36 Tahun Lalu, Peristiwa Talangsari
Hak Asasi Manusia
March 3, 2025
Farokh Idris

Human Right. (credits: freepik)
KORBAN Peristiwa Talangsari ’89 hingga hari ini masih terus berjuang untuk memperoleh haknya atas keadilan dan kebenaran dari negara.
Koalisi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights (AJAR) menyatakan pemerintah telah abai untuk menuntaskan penyelesaian Peristiwa Talangsari, yang terjadi sekitar 36 tahun lalu.
Mengutip rilis Amnesty International Indonesia tanggal 6 Februari 2025, Peristiwa Talangsari terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur pada tanggal 7 Februari 1989.
Peristiwa ini dinyatakan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) karena telah mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia, puluhan warga ditahan tanpa proses hukum, disiksa, dan dihilangkan secara paksa.
Komisi Nasional (Komnas) HAM telah menyelidiki peristiwa ini secara pro-yustisia. Dan, hasil penyelidikan menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran berat HAM pada 2008. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang (UU) nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Proses hukum dari peristiwa Talangsari telah berjalan sejak lama. Tapi, hingga hari ini, keadilan yang substantif dan bermartabat bagi korban belum kunjung ditegakkan dan kebenaran belum kunjung diungkap.
Sebaliknya, negara justru sejak lama telah melakukan berbagai jalan pintas yang mencederai dan merendahkan martabat korban.
Langkah-langkah itu, yakni; melakukan “Deklarasi Damai” secara sepihak pada tanggal 20 Februari 2019 yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di bawah Kementerian Koordinator, Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan surat komitmen bersama mengenai perbaikan infrastruktur tanpa memperhatikan hak korban pada 16 Oktober 2020, serta Tim Penyelesaian secara Non-yudisial (PPHAM) pada 22 Agustus 2022 yang hanya berfokus pada pemberian bantuan secara materil.
“Deklarasi Damai” ini memberi kesan bahwa negara menganggap peristiwa Talangsari bukanlah kejahatan serius, sebagai akibat penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.

Peta Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Timut Provinsi Lampung (credits: Google Maps)
Pada 10 Desember 2024, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dan Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengungkapkan bahwa penyelesaian pelanggaran berat HAM akan dilakukan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Mekanisme ini dipilih sebagai upaya menanggulangi kesulitan pengumpulan bukti dan keterangan terkait lantaran peristiwa tersebut sudah lama terjadi.
Koalisi menduga wacana ini tidak lain hanya sebuah upaya untuk merawat impunitas terhadap pelaku dalam Peristiwa Talangsari 1989.
Dugaan ini pun bukan tanpa alasan. Sebab, dalam program Asta Cita pemerintahan saat ini, tidak ada penuntasan pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai salah satu program kerja yang akan dilakukan.
Padahal, rekonsiliasi bukanlah mekanisme alternatif terhadap mekanisme yudisial yang dapat dipilih oleh negara dengan sesuka hati. Rekonsiliasi adalah sebuah istilah “payung” terhadap sebuah rangkaian proses struktural sebagai upaya untuk melakukan penyelesaian yang berkeadilan dan menghargai martabat korban.
Rangkaian proses itu harus dimulai dengan mengungkap fakta-fakta terkait peristiwa. Termasuk nama-nama pelaku dan jumlah korban, kepada korban dan keluarga korban termasuk kepada publik.
Pengungkapan kebenaran penting untuk dilakukan agar negara tidak dengan serampangan memanipulasi sejarah dan mendorong pemulihan korban dengan maksimal. Hal inilah yang tidak pernah dilakukan oleh negara.
Tanpa pengungkapan kebenaran, pemulihan korban tidak akan maksimal. Sebab korban tidak akan pernah mengetahui apa yang terjadi pada mereka atau keluarga mereka.
Koalisi menuntut agar Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan pro-yustisia kasus Talangsari 1989 yang telah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke tahap penyidikan dan penuntutan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 dan 23 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Lalu, Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasi dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan barang bukti yang dibutuhkan. Dan, pemerintah untuk memenuhi hak korban Peristiwa Talangsari 1989 atas pengungkapan kebenaran dan pemulihan, termasuk dengan melakukan memorialisasi atas peristiwa tersebut.
Akibat tragedi itu, Dusun Talangsari III sempat disebut sebagai: “Dusun Mati”. Dan warga berdiam di dusun itu distigma dengan sebutan: “Orang Lokasi” sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.
Berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang adanya asas tunggal Pancasila. Untuk menunjukkan komitmennya, Soeharto menyebut prinsip tersebut sebagai: Eka Prasetya Panca Karsa dengan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Doktrin ini juga termanifetasi dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya, serta Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Demonstrasi Peringatan 36 tahun Peristiwa Talangsari ‘89. (credits: Amnesty International Indonesia)
Program P-4 banyak menyasar kelompok Islam, yang saat itu bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Aturan itu memancing reaksi kelompok Islam di Indonesia.
Termasuk juga yang terjadi pada Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan, Barisan Jubah Putih di Aceh.
Banyak sisi dari Peristiwa Talangsari “masih kabur”.
Dimana, Di Desa Rajabasa Lama, Warsidi, dijadikan imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan di Talangsari. Warsidi adalah seorang senior dan juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas pengajian Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah dibawah angka 10 orang.
Lalu, Warsidi dilaporkan telah melakukan “kegiatan yang mencurigakan”. Kelompok pengajian ini, kemudian, disebutu-sebut sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah.
Selanjutnya, terjadi kerusuhan pada tanggal 7 Februari 1989.
Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari. Dan, pemantauan itu menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Berdasarkan catatan Komnas HAM; sebanyak 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.*

