Gadis Gipsi Di Pasar Pengantin

Hak Asasi Manusia

September 7, 2024

Jon Afrizal

Suasana “Pasar Pengantin” di Stara Zagora, Bulgaria. (credits: rosshvforum)

SABTU pertama sebelum hari Paskah bagi Kristen Ortodoks adalah hari yang “penting” dalam setiap tahunnya, di Bulgaria, sebuah negeri di Balkan. Sesuai tradisi kaum gipsi, hari yang berada di penghujung bulan Maret pada setiap tahunnya ini, adalah hari “Pasar Pengantin”.

Hari dimana gadis-gadis usia muda yang berasal dari kelompok masyarakat Trakiiski Kalaidzhii (Tukang Timah dari Thrace) berkumpul untuk menunggu pria calon suami membelinya.

Aneh? Salah? Meskipun dunia telah menjadi sangat modern saat ini, tetapi, inilah tradisi eksotis kaum Gipsi, yang bertahan hingga hari ini.

Pasar Pengantin itu terletak di kota Stara Zagora, Bulgaria. Selayaknya pasar, terdapat banyak dagangan. Mulai dari bir dingin, daging panggang, ikan goreng, gulali, manisan apel, dan berbagai macam manisan lainnya.

Riuhnya pasar. Gadis-gadis yang berdandan. Mengenakan rok panjang beludru, pakaian yang indah dengan ornamen emas, dan penutup kepala berwana cerah. Dengan perhiasan emas yang berkilau di leher, jari, telinga, dan gigi mereka.

Sementara, para lelaki memperhatikan gadis-gadis itu dengan teliti. Lalu berusaha merayu mereka, dan bersaing untuk mendapatkan perhatian mereka.

Baik gadis dan laki-laki, adalah berasal dari kelompok Kalaidzhii. Pernikahan seorang gadis Kalaidzhii dengan pria dari luar kelompok, menurut adat Kalaidzhii, tidak dibenarkan.

Di Bulgaria, berkumpulah segala bangsa. Seperti; Romania, Armenia, Arab, dan lainnya.

Orang-orang Romania awalnya bermigrasi dari India Utara ke negara-negara Balkan pada abad ke-11 hingga 14 Masehi. Sementara beberapa telah menetap, yang lain tetap nomaden.

Orang Romania telah menghadapi diskriminasi dan penganiayaan selama berabad-abad. Mereka sering digambarkan sebagai eksotis dan aneh.

Akibatnya, membuat mereka “terpisah” dari dunia luar, dan “menciptakan” dunianya sendiri.

Kelompok semi nomaden Kalaidzhii  Romania dengan jumlah total 18.000 jiwa di Bulgaria ini, terkenal dengan hasil kerajinan berkualitas baik. Kelompok Kalaidzhii  ini biasanya tinggal sangat jauh dari kelompok lain di desa-desa.

Mereka tidak diizinkan memiliki tanah. Sehingga, mereka harus melakukan pekerjaan seperti meramal, pandai besi, pertukangan kayu, pembuatan keranjang, pembuatan sepatu, dan pekerjaan pertanian musiman.

Sesuai tradisi, gadis-gadis muda dari kelompok ini tidak diperbolehkan bertemu dengan anggota laki-laki mana pun.

Young Brides for Sale sebuah film dokumenter karya Milene Larsson dan Alice Stein, memperlihatkan sesuatu yang terkonsep dan lih kompleks daripada yang terlihat.

Bahwa, Pasar Pengantin, menurutnya, adalah “Tradisi kuno yang penting bagi identitas Kalaidzhi. Dan, itulah sebabnya mengapa adat ini masih bertahan hingga saat ini.”

Tetapi, saat ini, sebagian besar gadis memiliki pilihan lain. Meskipun, masih sepenuhnya, terbentuk oleh tekanan keluarga, terkait dengan siapa mereka akan menikah.

“Adat ini sama sekali tidak membenarkan gagasan bahwa wanita adalah properti yang dapat dijual, tawar, dan beli, dan bagaimana hal itu membentuk kehidupan gadis-gadis ini sejak hari pertama. Mereka dibesarkan bukan untuk menemukan siapa diri mereka dan ambisi mereka, tetapi untuk mematuhi dan melayani calon suami mereka,” kata Milene Larsson, mengutip news.com.au.

Film dokumenter ini juga menjelaskan tentang kesulitan keuangan yang dihadapi oleh keluarga pengrajin tembaga tradisional ini. Ketika ayah dan ibu dalma setiap keluarga harus mengeluarkan uang yang setara dengan gaji mereka sepekan, untuk mendandani putri-putrinya di hari penting ini.

Tetapi, telah ada aturan adat yang jelas terkait pasar ini. Wanita Kalaidzhi harus perawan saat pertama kali menikah. Itu sangat penting karena bakal banyak uang yang diberikan untuk keperawanan.

“Para pria itu membeli keperawanan, dan bukan membeli istri,” kata etnografer dari Akademi Ilmu Pengetahuan Bulgaria, Velcro Krustev, mengutip New York Times.

Para gadis yang berada di Pasar Pengantin ini berusia antara 16 hingga 20 tahun. Mereka “dijual” dengan harga antara USD 7.500 hingga USD 11.300.

Data Institut Statistik Nasional Bulgaria menyebutkan terdapat 481 pernikahan gadis Bulgaria di bawah usia 18 tahun pada tahun 2015. Padahal, usia legal pernikahan di Bulgaria adalah 18 tahun.

Mengutip a-tale-to-tell, para wanita harus tunduk kepada pria.

Pendidikan sekolah bagi wanita akan dihentikan ketika mereka berusia 13 atau 14 tahun. Ini dengan tujuan untuk memastikan mereka akan menikah pada usia 16 tahun.

Sayangnya, pola ini menyebabkan persentase buta huruf yang lebih besar di kalangan perempuan. Mengutip World Bank, hanya 10 persen dari perempuan dan 16 persen dari laki-laki di Bulgaria yang memiliki pendidikan menengah.

Tahun-tahun ketika libur sekolah itu, kemudian, digunakan oleh keluarga, terutama ibunya. Para gadis dilatih untuk bertanggungjawab terhadap urusan rumah tangga. Seperti memasak dan membersihkan rumah.

Sehingga, ketika menjadi pengantin, ia telah benar-benar siap.

Dalam komunitas Romania, peran gender terlihat sangat menonjol. Para pria bertanggungjawab terhadap finansial keluarga. Sementara, para wanita bertanggung jawab terhadap rumah dan anak-anak.

Amilape, sebuah non government organization di Bulgaria yang menunjukkan bahwa 52 persen anak perempuan menentang pilihan orang tua mereka untuk menjual mereka kepada seorang pria.

Menurut imperiumpublication, semakin sedikit anak perempuan yang menerima tradisi ini pada saat ini. Dengan hadirnya ponsel dan internet dalam kehidupan mereka, mereka juga terbuka terhadap berbagai platform dan berita.

Sehingga, mungkin juga sudah saatnya, bagi para perempuan Romania untuk mendapatkan kebebasan dan memiliki identitas mereka sendiri.

Tentu saja, dengan pertimbangan-pertimbangan khusus dalam mengubah tradisi agar tidak mencuatkan culture shock, untuk membuat mereka keluar dari “rantai negatif” ini.*

avatar

Redaksi