Boven Digoel : Pengasingan, Malaria Dan Perjuangan
Hak Asasi Manusia
March 21, 2024
Jon Afrizal
“Kamp Kaum Tak Terdamaikan” di Tanahtinggi di utara kamp interniran Tanahmerah (Digoel Atas) diperkirakan tahun 1929. (credits : Universiteit Leiden)
BOVEN Digoel. Terasing dari dunia luar, dan dikelilingi benteng hutan belantara, dan ganasnya nyamuk malaria.
Kamp yang dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927, penjara yang dibuat secara tergesa-gesa oleh pemerintah Belanda. Mengingat munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1926 di Banten. Juga, bermunculannya pemberontakan-pemberontakan lain, yang membuat pusing pemerintah Belanda.
Dengan luasan mendekati angka 10.000 hektare terletak di hilir sungai Digul. Kawasan ini terdiri dari empat bagian; Tanah Merah, Tanah Tinggi, Gunung Arang, dan kawasan militer bagi petugas pemerintah Belanda.
Kamp tahanan politik ini, mulai aktif menerima orang-orang yang tidak tunduk dengan Belanda, pada tahun 1926 hingga 1927. Beberapa dari mereka adalah kiri, dan beberapa lainnya adalah nasionalis.
Pada masa kolonial, para gubernur jendral berhak membuang dan memenjarakan seseorang yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban tanpa melalui pengadilan. Ini bertujuan untuk membatasi ruang kaum pergerakan. Dan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge, semakin banyak saja aktivis pro kemerdekaan yang terjerat prosedur ini.
“Cerita Dari Digul” yang disunting oleh Pamoedya Ananta Toer, adalah kisah-kisah yang ditulis oleh para Digulis. Yakni mereka yang dinyatakan sebagai musuh oleh pemerintah Belanda, dan dibuang ke Digul.
Mengutip Indonesia.go.id, kamp Boven Digoel menampung 1.308 orang. Mereka adalah tokoh pergerakan kemerdekaan.
Tercatat nama-nama seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, yang dibuang di kamp pada 28 Januari 1935, karena bersikap membangkang dan menjadi musuh Belanda.
Selain itu, adalah Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Ali Archam, Sayuti Melik, Mas Marco Kartodikromo, Thomas Najoan, Chalid Salim, dan Lie Eng Hok. Juga Muchtar Lutffi dan Ilyas Yacub, tokoh Permi dan PSII Minangkabau.
“Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson menceritakan tentang tokoh pemberontakan PKI di Banten 1926, Thomas Nayoan. Molly Bondan, menulis tentang suaminya, Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun 1910 dalalm buku “Spanning a Revolution”.
Berdasarkan catatan sejarah lokal, anggota “Sarikat Abang” yang memberontak pada bulan September 1916 di Jambi pun mengalami pembuangan ke Boven Digul. Mereka dinyatakan bersalah melalui pengadilan yang diketuai oleh Hakim Mergo.
Hukuman yang harus mereka jalani berupa kerja paksa atau pembuangan di Nusakambangan, Endeh dan Digoel selama lima hingga 10 tahun. Mungkin saja, tempatnya berpindah-pindah, hingga akhirnya mereka sampai di Boven Digul.
Digoel, kini, adalah Kabupaten Boven Digul, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi, dan berada di Provinsi Papua Selatan. Otonomi Daerah dan pemerintah daerah ini terjadi karena berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2002.
Mengutip papua.us, pada tahun 2009 jumlah distrik di Kabupaten Boven Digoel adalah 20 distrik dan 112 kampung. Dengan jumlah penduduk mencapai 66.832 jiwa pada 2013, yang terdiri dari laki-laki sebesar 35.724 jiwa dan perempuan sebesar 31.108 jiwa, menurut data Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Boven Digoel.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional menyebutkan persentase penduduk miskin di Kabupaten Boven Digoel sebesar 19,50 persen pada tahun 2015. Terjadi penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Boven Digoel, dibanding tahun 2011 sebesar 25,81 persen.
Beberapa suku yang ada di sana, yakni; Suku Wambon yang merupakan suku peramu sumatif, dan Suku Muyu yang memiliki kebudayaan pertanian.
Mitos suku-suku tua di pedalaman Papua menyebutkan tentang Tumolop, yang artinya adalah Sang Gaib atau Tuhan Allah. Tumolop adalah dewa bagi Suku Wambon mereka.
Tumolop lah yang menurunkan puteranya dalam wujud yang tidak dapat dijelaskan secara realistis, yang disebut dengan Beten. Beten adalah cikal bakal beragam etnis besar dari hutan-hutan di Papua, dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru Papua.
Kamp Boven Digoel ditutup sekitar pertengahan tahun 1943. Ketika pecah perang pasifik, dan Indonesia diduduki Jepang. Para tahanan yang masih berada di sana, dipindahkan ke Australia. Tujuannya adalah untuk membantu Belanda.
Tetapi, karena banyaknya tahanan politik yang berhaluan kiri, para tahanan kemudian malah bersekutu dengan serikat buruh di Australia, dan berbalik melawan Belanda. Mereka, kemudian, memboikot kapal-kapal perang Belanda yang akan mendarat di Australia.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Boven Digoel tahun 2013 menyebutkan jumlah penderita penyakit saluran pernafasan sebanyak 36.738 orang, dan penyakit kulit sebanyak 8.959 orang.
Adalah Louis Johan Alexander Schoonheyt, seorang dokter berkewarganegaraan Belanda yang menulis buku berjudul “Boven-Digoel”. Schoonheyt, yang kelahiran Magetan pada tahun 1903 ini, dikirim pemerintah Belanda ke kamp interniran Boven Digoel dan bertugas sebagai dokter. Ia bertugas di sana sejak tahun 1932 hingga tahun 1934.
Pengalamannya selama bertugas di Boven Digoel membuat ia aktif berkampanye melawan malaria. Penyakit yang palling mematikan di sana, pada waktu itu.
Pada buku itu, Schoonheyt tampaknya tidak mendukung sama sekali kebijakan pemerintah Belanda untuk memenjarakan sekian banyak orang Digulis. Orang-orang yang dipenjara tanpa batas waktu, dan terlebih, tanpa pembuktian pengadilan tentang pelanggaran yang telah mereka lakukan.
Schoonheyt, pada masa itu, telah membuat publik berdebat tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Boven-Digoel. Ia, seperti di bukunya, bersikap tegas membela para Digulis yang mendapat perlakuan tidak wajar. Terlebih, dengan cara pemerintah Belanda yang memenjarakan mereka.
Pada tahun 1940 ia ditahan tanpa batas waktu dan tanpa proses hukum karena aktivitas politiknya di Hindia Belanda dan Suriname. Dia mendokumentasikan penahanan ini, yang mewarnai sisa hidupnya. Padahal, dilarang keras untuk mengambil photo para tahanan.
Setelah kematiannya pada tahun 1986, koleksi photo ini disumbangkan ke KITLV.
Schoonheyt berteman dengan I. F. Salim, seorang jurnalis dan juga Digulis. Salim tinggal di Eropa, karena ia menderita malaria kronis yang dapat muncul kembali jika ia berada di daerah tropis, dan menyebabkan kematian. Ia mendapatkan malaria ini dari Boven Digoel.
Seolah menyambung buku Schoonheyt, Salim pun menulis buku “Lima Belas Tahun di Boven-Digoel”. Buku yang menceritakan tentang pengalamannya dipenjara tanpa melalui keputusan pengadilan.
Dengan latar belakang hutan belantara dan penyakit malaria ganas. Dan, persahabatan antar manusia.*