Mereka Yang “Terdampar” Di Samudera Atlantik

Hak Asasi Manusia

March 14, 2024

Junus Nuh

Pekerja perempuan asal Pulau Jawa yang sedang bekerja di pabrik daging, di Suriname, diperkirakan tahun 1912. (credits : Universiteit Leiden)

BATAVIA, 21 Mei 1890. Sebanyak 94 orang diberangkatkan dengan kapal SS Koningin Emma dengan tujuan Samudera Atlantik. Lebih dari tiga bulan perjalanan, kemudian, mereka mendarat di Suriname, pada 9 Agustus 1890. Mereka ditempatkan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg.

Setelah itu, 582 orang asal Pulau Jawa kembali tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894. Kali ini, dengan kapal SS Voorwaarts. Over capacity, menyebabkan 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, tepat setelah kapal merapat di pelabuhan Paramaribo, Suriname.

Suriname, pada masa itu, adalah juga negara jajahan yang berada di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda.

Pemberangkatan tenaga kerja dari Pulau Jawa terjadi sejak tahun 1890 hingga tahun 1939, dengan total 32.956 orang tenaga kerja. Ini, dapat dikatakan sebagai transmigrasi terbesar pada masa Hindia Belanda.

Dengan alasan dihapusnya sistem perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863, kolonisasi diberlakukan atas nama Koelie Ordonnantie 1880, dengan syarat-syarat Poenale Sanctie. Yakni sanksi hukuman pukulan dan kurungan badan yang dijalankan oleh kolonial Belanda yang berlaku di Suriname dan Hindia Belanda.

Para pekerja yang direkrut harus tunduk pada poenale sanctie seperti yang tertera di kontrak mereka. Dengan artian, dalam setiap kasus pelanggaran kontrak oleh para pekerja tidak akan dikenakan hukum perdata, melainkan hukum pidana.

Seorang pemilik perkebunan dan mandor, misalnya, diizinkan untuk menggunakan tindakan verbal kepada para pekerja yang dianggap tidak patuh. Pada akhirnya, Poenale Sanctie  secara resmi dihapuskan di Suriname pada tanggal 1 Januari 1948.

Adapun tujuan pemerintah kolonial mengirimkan tenaga kerja ini adalah untuk menambah kekurangan tenaga kerja di beberapa perkebunan di Suriname.

Namun, Yusuf Ismaeldi dalam buku “Indonesia” Pada Lautan Atlantik menyebutkan tingginya angka kemiskinan di beberapa daerah di Pulau Jawa membuat pemerintah kolonial mendatangkan pekerja dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan dari Jawa Barat ke Suriname.

Suriname, adalah wilayah yang berbentuk persegi empat; dengan panjang sekitar 400 kilometer dan lebar sekitar 400 kilometer. Wilayah ini beriklim tropis, dan berada di sekitar Garis Khatulistiwa.

Sebelum kedatangan para pekerja dari Pulau Jawa, warga Creole  asal Afrika telah terlebih dahulu dibawa ke sana, pada awal abad 16, sebagai budak belian.

Umumnya para pekerja dipekerjakan di perkebunan tebu, kakao, kopi dan pertambangan bauxite. Dengan gaji sebesar sebesar 60 sen per hari untuk pekerja laki-laki usia diatas 16 tahun, dan sebesar 40 sen per hari untuk pekerja wanita usia diatas 10 tahun. Selama enam hari per pekan, dan delapan hingga 10 jam per hari. Mereka harus bekerja sesuai kontrak kerja, yakni selama lima tahun.

Setelah masa kontrak berakhir, mereka diberikan hak untuk pulang ke Indonesia dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda. Tercatat sebanyak 8.130 orang pekerja telah kembali ke Indonesia sepanjang tahun 1890 hingga 1939.

Sedangkan yang masih tertinggal di sana, melakukan repatriasi pada tahun 1947. Dengan menggunakan kapal Tabian, sebanyak 700 orang kembali ke Indonesia.

Sedangkan mereka yang memilih tetap tinggal di Suriname, dan tidak ingin pulang ke Indonesia, akan memperoleh pembagian sebidang tanah garapan serta menerima penggantian uang repatrasi sebesar 100 gulden Suriname per orang.

Setelah Perang Dunia ke-2, melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Suriname memperoleh status Pemerintahan Otonom, dimana hak dan kewajibannya disamakan dengan provinsi-provinsi yang di negeri Belanda.

Politik pun menjadi alasan berdirinya partai politik (parpol) Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) pada tahun 1946, dan Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) pada tahun 1947. Parpol yang berbau Jawa dan Indonesia.

Namun, menjelang kemerdekaan Suriname tahun 1975, terjadi ketegangan antar etnis di Suriname. Ini menyebabkan sebanyak 150.000 orang penduduk Suriname, termasuk beberapa orang Indonesia pindah ke negeri Belanda.

Dan sekitar 150 orang Indonesia pindah ke Guyana Prancis. Jika digeneralisasi, sebanyak 25.000 orang Indonesia suku Jawa asal Suriname telah berpindah ke Belanda dan Guyana sejak tahun 1975.

Tetapi, sejak kemerdekaan Suriname pada tanggal 25 Nopember 1975, muncul generasi kedua perpolitikan Indonesia. Seperti parpol Pendawa Lima, Pertjajah Luhur. Yang kemudian telah mendudukan 68 orang anggota parlemen dan 30 orang menteri dari pergerakan politik ini.

Berdasarkan sensus penduduk tanggal 02 Agustus 2004, jumlah penduduk Republik Suriname tercatat sebanyak 492.829 orang; dimana 71.879 orang Indonesia.

Beberapa nama Orang Jawa, yang terkenal di Suriname, diantaranya adalah Sri-Dewi Martomamat yang pernah mendapatkan gelar Miss Supranational 2019, Ranomi Kromowidjojo yang adalah atlet renang, dan penulis perempuan Karin Amatmoekrim.

Sebagai penghargaan terhadap budaya dan tradisi, hingga kini, bahasa Jawa “ngoko” masih digunakan. Terutama oleh para orang tua dan kalangan terbatas.

Yakni di “District orang-orang Jawa” di areal eks perkebunan. Begitu juga dengan seni tradisi lainnya.*

avatar

Redaksi