan Majolelo menyatakan, bahwa angka dari pihak Belanda mengenai korban TNI di daerah Sumatera Tengah pada Agresi Belanda II adalah; gugur 4.699 orang dan luka 31 orang.
Dan, betapa mengerikannya, bahwa korban dalam perang saudara ini jumlahnya hampir dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah korban dalam menghadapi pasukan Belanda.
Pasca penumpasan gerakan PRRI, pada tahun 1961, masyarakat Sumatera Tengah, terutama Minagkabau, cenderung pasif terhadap apapun. Sebagai dampak buruk dari “Kalah Perang”.
Ketidakpercayaan adalah krisis tersendiri. Dimana, kepercayaan yang dititipkan kepada pemimpin mereka, ternyata telah memberikan sebuah titik absurd dalam kehidupan mereka sendiri. Titik Nadir. Titik ketidakjelasan.
Meskipun, terkadang, masih saja terdengar gaungan tentang kefaanaan terhadap kebanggaan bahwa mereka dulunya bagak dan pernah “melawan”. Dan hanya menjadi fatamorgana saja, yang menggaung terbawa angin.
Keterlibatan pelajar dan mahasiswa dalam gerakan PRRI, sebagai simbiosis lain dari Tentara Pelajar ala PRRI, realitanya, telah menyebabkan kampus-kampus terabaikan. Dunia pedidikan kehilangan calon dan cerdik cendikiawan.
Kampus-kampus kosong tanpa mahasiswa dan pelajar. Mereka sibuk keluar masuk hutan, yang, bukan untuk penelitian biodiversity. Tetapi untuk urusan perang politik.
Perang, yang secara sadar telah mereka pilih. Meskipun, konsekwensinya belum sepenuhnya mereka sadari.
Stigma “pemberontak” telah memaksa gelombang besar orang Minang untuk merantau ke luar Sumatera Barat, terhitung sejak mereka “kalah parang”.
Nama-nama khas Minangkabau, sebagai identitas, yang umumnya adalah nama dalam bahasa Melayu Lama dan juga bahasa Arab, lalu digantikan dengan nama-nama yang berasal dari bahasa Jawa atau bahasa Inggris. Nama-nama yang menjadi aneh, dan seolah tidak memiliki landasan sosial budaya sama sekali.
Penggunaan kata “Minangkabau” pun kerap berganti menjadi kata “Padang”. Semua dilakukan dengan tujuan untuk menyamarkan identitas dan menghilangkan stigma pemberontak.
Meskipun, dialek dan logat dalam berbahasa tidaklah dapat dengan mudah untuk disamarkan. Pun hingga hari ini.
Seperti pembunyian e pepet dan e taling yang tidak sinkron, misalnya. Dimana, bagi banyak Orang Minang, hampir seluruh bunyi e pepet dilafadzkan dengan e taling.
Ini dapat dijelaskan. Sebab, dalam Bahasa Minangkabau, hanya sedikit sekal ditemukan huruf “e“. Itupun, umumnya adalah berbunyi e taling.
Definisi tentang; benar dan salah, protagonist dan antagonist, kalah dan menang, dapat saja tetap diperdebatkan sampai kapanpun. Meskipun, tanpa definisi sekalipun, kebenaran sejatinya akan tetap ada.
Tetapi, trauma, yang dialami banyak orang-orang yang terlibat, yang disebut dengan: rakyat, yang masih hidup dan bernafas pada hari ini, telah berubah menjadi mimpi-mimpi buruk pada setiap tidur malamnya. Mimpi yang berwarna hitam – putih, dan technicolors, dan ingauan.
Mimpi tentang: peluru, mortir, serbuan, kepungan, penangkapan, kematian orang-orang yang dicintai, dan banyak hal-hal buruk lainnya terkait Perang Saudara. Tentang: darah dan air mata.
Semua karena: politik dan petualangan.*

