Sudan; Krisis Yang Terlupakan
Hak Asasi Manusia
April 26, 2024
Zachary Jonah
Perempuan dan anak-anak sedang mencari air, di Sudan timur. (credits : UNICEF)
Sudan sering disebut sebagai krisis yang terlupakan. Tetapi, pertanyaannya, adalah, berapa banyak orang yang mengetahui krisis ini terjadi, sehingga melupakannya.
SUDAN mengalami perang saudara sejak satu tahun yang lalu, yakni sejak tanggal 15 April 2023. Perang ini telah menyebabkan hampir 15.000 orang tewas, delapan juta warga sipil melarikan diri, 25 juta orang membutuhkan bantuan dan peringatan dari lembaga kemanusiaan tentang kelaparan, blokade bantuan, dan peningkatan jumlah korban jiwa.
“Penderitaan warga sipil mungkin akan bertambah buruk. Sebab tanpa sumber daya yang lebih banyak, kita tidak akan mampu menghentikan kelaparan,” kata Justin Brady, kepala kantor bantuan kemanusiaan PBB (OCHA), di Port Sudan, mengutip UN News.
Sebab, katanya, sebagian besar jatah yang diterima orang-orang seperti Program Pangan Dunia (WFP) hanya tersisa setengahnya saja. Sehingga, tidak ada lagi jatah pangan untuk yang lain.
Kondisi suram ini telah mencapai tingkat darurat setelah Pasukan Dukungan Cepat dan Angkatan Bersenjata Sudan melancarkan serangan melalui udara dan darat pada pertengahan April 2023. Ketika tsunami kekerasan terus meningkat di seluruh negeri saat ini, dari Khartoum, ibu kota Sudan, dan terus berkembang ke luar.
“Kekhawatiran terbesar kami adalah di sekitar wilayah konflik di Khartoum dan negara bagian Darfur. Dimana upaya kemanusiaan terus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa warga sipil,” katanya.
Seluruh komunitas pemberi bantuan terpaksa pindah dari ibu kota hanya beberapa minggu setelah terjadinya pertempuran karena situasi keamanan yang buruk.
Meskipun peringatan kelaparan baru-baru ini menunjukkan bahwa hampir 18 juta warga Sudan menghadapi kelaparan akut, namun rencana bantuan senilai USD 2,7 miliar pada tahun 2024 hanya terealisasi sebesar enam persen saja.
Kondisinya buruk telah terjadi bahkan sebelum perang, sejak kudeta tahun 2021. Dengan perekonomian yang terpuruk di tengah gelombang kekerasan berbasis etnis yang mengejutkan.
Meskipun pasokan bantuan kemanusiaan tersedia di Port Sudan, namun tantangan utamanya adalah memberikan akses yang aman kepada masyarakat yang terkena dampak, yang saat ini terhambat oleh penjarahan gudang bantuan dan hambatan birokrasi yang melumpuhkan, ketidakamanan dan pemutusan komunikasi secara total.
“Sudan sering disebut sebagai krisis yang terlupakan. Tetapi, pertanyaannya, adalah, berapa banyak orang yang mengetahui krisis ini terjadi, sehingga melupakannya,” katanya.
Ketika kelaparan melanda seluruh negeri, outlet berita melaporkan bahwa satu anak meninggal setiap dua jam karena kekurangan gizi di kamp pengungsian Zamzam di Darfur Utara. Sebanyak 24 juta anak telah terkena konflik dan 730.000 anak mengalami kekurangan gizi akut.
“Anak-anak seharusnya tidak mengalami hal buruk sepertti ini,” tegas Jill Lawler, kepala operasi lapangan di Sudan untuk Dana Anak-anak PBB (UNICEF).
Lebih dari 19 juta anak tidak bersekolah, dan banyak anak muda juga terlihat membawa senjata, mencerminkan laporan bahwa anak-anak terus menghadapi perekrutan paksa oleh kelompok bersenjata.
Sementara itu, perempuan dan anak perempuan yang diperkosa pada bulan-bulan pertama perang kini telah melahirkan bayinya. Banyak dari para ibu itu terlalu lemah untuk menyusui bayinya.
Warga Sudan pun banyak yang melarikan diri ke negara lain. Para pengungsi ini mengalami penderitaan yang sama pedihnya dengan warga yang tidak melarikan diri.
“Saya telah kehilangan semua yang pernah saya miliki. Milisi menjarah rumah kami dan merampas segalanya, termasuk daun pintu rumah kami,” kata Fatima, bukan nama sebenarnya, warga Sudan.
Ia dan keluarganya terjebak di dalam rumah mereka di El Geneina di Darfur Barat selama 57 hari, ketika milisi secara sistematis menargetkan dan membunuh orang berdasarkan etnis mereka.
“Banyak mayat bergelimpangan di jalanan. Hingga sulit untuk berjalan,” katanya.
Fotografer Ala Kheir yang meliput Perang Sudan sejak bentrokan sengit meletus di Khartoum satu tahun lalu, mengatakan bahwa skala bencana pasti lebih besar daripada yang digambarkan media.
“Perang ini sangat aneh. Kedua belah pihak yang berseteru sama-sama membenci masyarakat. Dan mereka juga membenci jurnalis,” katanya.
Setahun kemudian, perang di Sudan masih berlangsung sangat sengit dan kehidupan jutaan warga sipil Sudan terpaksa terhenti, tanpa ada solusi,” katanya.
Meskipun Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata selama bulan suci Ramadhan tahun 2024 ini, yang berakhir minggu lalu, tetapi pertempuran terus berlanjut.
“Komunitas internasional harus tidak ikut campur dalam perseteruan ini. Dan sepenuhnya membawa kedua pihak yang berseteru ke meja perundingan. Sebab, konflik ini adalah mimpi buruk bagi rakyat Sudan,” kata Brady dari OCHA.*