Kuluk; Dari Ladang Hingga Ke Perkantoran
Budaya & Seni
June 20, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Kuluk melati terurai. (credits: Dekranasda Provinsi Jambi)
Meskipun kini, Kuluk telah berada di era modern, tetapi pemakaiannya tetap harus mengikuti aturan yang telah berlaku sejak lama dan turun-temurun. Aturan yang telah ada, bahkan sebelum era Islam masuk ke Indonesia.
KONDISI iklim di Provinsi Jambi, dengan sinar ultraviolet di hampir sepanjang tahun, membuat penutup kepala adalah suatu kewajiban. Selain itu, Islam yang telah hadir sejak lama di sini, membuat nilai dan tradisi yang berhubungan dengan Islam juga diterapkan.
Satu penutup kepala bagi perempuan di Provinsi Jambi, adalah yang biasa disebut dengan; tengkuluk, tekuluk atau kuluk.
Mengutip warisan budaya takbenda Indonesia, kuluk adalah penutup kepala yang dibuat dari selembar selendang songket atau batik.
Pada masyarakat petani, kuluk digunakan untuk turun ke sawah atau ladang. Yakni sebagai pelindung kepala dari sengatan matahari dan sekaligus untuk alas pada saat menjunjung barang diatas kepala.
Pada saat ke ladang, kuluk dipadankan dengan baju kurung pendek atau kebaya pendek dan sarung yang yang dikenakan setinggi betis.
Kini, kuluk juga dapat dipadukan dengan busana sehari-hari atau busana resmi.
Di Provinsi Jambi, setiap kabupaten memiliki model kuluk dengan ciri khas masing-masing. Di Kabupaten Muaro Jambi, misalnya, sekurang-kurang terdapat tiga jenis kuluk. Yakni Kuluk Daun Sirih Muaro Jambi, Kuluk Satu, dan Kuluk Muaro Jambi.
Kuluk Daun Sirih Muaro Jambi digunakan dalam kegiatan sehari-hari di rumah, bertamu, atau ke pasar. Sedangkan Kuluk Satu dipakai dalam upacara adat, dan Kuluk Muaro Jambi dapat dipakai baik dalam acara resmi maupun dalam aktivitas sehari-hari.
Menurut kbbi, tengkuluk memiliki arti sebagai kain kepala dan kain penutup kepala atau wajah.
Berdasarkan artian ini, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa budaya Islam telah disejajarkan dan mengisi keseharian penduduk di Tanjung Jabung sampai Durian Takuk Rajo; dari Sialang Belantak Besi ke Bukit Tambun Tulang. Prasa ini adalah batas-batas yang dikonversi sesuai adat dan kekuasaan sejak era Kerajaan Melayu yang menganut Islam.
Kuluk, mengutip indonesiakaya, adalah penutup kepala yang dibuat dengan menggunakan lilitan kain. Tradisi memakai penutup kepala bagi kaum perempuan Jambi ini telah dikenal bahkan sejak sebelum penyebaran Islam masuk ke Indonesia, yakni sejak abad ke-7 Masehi.
Saat itu perempuan Jambi mengenakan penutup kepala yang berbentuk seperti turban yang bernama kuluk beselang mertuo.
Hampir seluruh daerah di Provinsi Jambi memiliki jenis tengkuluk sendiri. Seperti Suku Batin di Kabupaten Sarolangun, Merangin, dan Kerinci adalah satu suku yang memiliki jenis tengkuluk terbanyak.
Kuluk bagi perempuan Jambi tidak hanya berfungsi sebagai pelindung kepala untuk kegiatan sehari-hari saja. Tapi juga sebagai cerminan status sosial pemakainya.
Setiap bentuk tengkuluk memiliki arti dan juga filosofi yang berbeda. Museum Siginjei Provinsi Jambi, bahkan mendata sebanyak 98 jenis kuluk yang sering digunakan oleh perempuan Jambi.
Satu tengkuluk yang sering digunakan adalah kuluk kembang duren. Kuluk ini biasa dipakai oleh gadis Jambi sebagai sebuah simbol kecantikan.
Sedangkan kuluk yang khusus dikenakan untuk acara religi adalah kuluk pengajian. Selain itu, kuluk jenis ini dikenakan oleh kaum perempuan yang sudah berumur untuk pergi ke masjid atau ke pasar.
Kuluk pengajian mencerminkan ketaatan wanita pada ajaran agama Islam yang sesuai dengan Al Quran dan hadis.
Kuluk kuncup melati dikenakan oleh perempuan yang belum menikah ketika menari dan menyambut tamu saat upacara adat. Kuluk ke telang petang atau kuluk ke umo biasa dikenakan oleh kaum perempuan di daerah pegunungan maupun yang tinggal di daerah pantai.
Biasanya, mereka menyangkutkan keranjang rotan atau bambu di kuluk yang dikenakan di kepala untuk membawa makanan ketika pergi ke umo (: sawah dan ladang), dan sekembalinya dari umo, mereka akan membawa kayu dan hasil kebun.
Kuluk daun manggis, melambangkan kekayaan bumi Jambi dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Kuluk daun manggis dikenakan oleh para penari dari Muaro Bulian, Kabupaten Batanghari.
Kawasan Muaro Bulian, dulunya adalah penghasil manggis dan daun manggis sering digunakan sebagai obat oleh masyarakat sekitar. Kuluk ini juga mencerminkan ketulusan hati seseorang dalam mengayomi masyarakat sesuai dengan aturan adat istiadat yang berlaku.
Sedangkan kuluk mayang terurai adalah kuluk yang dikenakan oleh istri atau anak pemangku adat ketika menghadiri acara adat.
Kata “mayang” berasal dari prasa rumput panjang yang terurai. Sebab saat pemasangan kuluk di belakang kepala, kainnya terjuntai menyerupai rambut.
Selain itu, kuluk daun pandan berlipat, dikenakan oleh istri pemangku adat untuk menghadiri upacara adat di Desa Tabir, Kabupaten Bungo. Interpretasi daun pandan pada kuluk ini terlihat pada saat pemasangan kuluk yang dilipat menyerupai daun pandan.
Penggunaan kuluk tetap harus mengikuti aturan yang telah berlaku turun-temurun. Kain yang menjuntai di sebelah kanan dan kiri, tentu saja, memiliki arti yang berbeda.
Kain kuluk yang menjuntai ke kanan hanya digunakan oleh perempuan yang sudah menikah. Sedangkan kain yang menjuntai ke kiri digunakan oleh perempuan yang belum menikah.
Sehingga, kuluk mencerminkan suatu kekuatan tanpa kesombongan bagi pemakainya.*