Perang Enam Hari-nya Gamal Abdul Naser

Uncategorized

June 18, 2024

Jon Afrizal

Unit pasukan lapis baja Israel memasuki Gaza selama Perang Enam Hari, 6 Juni 1967. (credits: Britannica)

“Amerika marah jika mereka diserang dan ingin membungkam kita. Mereka mengancam kita, tetapi kita tidak terintimidasi oleh ancaman mereka. Kita mengikuti jalan kita dan Amerika menghentikan semua bantuan kepada kami termasuk, terutama, pasokan gandum senilai GPB 60 juta. Jika kita tetap diam sebagai imbalan atas gandum ini, maka Amerika akan mencekik leher kita dan tidak akan pernah membiarkan melepaskan kita.”

SERANGAN pasukan Mesir pada tahun 1967 layak ditelusuri lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti historis yang menunjukkan bahwa hal itu terkait dengan dendam Nasser terhadap Amerika. Memang, ketika Lyndon Johnson mengirim utusan pribadi ke Kairo pada bulan Juni, pertemuannya dengan menteri luar negeri Mesir didominasi oleh diskusi tentang putusnya komunikasi antara kedua negara dan betapa Mesir sangat membutuhkan bantuan, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah tindakan Nasser pada bulan Mei 1967 dirancang untuk memaksa Amerika mendukungnya.

Episode ini layak untuk dicatat. Untuk melihat bagaimana sejarah berjalan ketika AS mencoba dan gagal mengubah musuh yang tangguh menjadi teman.

Pada pidatonya pada tanggal 22 Februari, Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser menghubungkan antara sikap Amerika yang dianggap terlalu agresif di Timur Tengah dengan masalah Palestina. Yang menjadi dasar seruannya untuk berperang melawan Israel hanya tiga bulan seealh Mei 1967. Ia menggambarkan kepada audiens Arabnya tentang landasan rencana Amerika untuk menguasai Mesir melalui tekanan ekonomi.

Keputusan yang mengarah pada perang jarang dipahami tanpa adanya dokumentasi yang menunjukkan dengan tepat apa yang dipikirkan para pejabat. Namun, dalam kasus Perang Enam Hari, para sejarawan telah mengabaikan apa yang telah lama menjadi perhatian mereka.

Bahwa Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengerahkan tentaranya untuk melawan Israel pada pertengahan Mei 1967. Sebagian untuk membalas AS karena menolak memberikan bantuan ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh pemimpin Mesir tersebut setelah bertahun-tahun menghabiskan uang secara boros untuk “project Vietnam-nya Mesir” di Yaman.

Ini, mengutip fathomjournal, tidak hanya menantang anggapan umum bahwa Nasser bertindak untuk menghentikan dugaan rencana Israel untuk menggulingkan rezim Baath yang radikal di Suriah. Tetapi juga menunjukkan batas-batas kebijakan luar negeri AS yang mengandalkan upaya menenangkan untuk mengubah musuh menjadi teman.

Para pejabat Presiden AS John F. Kennedy yang menangani Timur Tengah percaya bahwa hubungan pribadi yang dekat antara presiden dan Nasser, dan sejumlah besar bantuan ekonomi tanpa syarat, dapat membeli kesetiaan pemimpin Mesir tersebut.

Namun, meskipun ada perjanjian kredit tiga tahun yang belum pernah terjadi sebelumnya, Nasser menolak untuk melepaskan diri dari Yaman, di mana ia terkunci dalam perang proksi melawan Arab Saudi untuk penguasaan regional.

Namun, tidak seperti pendahulunya John F. Kennedy, Lyndon B. Johnson tidak terlalu memperhatikan diplomasi pribadi. Jika Nasser ingin terus menerima bantuan ekonomi Amerika, ia harus menarik diri dari Yaman.

Jadi, ketika Nasser masih gagal membuat kemajuan di Yaman bahkan setelah menerima perjanjian kredit baru pada enam bulan setelah berakhirnya yang asli, Johnson dan Menteri Luar Negeri Dean Rusk ragu-ragu hingga akhir tahun 1966 dan awal tahun 1967 untuk menyetujui permintaan Nasser untuk memberikan lebih banyak bantuan.

Jelas, Nasser kesal karena harus menunggu. Ia menganggap penundaan itu sebagai indikasi tekanan Amerika. Dan, ia dengan mudah beralih ke masalah yang telah berusaha dihindari oleh pejabat AS selama bertahun-tahun: pembebasan Palestina oleh Arab.

“Kita tidak bisa tunduk pada tekanan atau ancaman ekonomi, karena dengan menolak tunduk, kita seharusnya membela revolusi Arab, perjuangan Arab, kedaulatan Arab, dan nasionalisme Arab,” kata Nasser.

Yang terjadi selanjutnya adalah pendahulu seruan Nasser untuk perang melawan imperialisme Amerika di Timur Tengah. Pada tanggal 2 Mei, ia menyampaikan apa yang oleh para pengamat Inggris digambarkan sebagai ‘pidato bersejarah yang penting’ di mana ia melanjutkan ceritan sebelumnya tentang penolakan tekanan ekonomi Amerika tetapi menambahkan seruan untuk perlawanan kolektif Arab terhadap imperialisme Amerika.

“Saya dan Kita tidak siap untuk menjual bahkan sebutir pasir pun dari tanah negara ini dengan harga USD 100 juta dolar,” kata Nasser mempertegas sikapnya.

Peranyaaan Nasser mengacu pada perselisihan historis Mesir dengan Inggris, yang sekarang ia kaitkan dengan AS.

Tanggal 22 Mei adalah hari dimana Nasser tampil pertama kali di depan publik sejak mobilisasi awal. Ketika mengumumkan blokade terhadap pengiriman Israel melalui Selat Tiran, ia dengan bangga mengakhiri pengumuman tersebut dengan penegasan kekuatan Mesir.

“Kami tidak takut dengan kampanye imperialis, Zionis, atau reaksioner. Kami independen, dan kami tahu rasanya kebebasan. Kami telah membangun tentara nasional yang kuat dan mencapai tujuan kami. Kami sedang membangun negara kami,” katanya.

Sementara itu, mosaicmagazine, dukungan Nasser terhadap perjuangan Palestina tidak secara khusus dimotivasi oleh kepedulian terhadap hak-hak nasional Palestina. Atau, karena pan-Arabisme memandang Palestina bukan sebagai bangsa yang terpisah yang layak memiliki negara sendiri.

Tetapi sebagai bagian integral dari negara Arab bersatu yang prospektif.

Nasser sangat menyadari bahwa untuk memenangkan dukungan pan-Arab memerlukan peningkatan retorika. Serta, kebijakan anti-Israel diperlukan, karena ideologi ini menolak keberadaan negara Yahudi atas apa yang dianggapnya sebagai bagian dari “warisan pan-Arab.”

Nasser, menurut newarab, mendukung gerakan pembebasan dari Aljazair dan Yaman hingga Kongo dan konon Che Guevara pun mengunjungi pemimpin tersebut untuk mendapatkan inspirasi. Para pendukungnya ingat bahwa ia bertempur dalam perang Arab-Israel tahun 1948, bahwa ia memperjuangkan perjuangan Palestina, dan memaafkannya karena kehilangan begitu banyak wilayah selama Perang Enam Hari.

Perang Enam Hari, adalah perang antara Israel dengan tiga negara Arab tetangganya. Yakni, Mesir (Republik Arab Bersatu), Yordania, dan Suriah, yang berlangsung dari tanggal 5 hingga10 Juni 1967.

Ini adalah perang ketiga setelah Perang Arab-Israel 1948. Dan, setelah pada tahun Israel menginvasi Semenanjung Sinai pada tahun 1956.

Pihak-pihak yang bertikai akhirnya bersedia menandatangani sebuah kesepakatan gencatan senjata pada tanggal 11 Juni. Perang Enam Hari telah melumpuhkan kekuatan militer Mesir, Suriah, dan Yordania.

Sedangkan bagi Israel, adalah kemenangan. Karena Israel berhasil menewaskan sekitar 20.000 orang serdadu lawan, dan hanya kehilangan kurang dari 1.000 orang serdadu.

Akibat lain dari kekalahan Pan Arab pada Perang Enam Hari, adalah; bertambahnya wilayah Israel sebanyak tiga kali lipat. Batas Israel bertambah paling sedikit 300 kilometer ke selatan, 60 kilometer ke timur, dan 20 kilometer ke utara.

Juga, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat. Banyak dari penduduk wilayah-wilayah itu mengungsi ke luar Israel.

Secara agama, kekalahan perang ini membuat perubahan religius. Jika pada pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka.

Maka setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan.*

avatar

Redaksi