Puti Selaro Pinang Masak Di Pulau Hantu
Daulat
June 7, 2024
Jon Afrizal
Putri Selaras Pinang Masak dan Paduka Datuk berhalo dalam prangko seri Cerita Rakyat Indonesia tahun 2004. (credits: colnect)
“Pada tahun Saka 1105, atas perintah Kamraten An Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusanavarmadeva, pada hari ketiga bulan terbit Jyestha, Rabu, Mahasenapati Galanai, yang memerintah tanah Grahi , mengundang Mraten Sri Nano untuk membuat patung ini. Berat samrit 1 bhara 2 tula dan nilai emas 10 tamlin. Patung ini didirikan agar seluruh umat beriman dapat menikmati, memuja, dan memujanya di sini…. memperoleh kemahatahuan…”
BAIT-BAIT pembuka kisah ini berasal dari Prasasti Grahi. Yakni prasasti yang ditemukan di Chaiya, Thailand selatan. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Khmer Kuno dengan aksara Sumatra Kuno, dan bertanggal 1183 M.
Prasasti ini tertulis di atas alas patung Buddha perunggu yang disimpan di kuil Wat Hua Wiang. Nama Grahi, juga disebut Kia-lo-hi dalam catatan Tiongkok Zhu Fan Zhi. Nama ini adalah nama lama untuk Chaiya.
Kota Chaiya adalah bagian dari Tambralinga, yang berada di Semenanjung Malaya. Kawasan ini adalah perbatasan antara kerajaan Sriwijaya dan Khmer.
Tahun Saka 1105 adalah tahun 1183 Masehi. Pada tahun 1183 Masehi itu, Adityawarman belum berkuasa di Melayupura Swarnabhumi.
Terdapat nama Mahasenapati Galanai. Galanai pada prasasti itu, yang adalah juga Talanai. Apakah itu adalah Tun Talanai, seperti pada kisah negeri Jambi, tentunya tak perlu tergesa-gesa menyimpulkan.
Ketika Kerajaan Jambi berdiri, setelah wafatnya Adityawarman pada tahun 1375 M, maka, sejarah pun terputus. Kasanah Budha hanya mengingat Jambi melalui kompleks percandian Muara Jambi, di tepi Sungai Batanghari. Kompleks ini digunakan pada abad ke-7 hingga abad ke 13 Masehi, dan digunakan untuk penganut agama Budha.
Sementara, Kerajaan Jambi, adalah kerjaan Islam, dan memiliki pengaruh budaya Islam, beberapa orang menyebutnya pengaruh Turki. Sehingga, penguasa tertinggi bukanlah bergelar raja, melainkan sultan.
Islam telah hadir di Jambi pada era Jalur Sutera, yakni abad ke-7 Masehi. Ketika pesisir timur Jambi, Zabag (Muara Sabak) tercatat pada berita Arab. Dimana Sriwijaya disebut dengan Sribuza.
Menarik, jika mengaitkan bahwa Sribuza adalah juga Sri Budha. Sebab, pada masa itu, agama Hindu Budha telah menjadi anutan masyarakat di sini.
Sementara, di pengujung abad ke-13 dan di awal abad ke-14, terbentuklah Kerajaan Jambi yang mana Islam adalah juga agama resmi kerajaan.
Mengutip Tambo Minangkabau, pada bab Sultan Negeri Jambi, berbunyi,
“ …Sultan negeri Jambi yang bernama Sultan Baginda Tuan anak yang Dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Jambi, melimpah ke Batanghari lalu ke Riau adanya.”
Maka, sultan Jambi adalah adalah keturunan dari raja Pagarruyung. Demikian kira-kira.
Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi yang ditulis oleh Ngebi Sutho Dilago Periai Rajo Sari menyebutkan, ketika Tun Talanai mangkat, maka daerah Jambi tidak lagi mempunyai raja. Sehingga turunlah anak dari raja Pagarruyung bernama Raja Beramah ke Jambi.
Anak raja itu adalah Puti Selaro Pinang Masak. Ia diutus untuk menjadi raja, dengan pusat kekuasaan di Ujung Jabung.
Pada Tambo Minangkabau, Datuk Ketumanggungan bernasehat kepada rakyat Minangkabau terutama Laras Koto Piliang. Yang berbunyi,
“ …ka salapan dirikan kerajaan di tanah Jambi akan maisi emas manah kepada kita, ka sambilan dirikan kerajaan di tanah Palembang supaya lalu perahu ke tanah Jambi, dari pada lalu tanah Jambi kepada kita.”
Sedangkan kaitanannya dengan Islam adalah,
“Maka dirikan pula kerajaan di tanah Aceh seorang supaya boleh orang (pergi) naik haji ke Mekah dan Medinah segala rakyat Daulat Yang Dipertuan. Itulah amanatku.”
Memang, secara spesifik Tambo Minangkabau tidak menyebutkan waktu atau tahun terjadinya peristiwa ini.
Jika menghubungkan antara Tambo Minangkabau dan Tambo Indrapura, Puti Selaro Pinang Masak adalah anak dari Ananggawarman (: Raja Beramah). Raja Beramah adalah anak dari Adityawarman.
Tetapi, belum diketahui terkait penjelasan siapakah ibu dari Puti Selaro Pinang Masak, atau, dengan pertanyaan lain, siapakah isteri Adityawarman yang menjadi ibu dari Puti Selaro Pinang Masak.
Sebab, Arif Rahman dalam Kerajaan Minangkabau Sebagai Asal-usul Kesultanan Jambi menyatakan bahwa Adityawarman memiliki dua istri. Yakni Puti Reno Jalito dan Puti Jamilan.
Tun Talanai, menurut catatan M.M.H Mennes yang termuat dalam kolonial institut, adalah raja di sekitar Sabak bagian pantai pada tahun 1440-an. Meskipun tercatat pada era Jalur Sutera, Zabag ternyata masih berdiri hingga masa setelah kekuasaan Adityawarman.
Tun Talanai ingin memperistri putri raja Minangkabau yang berkedudukan di Tanjungbungo (Pagarruyung) Batusangkar. Putri yang dimaksud adalah Puti Selaro Pinang Masak.
Puti yang tak hendak, kemudian membuat siasat, dan pernikahan pun tidak terjadi.
Tetapi, Tun Talanai mengangkat Puti Selaro Pinang Masak menjadi anaknya. Secara otomatis, Puti berhak mewarisi kerajaannya kelak setelah ia meninggal dunia.
Kejadian ini tidak tercatat dengan rapi.
Setelah Tun Talanai meninggal dunia, maka turunlah Puti Selaro Pinang Masak dari Tanjungbungo ke Sabak. Ia diikuti oleh rakyatnya dan juga didampingi oleh tiga orang saudaranya. Ketiganya, adalah; Sunan Muara Pijoan, Sunan Kembang Sari, dan Sunan Pulau Johor.
Dari tiga sunan inilah berkembang keturunannnya yang disebut Bangsa XII. Dalam lain bahasa, bangsa juga dimaknai sebagai kalbu.
Menurut Memori Residen HLO Pitrie, terdapat 12 bangsa di Jambi. Yakni; Jebus, Pemayung, Marosebo, Awin, Petajin, VII (tujuh) Koto dan IX (sembilan) Koto, Mestong, Penagan, Kebalen, Miji, Air Hitam dan Pinokowan Tengah.
Maka wilayahnya adalah “Dari ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo, Dari Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang”. Yakni wilayah Provinsi Jambi saat ini.
Buku Belacu Ditukar Lada yang ditulis olehJon Afrizal menyebutkan, pada “Piagam Pandai Berkato” tentang negeri Pangkalan Jambu disebutkan,
“Waris nan dijawat, khalifah nan dijunjung, nan terlukis dibendul Jati, nan tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan.”
Sementara, Undang-undang Adat Negeri Pangkalan Jambu adalah kombinasi dari undang-undang yang turun dari Minangkabau dan teliti yang mudik dari Jambi. Undang-Undang Adat ini berdasarkan kepada “Wajah nan Tigo, Perbetulan nan Duo”. Sehingga, tejadi kombinasi, antara dua budaya; yakni Miangkabau dan Jambi.
Kisah lisan tentang Pangkalan Jambu diawali pada masa Cindua Mato, orang dekat Bundo Kanduang dari negeri Pagarruyung. Pada masa itu Pangkalan Jambu dikenal dengan sebutan Renah Sungai Kunyit. Negeri ini adalah termasuk bagian dari daerah Depati Muara Langkap, depati yang berkedudukan di Tamiai, yang berada di Kabupaten Kerinci saat ini.
Cindua Mato adalah pihak luar yang pertama mengetahui bahwa di renah ini terdapat biji emas. Lalu, Bundo Kandung dan Basa Ampek Balai mengutus Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo untuk mencari emas ke sana.
Emas, Swarnabhumi. Dan Adityawarman telah mengetahuinya. Dan tercatat di Tambo Minagkabau.
Setelah Puti Pinang Masak berkuasa di Ujung Jabung, ia menikah dengan Datuk Paduka Berhala. Nama ini diyakni adalah nama lain dari atau Ahmad Barus II atau Ahmad Salim. Yakni seorang asing yang berasal dari Turki, yang terdampar di Pulau Hantu karena kapalnya pecah di selatan Pulau Singkep.
Pulau Hantu, selanjutnya lebih dikenal dengan nama Pulau Berhala. Pulau ini, serta gugusan pulau-pulau Lingga, pada awal abad ke-18 termasuk ke dalam wilayah Kesultanan Lingga.
Lalu, siapakah Galanai atau Talanai yang dimaksud pada Prasasti Grahi ? Kembali, butuh penelitian dan penafsiran lebih lanjut.*