Memberangus Bandit Sosial

Resonansi

April 22, 2024

AA Navis

Suasana di satu jalan di Kota Padang, Sumatera Barat, diperkirakan tahun 1930. (credits : Universiteit Leiden)

Bandit sosial, adalah “kunci” dari penelitian sejarawan Eric Hobsbaw. Terminologi ini merujuk pada suatu bentuk perlawanan sosial yang melibatkan perilaku yang menurut hukum adalah ilegal, tetapi malah didukung oleh masyarakat “tertindas” yang lebih luas sebagai tindakan yang bermoral dan dapat diterima. Berikut adalah republikasi cerita pendek berjudul “Rekayasa Sejarah Si Patai” dari AA Navis, yang menceritakan tentang bandit sosial di Kota Padang pada masa Hindia Belanda, untuk pembaca Amira.

SEORANG anak kecil ingusan berlari ke halaman ketika mendengar genderang dipalu di jalan raya. Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari membawa badannya yang buntal tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi para marsose (pasukan seperti Kopasus sekarang) berpawai sambil memalu gendering yang diiringi bunyi trompet bersuara lengking. Kepala anak kecil itu seperti dihela magnit mengikuti pawai.

Tapi demi melihat serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah dan tubuhnya berlumur cat hitam, anak kecil itu merasa ngeri. Dan ketika melihat sebuah kepala terpenggal pada ujung tombak yang digoyang-goyang, hatinya kecut.

Memekik-mekik dia memanggil ibunya waktu berlari kembali ke rumah. Tapi ibunya tidak ada. Di pojok kamar anak kecil itu terduduk dengan kedua dengkul menopang kepala. Terisak karena merasa tidak terlindung dari ketakutan.

Kepala terpenggal di ujung tombak, dengan rambut panjang yang bergelimang darah kering dan mata yang memutih terbuka lebar, tak putus-putus melintas dalam mata angan anak kecil yang masih ingusan itu. Lebih dirapatkannya kedua dengkulnya seperti hendak menyatukan seluruh tubuhnya.

Sampai lama bayangan kepala terpenggal di ujung tombak masih menimbulkan rasa ngeri pada dirinya. Ketika anak kecil itu telah menjadi ayah, peristiwa itu diceritakan kepada anaknya. Anak itu Si Dali namanya. Kemudian Si Dali mengisahkannya kembali kepada seorang mahasiswa yang mencari hahan untuk skripsi kesarjanaan.

Dan setelah berbulan-bulan meneliti dengan menanyai banyak orang yang mengaku mengenal peristiwa itu, hasilnya menjadi suatu kisah sejarah resmi yang dipalsukan.

***

Pada ujung abad ke-19 sampai pada awal abad ke-20 desa Pauh di pinggir utara kota Padang, menjadi pelintasan pedagang yang pulang-pergi dari pedalaman Minangkabau ke kota. Lama kelamaan desa itu menjadi sarang pelarian dari tangkapan pemerintah. Baik yang musuh politik maupun penjahat. Rakyat menyebutnya sebagai sarang orang bagak dan para pendekar. Aliran silat pendekar desa itu terkenal kemana-mana. Sehingga banyak orang berlajar ke sana.

Dinamakan sebagai aliran Silat Pauh. Kekuatannya pada kaki, menyepak, menerjang dan menungkai.

Polisi selalu was-was memasuki desa itu. Patroli tentera pun enggan. Banyak sudah korban di pihaknya. Sedangkan musuh yang dicari tidak pernah dapat.

Seorang pendekar yang paling disegani, paling ditakuti, Si Patai namanya. Ilmunya banyak, pengikutnya pun banyak. Menurut cerita yang tersebar, pada masa itu Si Patai sering keluar masuk kota. Tak seorang pun berani melapor kepada pemerintah bila melihatnya. Karena setiap ada yang melapor, selalu saja rumah pelapor kena rampok malam harinya. Lambat laun, setiap terjadi peristiwa perampokan atau pembunuhan, dikatakan Si Patai jadi otaknya. Maka Tuanku Laras selalu melapor kepada residen setiap terjadi peristiwa perampokan itu.

Akhirnya Si Patai dinyatakan musuh nomor satu yang paling dicari, hidup atau mati.

Kisah sebenarnya yang terjadi, bahwa Si Patai pernah ditangkap karena lawannya berkelahi terbunuh. Yang terbunuh itu kebetulan anak Tuanku Laras yang kalap karena judinya kalah. Selama di penjara Si Patai sering disiksa anak buah Tuanku Laras untuk melampiaskan dendamnya. Sebaliknya Si Patai banyak pula berguru berbagai ilmu pada sesama tahanan dari Bugis dan Banten. Ketika ilmunya dirasa sudah cukup, Si Patai meloloskan diri dari penjara. Dia bersembunyi di Pauh.

Bergabung dengan mereka yang memusuhi pemerintah. Lambat laun Si Patai yang menjadi pemimpin. Setiap usaha menangkapnya selalu gagal.

***

Pada waktu sebelum kedatangan Si Patai, di Pauh sudah ada seorang banci bernama Patai. Nama aslinya Ujang. Dengan nama julukannya dia dipanggil Ujang Patai. Pengecutnya bukan kepalang. Bila ada patroli tentera, dia yang lebih dulu berhamburan lari. Terbirit-birit atau berpetai-petai tahinya diwaktu lari. Menurut logat desa itu, tahinya bapatai-patai. Sejak itulah dia memperoleh nama julukan Ujang Patai.

Nah, karena nama dengan julukan yang sama dari kedua orang itu, bila ada patrol mencari Si Patai, semua orang menunjuk si Ujang Patai orangnya. Maka selalu dia yang ditangkap dan dibawa ke penjara. Tapi tak lama kemudian dia dilepaskan lagi, karena bukan dia yang dicari.

“Kamu polisi goblok. Kamu disuruh tangkap Si Patai, tapi orang banci yang kamu tangkap. Betul-betul goblok.” kata residen kepada komandan polisi yang salah tangkap.

Tuanku Laras yang dendamnya belum terbalas, menyuruh para Kepala Kampung membuat laporan setiap pencurian atau perampokan dilakukan oleh anak buah Si Patai. Seorang Kepala Wijk (sama dengan Lurah di kota sekarang) yang jadi iparnya disuruhnya pula membuat laporan yang sama.

“Ada tidak ada perampokan, pokoknya buat laporan.” katanya.

Residen naik pitam. Sehingga sudah dua orang komandan polisi diganti, namun perampokan tak kunjung terhenti dan Si Patai tetap tak tertangkap. Maka tibalah suatu waktu, pemerintah mengeluarkan peraturan wajib pajak kepada rakyat.

Kepala Kampung dan Kepala Wijk ditugaskan memungutnya. Rakyat tentu saja tidak suka dan kata mereka: “Kita tinggal di kampung halaman kita sendiri, mengapa mesti membayar pajak kepada Belanda yang bukan pemilik negeri ini?” kata mereka.

Kata Tuanku Laras mengancam Kepala Kampung, jika tidak mampu memungut pajak, akan dipecat. “Sulitlah itu. Tuanku. Semua rakyat sedang marah.” kata mereka yang terancam itu.

“Buat laporan, pajak yang telah terkumpul dirampok anak buah Si Patai.” Kata Tuanku Laras pula.

Di Tiku rakyat bersenjata parang menyerbu kantor polisi dan pos tentera. Di Lubuk Alung sejumlah laki-laki berpakaian serba putih sambil menyerukan “Allahu Akbar” menyerbu sepasukan tentera yang sedang siap tembak. Hampir semua penyerbu mati dan terluka. Di Batusangkar, ratusan perempuan dan anak-anak ikut berdemonstrasi ke kantor kontelir.

Tentera yang mengawal melepaskan tembakan. Banyak perempuan dan anak-anak mati dan terluka. Yang lain lari puntang-panting. Tak seorang pun penduduk yang menyangka bahwa tentera itu akan sampai hati membunuh perempuan dan anak-anak. Perlawanan rakyat Pauh mirip seperti perang gerilya. Jika tentera berpatroli, rakyat seperti tidak acuh saja.

Yang di ladang terus bekerja. Bila berpapasan di jalan, mereka meletakkan ujung jarinya seperti prajurit menghormat pada perwira. Kalau jumlah yang berpatroli sedikit, ketika hendak kembali ke Padang, mereka dihadang di pesawangan. Tapi yang paling sering ialah mereka merampoki rumah orang-orang kota yang bekerja sama dengan pemerintah di tengah malam.

“Kalau tentera tidak mampu, kirim marsose, Tuan Besar. Padang tidak akan aman. kalau Si Patai tidak tertangkap, Tuan Besar.” kata Tuanku Laras (sama dengan camat sekarang) ketika menghadap residen setelah menyampaikan laporan para Kepala Kampung di wilayahnya.

“Itu sudah aku pikirkan. Tapi itu bukan urusan kamu. Mengerti?” kata residen dengan suara keras karena merasa diajari oleh bawahannya.

Meski dikasari, hati Tuanku Laras senang karena gagasannya menggunakan marsose untuk menangkap Si Patai tercapai.

***

Akhirnya keluar perintah dari Betawi, supaya marsose dikerahkan menyerbu pengacau di desa Pauh. Perintah itu diteruskan residen pada komandan tentera dengan tambahan: “Kalau Si Patai tidak berhasil kamu tangkap, itu tandanya kamu komandan tidak becus. Aku lapor ke Betawi. Tahu?”

Komandan tentera itu merasa jabatannya terancam. Suatu malam, dibawah pimpinannya sendiri, sepasukan marsose memasuki Pauh menjelang dini hari.

Beberapa laki-laki yang dapat disergap langsung dibunuh. Bagi komandan itu tidak penting artinya jiwa rakyat. Yang terpenting hanyalah jabatannya sebagai komandan. Ketika pagi datang mayat-mayat itu dikumpulkan di halaman mesjid.

Seluruh penduduk disuruh mengenali mayat tersebut. Beberapa orang menunjukkan salah satu mayat itu Ujang Patai namanya. Bukan main leganya hati komandan itu. Lalu dia memerintahkan kepala Ujang Patai dipenggal untuk dibawa ke Padang sebagai bukti keberhasilan operasinya.

“Arak kepala itu keliling kota. Biar rakyat kapok melawan pemerintah.” kata residen kepada komandan tentera itu.

Maka kepala yang terpenggal itu ditusuk pada ujung tombak. Pasukan marsose yang tubuhnya dilumur cat hitam mengarak penggalan kepala itu berkeliling kota sambal menari dan berteriak-teriak gembira, diiringi genderang yang dipalu terus menerus.

Semua rakyat keluar dari rumah masing-masing melihat arak-arakan itu. Mana yang merasa ngeri kembali lagi tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Ada perempuan yang jatuh pingsan demi melihatnya. Tapi Tuanku Laras yang kenal dengan Si Patai dan tahu bahwa kepala itu bukan kepala Si Patai, melapor kepada residen, bahwa komandan tentera itu telah salah penggal.

“Biar saja. Pokoknya perintah Betawi sudah dilaksanakan. Habis perkara. Orang di Betawi toh tidak akan tahu mana Si Patai yang sebenarnya.” kata residen.

“Tapi, Tuan Besar, apabila Paduka Tuan Besar di Betawi tahu Si Patai yang sesunggunya belum mati, celaka kita.” kata Tuanku Laras.

“Bukan kita. Tapi kamu yang celaka.” kata residen sambil menggebrak meja dengan kedua telapak tangannya.

Oleh laporan yang dibuat residen ke Betawi, resmilah Si Patai dinyatakan mati. Sedangkan tak lama kemudian Tuanku Laras, yang tahu persoalan yang sebenarnya, dipecat dengan tuduhan penggelapan uang pajak. Tak lama kemudian Tuanku Laras jatuh sakit. Kata orang sakit muno. Sakit orang berkuasa yang kehilangan jabatannya secara tiba-tiba. Sakit kehilangan harga diri.

Untuk menghindari desas-desus salah bunuh itu, residen memerintahkan seluruh pegawainya, tidak lagi membicarakan tokoh yang bernama Si Patai. Sebuah koran secara bersambung mengisahkan suksesnya operasi tentera menumpas gerombolan Si Patai. Sehingga lambat laun rakyat di kota pun percaya, bahwa penggalan kepala yang diarak berkeliling itu, betul-betul kepala Si Patai. Sebaliknya rakyat yang membenci Belanda menganggap bahwa kepala yang terpenggal itu, kepala seorang pahlawan bangsa.

***

Namun kisah Si Patai yang sebenarnya, benar-benar berlain. Hasil penelitian calon sarjana itu berkesimpulan seperti yang ditulisnya dalam skripsinya. Bahwa demi melihat begitu banyak korban, anak-anak jadi yatim dan perempuan menjadi janda, para penghulu desa Pauh minta kepada Si Patai agar meninggalkan kampung untuk sementara. Sampai situasi aman. Karena menurut para penghulu itu, melawan pemerintah yang bersenjata kuat, hanyalah akan menambah kesengsaraan rakyat.

Konon Si Patai menyingkir ke Teluk Kuantan. Dari sana dia menyeberang ke Semenanjung, yang kini bernama Malaysia.

Namun dendam rakyat yang keluarganya terbunuh, isteri-isteri yang kehilangan suami, anak-anak yang kehilangan ayah, tidak hilang sama sekali oleh kekejaman operasi tentera yang mereka alami itu. Dua puluh tahun kemudian, generasi yang lain melakukan pemberontakan lagi. Berbaringan dengan pemberontakan komunis tahun 1926. Namun mereka pun masih dikalahkan. Dua puluh tahun pula setelah itu kembali rakyat melawan. Perlawanan yang terakhir ini dalam rangkaian perang kemerdekaan bangsa Indonesia yang tercinta.

Kemudian anak muda yang telah jadi sarjana itu bertanya kepada Si Dali. “Yang jelas kisah sejarah itu dipalsukan, pak. Bagaimana meluruskannya?”

Lama Si Dali termangu-mangu. Akhirnya katanya: “Palsu tidaknya sejarah lama, tidak akan merobah dunia sekarang dan nanti.”

avatar

Redaksi