Songket, “Kain Emas” Dari Sumatera
Budaya & Seni
May 10, 2023
Junus Nuh/Kota Jambi
Kain Songket atau yang sering disebut dengan “Kain Emas” Dari Sumatera. (credit tittle : Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)
MEMULIAKAN penggunanya. Demikian kira-kira makna dari kain Songket. Kain tenun dengan benang warna emas ini memang acap digunakan oleh kaum perempuan sebagai kain sarung dan selendang. Sedangkan bagi kaum pria, umunya adalah untuk kain sarung yang digulung hingga sebatas lutut, dan topi.
Dengan harga kain songket yang berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per helai, tentunya membuat orang berdecak kagum melihat penggunanya.
Tetapi, bukan hanya karena benang emas dan motifnya yang rumit saja, melainkan juga pengerjaannya yang memakan waktu lama dan butuh kesabaran ekstra. Sebab untuk mengerjakan satu helai Songket terkadang membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Sebanyak lima tradisi Songket di Indonesia telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Yakni Songket Palembang, Sambas, Pandai Sikek Sumatera Barat, Beratan Bali, dan Silungkang Sumatera Barat.
UNESCO sendiri menetapkan Songket Malaysia sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Kain Songket adalah tradisi tenun yang telah berkembang cukup lama di Nusantara. Menurut bahankain.com, kain Songket Djambi telah menjadi catatan negeri China pada abad ke-13. Petugas pelabuhan China, Chau Ju-Kua menyebutkan kala itu Djambi sangat aktif sebagai pelabuhan ekspor tekstil.
Kain impor kemudian dibarter dengan berbagai macam getah pohon yang dapat digunakan untuk banyak keperluan. Pun termasuk hasil bumi lainnya seperti cengkeh, kapulaga dan kulit kura-kura.
“Pedagang dari Arab biasanya membawa serat katun dan pedang. Sedangkan pedagang dari China membawa kain sutera dan serat emas yang ditenun menjadi Songket,” demikian menurut catatatan Chau Ju-Kua.
Adapun Songket Djambi, telah lama dikenal dunia. Karena kain Songket Djambi memiliki tema kultural yang sangat menonjol.
Menurut catatan sejarah, Djambi telah bedagang dengan India pada abad ke-7. Namun, para era kedatangan agama Islam, yakni pada abad ke-15, kebutuhan tekstil meningkat pesat.
Kain-kain berhias yang berasal dari Gujarat, ikat tenun sutera dan katun batik cap Coromandel menjadi seragam pejabat Kesultanan Djambi. Produk-produk yang diimpor pihak kesultanan pun adalah produk yang dibutuhkan oleh rakyatnya.
Kain Songket digunakan untuk acara-acara keagaaman Islam dan adat tradisi Melayu. (credit tittle : Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)
Tercatat dalam sejarah, pihak kesultanan memberikan rakyatnya peralatan kerja dan bertani. Seperti parang, pisau, pacul, celurit, arang kayu, katun bakalan, kain biru, dan garam. Sedangkan rakyat, sebagai balasannya, memberikan beras, berbagai getah pohon, emas, gading, tanduk badak, rotan dan buah rotan.
Dalam tradisi adat Melayu Djambi, kondisi ini disebut sebagai Serah Turun Jajah Naik. Yakni posisi yang saling menguntungkan antara pihak kesultanan dengan rakyatnya.
Tercatat pula, bahwa Inggris pun pernah mendirikan pabrik tempat mereka bisa menyimpan kain-kain dan mengolah hasil bumi yakni lada hitam. Meskipun kedatangan Inggris tertinggal dari Belanda, namun demi memperebutkan dominasi komoditas lada hitam, Inggris pun bersikukuh tidak akan menyerah terhadap Belanda.
Hingga terjadi perseteruan antara dua bangsa penjelajah dunia ini, untuk mendapatkan lada hitam Djambi. Akibatnya, berbagai jenis kain pun ramai memasuki Djambi.
Susan Rodgers, Anne Summerfield dan John Summerfield dalam buku Gold Cloths of Sumatra: Indonesia’s Songkets from Ceremony to Commodity mengatakan interaksi budaya antar bangsa yang terus terjadi selama berabad-abad di Pulau Sumatera pun telah mempengaruhi corak kain. Ketika Minangkabau berada di pantai barat Sumatera dan Melayu berada di pantai timur Sumatera, tenun kain emas halus terus berkembang di dua sentra ini.
“Penenun menggunakan alat tenun backstrap sederhana untuk membuat kain yang paling dikagumi, yang dikenal luas sebagai songket, dengan benang-benang terbungkus emas yang membentuk desain di atas kain merah, ungu, atau krem yang terbuat dari katun atau sutra,” demikian kutipan dari buku itu.
Umumnya kain Songket digunakan oleh penganut agama Islam untuk acara-acara keagamaan dan adat tradisi.
Di Provinsi Jambi saat ini, alat tenun backstrap sederhana itu dikenal dengan nama Gedogan. Alat tenun Gedogan, jika menurut ilmu tekstil, berfungsi untuk meletakan dan menyulam benang-benang pakan ke kain lungsi.
Gedogan adalah alat tenun sederhana yang bagian-bagiannya terbuat dari kayu dan bambu yang memiliki dua ujung. Pada satu ujung Gedogan biasanya diikatkan pada dinding atau tiang rumah. Sedangkan pada ujung yang lain diikatkan pada pinggang penenunnya.
Kata “Songket” sendiri berasal dari kata Melayu, yakni sungkit. Artinya kira-kira adalah “mengait”. Kata ini sendiri mengacu pada cara pembuatan songket, yakni mengait dan mengambil seutas benang, dan lalu menyelipkan benang emas dan perak ke dalamnya.
Meskipun, benang utama kain tenun Songket adalah berwarna emas, tetapi, ada banyak warna benang yang juga ikut di dalam tenunan kain yang kainnya secara umum berwarna utama merah ini. Seperti termasuk juga warna merah, perak, putih dan jingga.
Namun, pada tradisi yang lain, kain tenun Songket juga menggunakan kombinasi tusuk dan cukit.
Kain Songket di Sumatera, umumnya digunakan pada perayaan-perayaan. Kain Songket, yang memuliakan penggunanya itu, akan menunjukan status dari pengguna itu sendiri. Terutama dari kalangan bangsawan ataupun be have. Dan, juga, kain Songket pun sepertinya menjadi warisan yang diturunkan kepada anak perempuan.
Kini, sebagai tradisi, motif-motif songket yang rumit dan rapi itu adalah incaran banyak kolektor kain. Kain tenun Songket terkenal kuat dan dapat bertahan hingga waktu yang lama.
Tapi tak jarang, kain-kain Songket yang telah dibuat di era-era lampau, diperjualbelikan sebagai barang antik.*