Matinya Gender
Resonansi
August 7, 2024
Ivan Illich
Para perempuan yang bekerja di perusahaan garmen kecil di pinggiran Hanoi, Vietnam pada tahun 2013. (credits: AFP/Getty Images)
Perkembangan ekonomi dan teknologi; industri dan kapitalisasi, telah menyebabkan manusia kehilangan “keseimbangan”. Menjadi “sesuatu” sesuai global. Berikut, adalah terjemahan essay dari Ivan Illich, dengan judul “The Sad Loss of Gender”.
KITA telah kehilangan cara untuk menjadi manusia, tanpa bisa dikembalikan lagi. Dan meskipun masih ada, dalam tubuh kita, kehadiran samar-samar dari sesuatu yang pernah ada, aku tidak melihat bagaimana hal itu dapat diwariskan kepada anak-anak kita.
Kita berdiri di luar batas jaman yang luar biasa kaya dan beragam, dan kita sekarang harus menghadapi hilangnya gender. Sebuah epilog dari era industri dan gagasan tak berbentuk.
Pada akhir abad ke-20, mitos modern tentang kesetaraan seksual akhirnya menang sepenuhnya atas komplementaritas gender. Yang mana pluralitas budaya – cara hidup, kematian, dan penderitaan yang berbeda, telah mengakar lama.
Pemerintahan gender vernacular menandai cara keberadaan yang sangat berbeda dari apa yang berlaku sebagai rezim “Jenis Kelamin Dalam Ekonomi”.
Mereka adalah dualitas pria/wanita dari jenis yang sangat berbeda. Dimana “Jenis Kelamin Dalam Ekonomi” adalah dualitas satu tambah satu, yang menciptakan pasangan yang persis sama jenisnya. Dan, gender adalah dualitas dua bagian yang membentuk satu kesatuan yang unik, baru, dan tidak dapat ditiru.
Yang ku maksud dengan “Jenis Kelamin Ekonomi” adalah dualitas yang mengarah ke tujuan ilusi kesetaraan ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Baik itu laki-laki dan perempuan, pada akhirnya, hanyalah agen ekonomi yang dikebiri, yang dilucuti dari kualitas apapun selain fungsi konsumen dan pekerja.
“Gender Komplementer” adalah dualitas yang sangat lokal dan terikat waktu. Itu yang sebenarnya, membedakan pria dan wanita dalam keadaan yang mencegah mereka untuk mengatakan, melakukan, menginginkan, atau memahami ”hal yang sama”.
Bersama-sama mereka menciptakan suatu keseluruhan yang tidak dapat direduksi menjadi jumlah bagian-bagian yang setara. Yang hanya dapat dipertukarkan; sebagai suatu keseluruhan yang terbuat dari dua tangan, yang masing-masing memiliki sifat yang berbeda.
Gender menyiratkan suatu komplementaritas dalam dunia yang mendasar dan menutup dunia pada “kita”, betapapun ambigu atau rapuhnya penutupan ini. Ranah aktivitas di dalam penutupan itu — baik itu membesarkan anak, memasak, menjahit, membajak, penggunaan palu atau panci — memiliki martabat dan makna, yang sering diungkapkan secara ritual atau direpresentasikan secara mitologis, dan dihargai semata-mata atas kontribusinya terhadap penghidupan suatu komunitas.
Sebelum masa industri, tidak ada budaya yang tidak memiliki garis pemisah gender dalam penggunaan alat. Meskipun tidak ada dua budaya yang menarik garis itu dengan cara yang persis sama.
Di banyak pedesaan Eropa saat ini, alat-alat masih berbau gender. Di Styria, misalnya, sabit pria bermata bersih untuk memotong; sabit wanita berlekuk dan melengkung, dibuat untuk mengumpulkan batang-batang.
Hewan ternak pun dikaitkan dengan jenis kelamin. Di satu daerah di hulu Danube, wanita memberi makan sapi tetapi tidak pernah memberi makan hewan penarik. Lebih jauh ke timur, wanita memerah susu sapi milik rumah tangga, sementara ternak di padang rumput diperah susunya oleh pria.
Singkatnya, setiap aktivitas tertanam dalam suatu keseluruhan yang terbatas. Bagaimana keterikatan itu diartikulasikan mendefinisikan cara hidup baru suatu komunitas, yang ku sebut sebagai “seni hidup” atau “seni menderita”. Dan apa yang secara umum disebut sebagai budaya.
Tidak ada seorang pun yang sama, atau melakukan hal yang sama.
Pria dan wanita saling melengkapi; tidak ada yang penting bagi kehidupan mereka dalam masyarakat yang dapat dilakukan oleh tangan mereka sendiri. Diskriminasi tidak memiliki arti dalam konteks ini.
Begitu gender dilepaskan dari milik bersama, dan cara-cara melakukan sesuatu diubah menjadi pertukaran berbasis kelangkaan atau tugas-tugas produksi yang diberikan sebagai pertukaran tenaga kerja untuk upah, maka diskriminasi pun muncul. Dari semua yang diukur oleh ekonomi, perempuan mendapatkan lebih sedikit.
Jelas saja, munculnya hubungan pasar, penetrasi kapitalisme, monetisasi, dan ketergantungan komoditas mempercepat penghapusan gender.
Namun, aku yakin bahwa matinya gender mendahului munculnya kapitalisme, yang dimulai pada pertengahan abad ke-12 di Eropa.
Transisi yang adalah akar antropologis utama dari lahirnya jenis konseptualisasi baru aktivitas manusia: dimana masyarakat dan budaya adalah “sistem” dengan bagian-bagian yang dapat dipertukarkan dan diganti. Yang juga muncul dari transisi ini adalah sebuah gagasan abstrak tentang “kita” secara global, yang terpisah dari realitas konkret apa pun dan mencari pemenuhan “kebutuhan” yang menjadi langka karena kemungkinan yang tak terbatas.
Pada akhir abad ke-20, pemikiran “sistem” telah berkembang sedemikian jauh sehingga tuntutan utama “kita” secara global adalah penyediaan persyaratan standar universal yang setara untuk kelangsungan hidup rata-rata, yang dalam tahap paling maju berarti biokrasi.
Yakni pengelolaan kehidupan manusia dari sperma hingga kembali bersatu dengan tanah, dari pembuahan hingga pengambilan organ. Semua yang dipisahkan dari cara hidup dalam komunitas terbatas kini harus dikelola, sehingga setiap orang diberi cara hidup yang sama.
Kita dapat melihat seberapa jauh kita telah melangkah di jalur sistem dengan meninjau sejarah persepsi tentang “yang belum lahir”. Secara historis, janin “tidak ada”. Ia tidak terlihat, karena memang belum lahir.
Kehamilan memiliki arti yang sama dalam semua bahasa: sebagai sesuatu yang ada, tetapi pada saat yang sama, tidak ada. Sebuah “ketidakadaan” itu mendasar.
Ketika embrio yang tidak terlihat itu berkembang dan lahir, ia mungkin saja akan menjadi seorang anak, seorang cacat, atau hanya segumpal darah saja.
Kini, setelah datangnya teknologi medis terbaru, embrio menjadi “janin”. Sesuatu yang kehilangan misterinya, seperti yang kita lihat dalam sonogram. Maka ia berubah menjadi pasien lain, bagian lain yang terputus dari cara hidup yang harus dikelola.
Akibatnya, harapan pun dikorupsi. Sama seperti medikalisasi pada kematian, yang berubah wujud menjadi penderitaan yang dikorupsi. Harapan diubah menjadi sebuah ekspektasi: yakni hasil yang ditunggu dari intervensi teknologi.
Sehingga, dengan teknologi, “janin” berfungsi sebagai lambang baru tentang masa depan. Setiap momen keberadaan, karena semuanya dilingkupi oleh “sistem”.
Langkah terakhir dari “pemikiran sistem” adalah penghapusan waktu itu sendiri. Dengan komputer, real time nyata tidak pernah dimatikan. Dan, semua potensi akan tunduk pada manajemen, pilihan, seleksi, dan intervensi.
Akhirnya, masa depan tidak lagi akan menyimpan kejutan bagi siapapun. Karena telah menjadi bagian dari masa kini.*