Mereka Yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan
Hak Asasi Manusia
June 26, 2024
Jon Afrizal
Rakhine Yoma (: pegunungan Arakan) di tepian Sungai Naf, di distrik Maungdaw, Myanmar. (credits: wikicommons)
GEORGE Orwell, jurnalis dan novelis asal Inggris, menulis Burmese Days yang diterbitkan pada tahun 1934. Pada saat itu, Burma berada di bawah fase kolonial Inggris. Burma berada dibawah perintah Delhi, India; sebagai pusat kekuasaan kolonial Inggris di kawasan itu.
Novel ini mengangkat sisi terendah dari kemanusiaaan: rasisme. Meskipun, kala itu, rasisme dapat dilihat dalam interaksi antara tiga kelompok etnis utama di Burma: Eropa, India, dan Burma.
Rasisme; dengan komunitas Eropa di Burma yang sering mengungkapkan sikap rasis terhadap orang India dan Burma, ketika berinteraksi dengan mereka. Dengan kata lain, pribumi berada dalam status paling rendah.
Kini, tragedi rasisme itu terulang lagi, di Burma, atau Myanmar, sebutannya untuk saat ini. Namun, yang justru aneh, adalah antar pribumi.
Etnis Indo-Arya dari Rakhine yang telah melakukan pemberontakan dan pemisahan diri terhadap Burma, sejak tahun 1940-an lalu. Kelompok etnis ini juga dikenal dengan sebutan Arakan, atau jika mereka menyebut dirinya, adalah: Rohang. Mereka juga dikenal dengan nama: Rohingya.
Rohingya; sebuah istilah yang dikenal luas sejak tahun 1990-an. Dan istilah yang selalu dikaitkan dengan artian dari: pengungsi dan pencari suaka.
Pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh etnis Rohingya ini telah membuat kelompok etnis ini menghadapi tindakan keras dari militer Myanmar secara berturut-turut; pada tahun 1978, 1991 hingga 1992, 2012, 2015, dan khususnya pada tahun 2016 hingga 2018.
Untuk periode terakhir ini, yang kerap dinyatakan sebagai genosida, sebagian besar populasi Rohingya di Myanmar diusir keluar dari negara itu. Mereka pergi dari Myanmar untuk mencari selamat ke negara tetangga, Banglades.
Diperkirakan sebanyak 740.000 orang etnis Rohingya melarikan diri ke Banglades, pada peroiode itu. Sedangkan 1,4 juta lainnya masih berada di Myanmar.
Kerugian bagi kelompok ini, adalah; pembatasan ruang gerak di Myanmar, pembatasan akses ke pendidikan, dan pembatasan akses ke layanan pemerintah. Beberapa tulisan menyebutkan kondisi yang dialami Rohingya adalah sama atau mendekati apartheid di Afrika Selatan pada beberapa dekade lalu.
Sehingga, memberikan akibat lain yang sangat serius. Yakni status mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan. Karena pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan bagi mereka.
Dapat dikatakan, Rohingya adalah satu etnis yang paling terpersekusi di dunia, saat ini.
Persoalannya berawal pada klaim wilayah dan sejarah. Dan, etnis Rohingya telah kalah, dan terusir.
Rohingya menyatakan bahwa mereka adalah pemukim asli Myanmar bagian barat. Ini dapat dijelaskan melalui sejarah mereka selama lebih dari satu abad.
Mereka mendapat pengaruh dari Arab, Munghal, dan Portugis.
Rohingya mengklaim bahwa mereka adalah keturunan dari pemukim pada masa prakolonial dan kolonial Inggris di Arakan. Secara historis, terdapat kerajaan yang independen yang berada di antara Asia Tenggara dengan India. Inilah wilayah Arakan: yakni tempat mereka berasal.
Rohingya, adalah kata yang muncul dari istilah kolonial dan pra-kolonial Inggris: Rooinga dan Rwangya. Orang Rohingya menyebut diri mereka sebagai Ruaingga. Dalam bahasa Burma mereka dikenal sebagai rui hang gya, sedangkan dalam bahasa Bengali mereka disebut Rohingga.
Banyak ahli bahasa menyebutkan bahwa istilah “Rohingya” berkemungkinan berasal dari Rakhanga atau Roshanga. Yakni kata untuk negara bagian Arakan.
Selanjutnya, kata Rohingya kemudian berarti sebagai “penduduk Rohang”. Rohang adalah sebuah nama dalam kasanah Muslim untuk menyebut: Arakan.
Pada saat Burma menjadi sebuah negara demokrasi, dari tahun 1948 hingga 1962, Perdana Menteri U Nu kerap menggunakan istilah “Rohingya” dalam pidatonya di radio.
Ini adalah upaya U Nu untuk membangun perdamaian di wilayah perbatasan Mayu yang selalu bergejolak. Istilah ini pun disiarkan di radio Burma, dan digunakan secara luas dalam pidato-pidato para pejabat Burma.
Namun, setelah masa-masa itu, sejarah seolah terputus,
Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa kelompok etnis Rohingya adalah imigran yang datang dari Chittagong, Banglades pada masa kolonial Inggris. Pemerintah Myanmar berargumen bahwa populasi Muslim yang telah ada dari masa prakolonial, adalah yang diakui sebagai etnis Kaman.
Dan, berdasarkan versi pemerintah Myanmar, etnis Rohingya telah menyamakan sejarah mereka dengan sejarah Muslim Arakan secara umum. Tindakan ini, demikian klaim pemerintah Myanmar, adalah untuk memajukan agenda separatisnya.
Selain itu, pemerintah Myanmar tidak mengakui istilah “Rohingya”. Tetapi, melabeli komunitas itu sebagai etnis Benggala.
Mungkin, inilah yang terefleksi di novel Burmase Days. Yang dapat disebut sebagai korupsi pribumi dan kefanatikan imperial.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Human Rights Watch menggambarkan apa yang terjadi terhadap etnis Rohingya sebagai etnic cleansing (pembersihan etnis).
Pemerintah Myanmar, dengan kekuatan militer, telah melakukan penganiayaan terhadap etnis Rohingya. Kekuatan mmiliter Myanmar telah melakukan “eksekusi massal, penghilangan paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penganiayaan. dan kerja paksa” terhadap masyarakat Rohingya.
Bahkan, penyelidikan yang dilakukan oleh PBB menemukan bukti meningkatnya hasutan kebencian dan intoleransi agama yang dilakukan oleh kaum ultra-nasionalis terhadap etnis Rohingya.
Dan, hingga hari ini, mereka menjadi pengungsi. Mereka menggunakan kapal-kapal, mengarungi lautan, untuk mencari selamat ke banyak negara, bahkan ke Indonesia.
Mungkin, sama seperti pernyataan karakter Westfield pada bab ke-2 di novel Burmese Days, “Aku tidak selayaknya tinggal di negeri ini lagi.”
Dan, itulah yang terjadi dengan Rohingya pada saat ini.*