Dari Perjanjian Giyanti, Akhirnya “Mangan Ora Mangan Sing Penting Kumpul”
Daulat
August 12, 2023
Astro Dirjo
(: Auguste van Pers, indies gallery collection)
PEREBUTAN kekuasaan antar keluarga Kerajaan Mataram Islam pada tengah abad ke 17, menjadi cara bagi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) untuk menguasai Jawa. Seperti yang telah disebutkan pada buku-buku sejarah, devide et impera adalah pola yang paling sering digunakan oleh VOC untuk mencari laba di Nusantara.
Tiga orang yang terlibat dalam peliknya konflik itu, menurut kemdikbud.go.id, yakni; Pangeran Prabusuyasa, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Masing-masing dari mereka merasa berhak untuk menjadi raja.
Lalu VOC, atas kepentingan dagang, berada di pihak Pangeran Prabusuyasa, dan mengangkatnya sebagai penguasa Mataram selanjutnya dengan gelar Pakubuwana II. Setelah berkuasa, istana pun dipindahkan, dari Kartasura ke Surakarta. Sehingga terbentuklah Kasunanan Surakarta, yang adalah kerajaan turunan Mataram.
Namun, Arya Mangkunegara, ayah dari Raden Mas Said yang selama ini sering menentang kebijakan VOC, kembali menentang kebijakan pemindahan istana, yang didalangi VOC itu. Akibatnya, ia diasingkan ke Srilanka hingga akhir hayatnya.
Raden Mas Said juga menuntut tahta Mataram yang telah diberikan VOC kepada Paku Buwana II.
Pangeran Mangkubumi, yang menuntut menjadi pewaris tahta Mataram kemudian melobi pejabat VOC di Semarang pada tahun 1746. Tapi tidak berhasil.
Mangkubumi kemudian bersekutu dengan Raden Mas Said untuk melawan VOC. Caranya adalah dengan menikahkan anaknya, Raden Ayu Inten dengan Raden Mas Said.
Kedua sekutu ini memilih untuk melakukan perang gerilya, dan menyingkir ke kawasan hutan. Kawasan hutan yang dimaksud itu, adalah yang kini dikenal dengan Yogyakarta.
Perang gerilya membuat Kasunanan Surakarta ketar ketir kewalahan. Hingga Paku Buwana II sakit parah.
Lemahnya lawan membuat Mangkubumi melakukan coup de etat, dan ia ditetapkan sebagai raja Mataram oleh para pengikutnya, dengan gelar Pakubuwana III.
Sebelum Pakubuwana II meninggal dunia, VOC memaksanya untuk menandatangani perjanjian. Isi perjanjian itu adalah memberikan kewenangan kepada VOC dalam pengangkatan raja baru. Pakubuwana II mangkat pada 20 Desember 1749.
Semestinya, penerus tahta Pakubuwana II adalah Raden Mas Soerjadi, putra Pakubuwana II. Dan bergelar Pakubuwana III.
Tetapi, akibat coup de etat yang dilakukan oleh Mangkubumi, maka terdapat dua orang yang bergelar Pakubuwana III.
Kondisi ini jelas merugikan VOC, yang tidak mendukung Mangkubumi. Sehingga VOC menyatakan tidak mengakui Mangkubumi sebagai raja.
Gempuran dari tentara gerilya pimpinan Pangeran Hadiwijaya, yakni panglima perang Pangeran Mangkubumi, membuat kepanikan tersendiri bagi Raden Mas Soerjadi. Sewaktu itu usianya masih sangat muda, 17 tahun.
Situasi konflik yang pelik ini digunakan oleh VOC untuk mencari laba. Lalu, bertemulah utusan VOC dengan pihak Mangkubumi, di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.
Pertemuan itu dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Beberapa butir perjanjian itu, berisi tentang hak Mangkubumi terhadap setengah dari wilayah Mataram, dan ia diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I dengan hak secara turun-temurun. Sehingga terbentuklah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Selain itu, terdapat kerjasama antara VOC dengan rakyat, bupati dan pepatih dalem. Dimana sultan juga harus menjual bahan-bahan makanan kepada VOC dengan harga sesuai kesepakatan.
Sultan juga tidak berhak menuntut Pulau Madura dan daerah-daerah pesisir kepada VOC. Namun, VOC akan mengganti rugi 10.000 real per tahun.
Selain itu, sultan akan memberikan bantuan kepada Kasunanan Surakarta sewaktu-waktu jika diperlukan.
Butir yang sepertinya mendamaikan perselisihan antar keluarga Mataram ini, tapi sebenarnya menjadi peluang terbuka bagi VOC untuk menguasai kedua belah kubu yang berseteru. Dan, senyatanya membubarkan Kerajaan Mataram Islam.
Pada perjanjian itu juga terdapat butir yang menjelaskan tentang kekuasaan VOC secara penuh terhadap kedua kerajaan ini. Yakni bahwa jika diperlukan, VOC dapat menentukan siapa yang menjadi raja di kedua kerajaan itu.
Djoko Marihandono, sejarawan dari Universitas Indonesia, dikutip dari kompasiana.com mengatakan terkait dengan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, luasan kedua kerajaan itu diukur berdasarkan banyaknya jumlah penduduk.
Menggunakan istilah saat itu, disebut karyo (tenaga kerja), yakni mereka yang telah akhil baliq yang berada di suatu wilayah, seperti desa, misalnya.
Kepatuhan rakyat terhadap raja, yang diikat oleh Perjanjian Giyanti, menciptakan sebuah konsep untuk tetap saling bersama. Ini agar luasan kerajaan tidak berkurang, karena berkurangnya jumlah penduduk.
Konsep “Mangan Ora Mangan Sing Penting Kumpul” pun digunakan agar penduduk tidak berpindah. Sehingga, menurut Djoko, meskipun terlihat sebagai budaya lokal, senyatanya konsep ini sangat terkait dengan kondisi kolonialisme yang mencengkeram Pulau Jawa pada waktu itu.
Meskipun, senyatanya, beberapa tahun setelah itu, Pulau Jawa dilanda paceklik karena kekeringan, dan banyak rakyat yang kelaparan.*