“Syair Lampung Karam” Dan Reportase Krakatau 1883

Inovasi

October 23, 2024

Jon Afrizal

Erupsi Krakatau tahun 1883. (credits: Committee of the Royal Society)

“Hamba mengarang fakir yang hina

Muhammad Saleh nama sempurna

Kerana hati gundah gulana

Melainkan Allah yang mengetahuinya.”

SYAIR, dalam kasanah puisi Indonesia, adalah bentuk dari puisi lama yang digunakan untuk menuliskan hal-hal penting. Namun, penulisannya umumnya menggunakan bait-bait yang sangat panjang.

Syair, yang banyak terpengaruh dengan budaya sastra Persia ini, digunakan untuk menuliskan cerita, nasihat, agama, dan lainnya.

Umumnya, syair berkembang pada era bahasa sebelum 26 huruf alfabet Latin digunakan di Nusantara. Sehingga penulisannya kerap menggunakan menggunakan huruf Jawi (Arab Melayu).

Pada letusan Gunung Krakatau tanggal 26 hingga 28 Agustus tahun 1883, telah dicatatkan, atau direportasekan oleh seorang bangsa Melayu. Namanya: Mohammad Saleh.

Catatan lengkap tentang kondisi saat itu dirangkum dalam naskah “Syair Lampung Karam”. Sebuah naskah berhuruf Jawi, dengan panjang 374 bait, dicetak dalam 36 hingga 42 halaman.

“Syair Lampung Karam” kerap dinyatakan sebagai syair pewartaan. Sebab, pada syair ini, terungkap sisi jurnalisme seorang warga yang menjadi korban bencana. Anggap saja ini adalah sama dengan pemahaman “Jurnalisme Warga” yang dikenal pada saat ini.

Mohammad Saleh pada saat kejadian letusan Karakatau, berada di Lampung. Ia adalah korban yang selamat.

Setelah itu, ia mengungsi dan pergi ke Singapura, dan bertempat tinggal di Bencoolen Street. Dan, dari sanalah ia menulis syair ini.

Naskah syair ini pertama kali diterbitkan di Singapura, tertanggal tahun 1301 Hijriah (November 1883-Oktober 1884). Dan diberi judul “Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu”.

Diperkirakan, Mohammad Saleh adalah penduduk asli Lampung. Ia memahami daerah, dan juga etika tradisi.

Dengan unsur reportase yang kuat, ia menceritakan musnahnya desa-desa dan kematian para warga akibat letusan gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami serta hujan abu dan batu.

Nama-nama daerah yang ia sebutkan, adalah; seperti Bumi, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, Pulau Sebesi, Sebuku, dan Merak.

“Syair Lampung Karam”. (credits: Universiteit Leiden)

Ia juga menceritakan bahwa semua orang saling tolong-menolong, baik dari kalangan orang Belanda maupun penduduk lokal. Sebaliknya, ada pula yang mencari kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengambil harta orang-orang yang tertimpa musibah.

Terdapat empat edisi berbeda pada “Syair Lampung Karam” yang telah ditemukan. Seluruh edisi diterbitkan di Singapura.

Tidak lama setelah terbitan edisi pertama muncul edisi kedua dengan judul “Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut”, dengan tebal 42 halaman. Edisi kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884). Edisi ketiga diberi judul “Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut” dengan tebal 49 halaman.

Edisi ketiga ini diterbitkan oleh oleh Haji Said. Edisi ketiga ini diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut “Syair Negeri Anyer Tenggelam”.

Sedangkan edisi keempat, syair ini diberi judul “Inilah Syair Lampung Karam Adanya”, dengan tebal 36 halaman. Edisi keempat ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16 Oktober 1888).

Suryadi, peneliti dan ahli filologi pada Universitas Leiden, penemu “Syair Lampung Karam”, pada wawancara di Radio Nederland Wereldomroep tertanggal 03 September 2008 menyebutkan bahwa satu-satunya dokumen kesaksian kaum pribumi terkait letusan Gunung Krakatau adalah “Syair Lampung Karam”.

Selama ini, hampir seluruh laporan tentang letusan dahsyat Krakatau didapat hanya berdasarkan pada laporan orang-orang asing. Terutama Belanda dan Inggris.

Suryadi menyatakan bahwa “Syair Lampung Karam” selama ini terlupakan dan tidak tercatat. Padahal, ia dalam penelitiannya telah mendokumentasikan sekitar 2.000 tulisan mengenai letusan Krakatau kala itu.

Peneliti atau penulis barat mencatat kejadian Krakatau melalui sisi keilmuan. Seperti geologi dan geografi, misalnya.

Sementara pada “Syair Lampung Karam”, Mohammad Saleh justru melihat dari segi humanisme. Tentang bagaimana orang-orang yang dalam keadaan kacau balau kala itu saling tolong-menolong.

Dan, bagaimana tuan controleur Belanda datang dan membagi uang kepada para korban bencana. Serta, ia pun memerintahkan para saudagar yang masih hidup, untuk membawa beras dan menolong masyarakat di sana.

Mohammad Saleh juga menekankan bahwa bencana ini membuat semua orang harus tetap dekat kepada Tuhan.

Unsur kemanusiaan ini, yang tidak didapat dalam laporan orang Eropa terkait kondisi Krakatau 1883.

“Syair Lampung Karam” adalah sebagai teks yang melengkapi, terkait gambaran historis mengenai letusan Krakatau pada waktu itu.

Krakatau (Krakatoa ataupun Rakata) adalah nama yang disematkan pada satu puncak gunung berapi di kepulauan vulkanik yang masih aktif. Kepulauan ini berada di Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, tepatnya di perairan Selat Sunda, antara Pulau Jawa dan Sumatra.

Gunung Krakatau Purba pernah meletus hebat tahun 535 Masehi yang menyebabkan terbentuknya Selat Sunda. Juga menghilangkan peradaban Pasemah Lampung dan Salakanegara Banten selama sekitar 20 tahun hingga 30 tahun.

Pada tahun 1680, pernah terjadi letusan juga. Peristiwa itu pun masih berlanjut terulang kembali yang menyebabkan Krakatau sirna karena letusan kataklismik pada tanggal 26 hingga 27 Agustus 1883.

Pada tahun 2019, kawasan yang sekarang merupakan cagar alam ini memiliki empat pulau kecil: Pulau Rakata, Pulau Anak Krakatau, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang (Rakata Kecil). Berdasarkan kajian geologi, semua pulau ini berasal dari sistem gunung berapi tunggal Krakatau yang pernah ada di masa lalu.

Krakatau dikenal dunia karena letusan yang sangat dahsyat pada tahun 1883.

Awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Terhitung hingga tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudra Hindia.

Suara letusan itu terdengar sampai ke Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer.

Matahari bersinar redup hingga setahun berikutnya. Hamburan debunya tampak di langit Norwegia hingga New York.*

avatar

Redaksi