Sejarah Guling Di Nusantara
Lifestyle
June 26, 2023
Jon Afrizal
Tempat tidur Charles Dickens, di rumahnya di 48 Doughty Street, London (photo courtesy : via hozz)
Bayi di kereta itu membuka matanya dan seperti terkejut melihat bahwa aku bukanlah ibunya. Wajahnya berubah memerah, berkerut seperti kenari. Aku menelan ludah dan melihat ke depan, terlihat tiga tentara Jerman yang sedang bertugas menjaga gerbang masuk ke Vondelpark. Di sampingku, Theo berkata lirih. “Engkau harus masuk sendirian; tidak akan mencurigakan. Bersikaplah tenang.” Ia mencium rambutku, dan selanjutnya berjalan merunduk ke arah toko yang berada di dekat gerbang.
PARAGRAF pembuka di novel Dutch Wife karya Ellen Keith, dengan background kota Amsterdam tahun 1943. Pada masa penduduk Nazi Jerman, Marijke de Graaf, warga Kota Amsterdam harus merasakan betapa pedihnya hidup di kamp konsentrasi, dan rumah bordil.
Dutch Wife (: istri seorang Belanda) adalah novel yang menarasikan tentang garis kabur antara cinta, nafsu, pelecehan dan penolakan.
Ribuan kilometer dari kota Amsterdam, dan 100 tahun sebelum masa pendudukan Nazi Jerman di kota itu, Belanda yang dikenal sebagai bangsa penjelajah telah menjejakkan kakinya ke gugusan nusantara. Demi tugas, para lelaki Belanda terpaksa harus meninggalkan isteri mereka.
Pada awal masa pendudukan Belanda di Batavia, pemerintah kolonial memiliki aturan ketat. Bahwa hanya pejabat tinggi saja yang boleh membawa serta isteri mereka ke nusantara.
Maka jadilah para lelaki itu bujangan. Tidur seorang diri di sepanjang malam.
Udara tropis nusantara, dengan kedinginan yang menusuk tulang pada waktu subuh, membuat para lajang itu harus mencari kawan.
Kebetulan sekali, bangsa Eropa, yakni Inggris, memiliki tradisi sebelum abad ke-12 masehi. Mereka menggunakan sebuah benda berbentuk silinder panjang yang disebut belg atau bag di tempat tidur. Benda ini biasa disebut guling, sebagai pasangan dari bantal (pillow).
Jika bantal digunakan untuk bagian kepala, maka guling digunakan untuk bagian tangan, dada, perut dan kaki, dengan posisi dipeluk. Yup, seperti guling yang kita kenal saat ini, yang selalu mejadi favorite siapa saja sebagai teman tidur.
Mungkin terdengar saru atau tabu. Tapi, itulah sejarah guling di nusantara.
Tetapi, karena perseteruan kolonialisasi, kata Dutch Wife digunakan untuk guling. Beberapa literature menyebutkan, adalah Raffles, atau dengan nama lengkap Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, yang menggunakan kata Dutch Wife itu dengan nada mengejek kepada soldadu Belanda.
Raffles adalah bangsawan Inggris dan pernah menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1811. Ia juga menulis buku The History of Java, ia juga terlibat aktif dalam persaingan dagang antara Inggris dan Belanda.
“Masyarakat Indonesia hidup dengan getaran rasa. Kita satu-satunya bangsa di dunia yang memiliki sejenis bantal yang digunakan hanya untuk dipeluk. Di setiap tempat tidur Indonesia terdapat bantal sebagai hulu dan bantal kecil yang disebut guling di hilirnya. Guling ini, untuk kita, hanya untuk dipeluk sepanjang malam.”
Demikian pernyataan Bung Karno, yang ditulis oleh Cindy Adams di buku Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat.
Di negara-negara Asia Tenggara, mengutip history.physio, guling memang dirancang untuk dipeluk saat sedang tidur. Secara tradisional, guling dibuat dari bambu. Guling diberikan oleh istri kepada suaminya ketika si istri sedang bepergian jauh dari rumah. Dengan tujuan agar suaminya tidak kesepian di malam hari.
Tidak hanya itu, dalam praktik fisioterapi, guling digunakan untuk menopang dan memposisikan bagian tubuh dalam persiapan untuk berolahraga. Tentunya, guling akan diisi dengan kapas, bulu angsa atau benda-benda bertekstur lembut lainnya.
Menurut klikdokter.com, terdapat beberapa fungsi baik pada penggunaan guling. Yakni membantu meredakan asam lambung, mengurangi ketidaknyamanan saat hamil, mengurangi dengkuran saat tidur, mengurangi nyeri punggung bawah, sandaran saat istirahat, memperbaiki kualitas tidur, dan melindungi bayi saat tidur.
Charles Dickens, penulis legendaris dari Inggris, juga menggunakan guling di saat menulis novel Christmas Carol yang terkenal itu. Yakni di rumahnya di 48 Doughty Street, London. Mungkin saja fungsinya bukan untuk dipeluk. Mungkin sebagai sandaran di bagian leher. Tetapi, tetap saja bentuknya adalah guling yang mirip hotdog.
Penggunaan guling adalah kebiasaan. Seseorang yang terbiasa tidur dengan memeluk guling, cenderung merasa tidak nyaman jika berada di tempat tidur yang tidak menyertakan guling sebagai pasangan bantal. Seperti di hotel-hotel dengan klasifikasi internasional, misalnya.
Pada beberapa kasus, banyak anak-anak yang mengalami kesulitan untuk tidur nyenyak jika tanpa bantal yang biasa ia gunakan. Dan, ibu atau ayahnya akan dengan suka rela membawa bantal yang, kadang bentuknya dan baunya sudah berubah menjadi aneh itu, kemana saja mereka pergi.
Tetapi, jika anda adalah orang dewasa, apakah akan membawa serta guling setiap akan bepergian ke luar kota atau bahkan ke luar negeri? Who knows?*