Budaya Lokal Yang Kita Redupkan
Resonansi
July 21, 2023
Jon Afrizal
APAKAH masyarakat Jambi tercerabut dari akarnya? Mungkin, persoalan ini tidak hanya keresahan ku pribadi saja, tetapi juga beberapa orang lainnya. Mari kita lihat persoalan ini dengan lebih jernih.
Di era 80-an, sewaktu itu aku masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD) di sebuah sekolah swasta di Kota Jambi. Aku dan siswa lainnya mendapatkan sebuah buku untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dari guru kami di sekolah.
Buku itu berisi pengetahuan umum tentang Provinsi Jambi. Buku keluaran Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jambi ini menjelaskan banyak hal tentang daerah ini.
Seperti kisah mengenai para pejuang kemerdekaan, yang nama-namanya kian asing bagi generasi saat ini. Bahkan tentang kekayaan alam, seperti berbagai jenis ikan yang dapat kita temui di Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya.
Sebut saja, ilmu pengetahuan ini adalah yang kini biasa kita sebut sebagai muatan lokal (mulok).
Bagi siswa SD, yang pikirannya penuh dengan imajinasi, tentu buku ini memberi nilai lebih dari sekedar pelajaran yang biasa ditemui di ruang kelas yang bersekat dinding kaku. Buku ini telah membawa pikiran anak-anak untuk menelusuri hal-hal lain di luar sekolah. Tentang sebuah daerah tempat mereka tinggal, yang bernama : Provinsi Jambi dan Kota Jambi.
Memang tidak detail, tapi cukup membantu pemahaman kami yang bukan, ehm, Putera Daerah ini untuk mengenal Jambi lebih dekat lagi.
Tapi buku sejenis tidak lagi ku temui di kelas-kelas lanjutan. Bahkan di bangku SMP hingga SMA pun tidak. Sangat disayangkan, pengetahuan daerah ku pun terputus di sana.
Bahkan, saat ini pun hampir dapat dikatakan sedikit sekali pembelajaran tentang kelokalan di sekolah. Tunggu dulu, akan ku jelaskan akibatnya. Sekarang izinkan aku mengulang kembali ingatan kita di tahun ’90-an.
Pada masa itu, Abdurahman Sayuti adalah seorang Gubernur Jambi yang beristerikan Lili Syarif, sosok yang menaruh ketertarikan kuat pada seni.
Lili Syarif memiliki sebuah sanggar seni bernama Kajanglako. Mereka yang diakui umum sebagai seniman berkumpul di sana untuk menggali potensi masing-masing. Tidak hanya bersifat pribadi saja, melainkan juga potensi kelokalan.
Di masa itulah Batik Jambi yang tinggal nama kembali dicuatkan. Berbagai sanggar batik dapat ditemui di kawasan Seberang dan Kota Jambi. Hingga kini, sanggar-sanggar itu masih ada, walaupun menghadapi persoalan dana dan pemasaran yang tak pernah tuntas.
Saat itu, mereka dihadirkan di berbagai pameran, baik level lokal maupun nasional bahkan internasional. Meskipun, senyatanya, mereka tidak memiliki perekonomian yang baik untuk menunjang keberlangsungan usahanya.
Tak dapat dipungkiri juga peran Abdurahman Sayuti untuk men-Jambi-kan Provinsi Jambi. Di era itulah tumbuh kesadaran masyarakat untuk mengubah bentuk atap rumah mereka yang terlanjur berarsitektur modern untuk kembali menjadi berbentuk kajanglako.
Ini adalah terobosan yang brilian mengingat pengaruh dari luar tengah mengepung Jambi kala itu. Dengan dibukanya jalur Jalan Lintas Timur Sumatera (JLTS), sebagai sarana keluar dan masuk Provinsi Jambi.
Hingga saat ini, bibit-bibit mencintai kelokalan itu masih tumbuh. Batik Jambi kini tidak hanya didominasi Kota Jambi saja, tapi kabupaten lain pun ikut mengembangkan kreasi mereka, yang terlalu dini menurut ku. Karena tidak memiliki dasar corak yang kuat pada akarnya, dan keluar dari pakem batik pada umumnya.
Seperti kita mahfumi, batik adalah budaya Jawa yang dibawa ke tanah Melayu, dengan segala falsafah ke-Jawa-annya. Pertanyaannya, apakah anda pernah melihat batik yang bercorak hewan sejenis kerang di tanah Jawa sana? Lah dalah, di Jambi ada!
Begitu juga yang terjadi dengan atap kajanglako, pun hingga kini masih banyak digunakan. Meskipun kadang terkesan memaksakan kehendak, yang membuat benturan pola-pola arsitektural yang aneh, menurut mereka yang berkeahlian sebagai arsitek. Sebab hukum utilitas dan keindahan harus selalu berhubungan dan berdampingan erat.
Sebagai contoh, terdapat sebuah bangunan gereja berarsitektur abad ke-19 di bilangan Pasar Kota Jambi. Sangat berciri khas Eropa. Tapi entah mengapa, ditempelkan atap kajanglako tepat di depannya. Akibatnya, tentu saja membingungkan bagi para pengagum seni bangunan.
Lihat, anda telah ku bawa menjelajahi dekade demi dekade perjalanan Provinsi Jambi dan Kota Jambi. Lalu, mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini.
Harus ku katakan, pembangunan Kota Jambi saat ini kerap melupakan nilai kelokalan. Perubahan nama kawasan yang seenaknya, misalnya, telah membuat generasi lanjutan tidak memahami filosofis kelokalan. Seperti penyebutan simpang tiga yang diubah seenaknya menjadi pertigaan dan selanjutnya.
Siapapun tahu, kata simpang adalah bahasa Melayu untuk menyebutkan persilangan beberapa ruas jalan. Sementara kata pertigaan atau perempatan juga mengacu pada arti yang sama.
Sayangnya, penggunaannya kata pertigaan atau perempatan hanya kita jumpai di Pulau Jawa saja. Lalu, di Kabupaten Muarojambi, terdapat sebuah daerah yang bernama Simpang Limo. Haruskah kita sebut daerah itu sebagai Perlimaan?
Atau, Jambi Kecik diubah menjadi Jambi Kecil? Selanjutnya kata muaro menjadi muara? Atau malah terbalik-balik.
Bijaklah dalam memposisikan sesuatu, sesuaikan menurut adat tradisi. Jangan seenaknya mengubah sesuatu yang sudah selayaknya demikian, tetapi demi ego agar dikatakan mengikuti arus, kita malah melupakan tradisi.
Selanjutnya, pertandingan membangun hotel dan mall seolah tiada habisnya. Sepertinya kita semua dianjurkan untuk menganut pola pikir konsumerisme tiada henti. Terus dan terus berbelanja, tetaplah menjadi konsumen, dan jangan pernah menjadi produsen. Begitulah kira-kira.
Tapi satu yang dilupakan, tidak dilakukan pembangunan landmark di berbagai pintu masuk ke Kota Jambi, baik dari arah Sengeti, Tempino, Simpang Rimbo, Sejinjang ataupun dari Kumpe.
Siapapun yang masuk ke kota ini tidak membekaskan ciri men-Jambi di pikirannya. Sebab tanda itu tidak ada. Semua jadi serba sama, tidak ada kesan tersendiri.
Ini berbeda dengan Kota Padang, misalnya, yang memiliki landmark Bingkuang di pintu masuk kota, jika kita datang dari arah Padang Panjang dan Bukittingi. Yang terpatri dalam ingatan kita ketika melihat monumen Bingkuang raksasa itu, adalah, kita telah memasuki Kota Padang.
Ku harap penjelasan ini membuat kita berada di pemahaman yang sama, yakni menciptakan arah pembangunan yang berkelokalan dan berciri khas. Bukan memplagiat kota lain.
Anda pun telah melihat hubungan tidak langsung antara pemberian muatan lokal di sekolah, yakni untuk pembentukan pribadi yang tidak hanya memahami ilmu pengetahuan modern saja, tapi juga memiliki pijakan kuat pada tradisi lokal.
Sehingga adalah aneh ketika kita masih berpikir untuk memberikan gelar adat terhadap individu yang dianggap layak oleh lembaga yang di-pemerintah-kan, jika tidak ada landasan kelokalan. Atau, bagaimana jika individu itu terjerat kasus hukum, dapatkah gelar adat yang diberikan kepadanya ditarik kembali, tentunya, atas dasar tradisi?
Hal lainnya adalah melestarikan bahasa Jambi. Kita harus memiliki dan memaksimalkan univeritas yang di dalamnya terdapat fakultas bahasa dan sastra. Sebab mereka akan mengkaji berbagai hal tentang bahasa Jambi. Sehingga bahasa-bahasa asli di banyak daerah di Jambi tidak semakin banyak yang hilang.
Penting juga untuk memahami penggunaan bahasa Jambi yang benar. Kita sering mendengar beberapa orang secara serampangan mengubah kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki akhiran “a” menjadi “o”, agar men-Jambi. Seperti kata “warga” menjadi wargo, “tersangka” menjadi tersangko, dan lain sebagainya.
Jika ini terus dibiarkan, maka adalah mungkin nantinya kita mendengar seseorang menyebut kata “Asia” menjadi Asio, dan “Amerika” menjadi Ameriko, “Afrika” menjadi Afriko dan “Antartika” menjadi Antartiko. Maka, hancurlah tatanan bahasa Indonesia kita akibat ketidaktahuan berbahasa yang baik dan benar.
Padahal, bahasa Indonesia, seperti yang sama-sama kita ketahui, berinduk dan berakar dari bahasa Melayu. Yakni bahasa yang digunakan penduduk yang berdiam di gugusan Pulau Sumatera hingga Semenanjung Malaysia. Termasuk : Jambi, tentunya.
Pelbagai aspek kelokalan ini, ku ungkapkan bukan untuk diperdebatkan. Sebab itu adalah fakta di lapangan. Yang harus kita lakukan, adalah mendorong pemerintah daerah untuk merekonstruksi ulang pembelajaran di sekolah, dengan memasukkan muatan lokal.
Jika ini tidak cepat kita lakukan, maka kita akan tergilas kuatnya arus globalisasi, yang dikomandoi oleh penggunaan internet dan digitalisasi, dan tidak akan ada lagi budaya lokal Jambi di bumi.*