Jejak Buram Aborsi Di Jambi

Hak Asasi Manusia

July 11, 2023

Junus Nuh/Kota Jambi

Demonstrasi yang dilakukan aliansi Save Our Sister (SOS) terhadap kasus incest yang dialami WA (16), Agustus 2018. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

ABORSI, secara hukum yang berlaku di Indonesia adalah tindakan illegal. Provinsi Jambi pun tidak terlepas dari kasus-kasus tindakan aborsi.

Secara umum, negara melarang aborsi, karena berlandaskan pada tiga aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Meskipun, terdapat kondisi tertentu yang dapat melegalkan tindakan itu.

Tiga aturan perundang-undangan itu, adalah; Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, dan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Ketiga aturan perundang-undangan itu berlandaskan kepada keselamatan hidup ibu dan janinnya.

Kasus terkini tindakan aborsi illegal adalah pada Senin (3/7) lalu, dimana Polsek Sungaipenuh menangkap perempuan beriniasial NS (29) di Desa Pelayang Raya, Kecamatan Sungai Bungkal, Kota Sungaipenuh karena telah menggugurkan janin yang dikandungnya yang berusia sekitar lima bulan.

Sebelumnya telah dilakukan dua kali upaya aborsi melalui seorang dukun urut. Tetapi upaya itu gagal. Akhirnya, janin laki-laki itu, dipaksa dilahirkan dan meningal dunia.

Selanjutnya, pada akhir bulan Januari tahun 2023 ini, polisi menemukan perempuan berinisial DM (20), yang telah melakukan tindakan aborsi di sebuah kamar hotel di Kota Kualatungkal Kabupaten Tanjungjabung Barat. DM dibawa ke RSUD Daud Arif Kualatungkal, tapi nyawanya tidak terselamatkan.

Tindakan aborsi ini dibantu oleh seorang bidan berinisial SA. SA menggunakan obat-obatan medis untuk menggugurkan bayi di dalam kandungan DM. Bayi yang dilahirkannya berusia delapan bulan, dan dalam kondisi meninggal dunia.

Pada bulan Agustus 2020, polisi menetapkan TMR (18) dan AY (17) sebagai tersangka kasus aborsi illegal. TMR melakukan aborsi dengan cara meminum obat medis.

Lalu, janin yang digugurkannya dikuburkan di depan rumah toko (ruko) yang berada di Jalan Raden Pamuk, Kasang, Kecamatan Jambi Timur, Kota Jambi. TMR pun sempat dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Jambi karena mengalami pendarahan setelah menggugurkan kandungannya.

Kemudian, tindakan aborsi akibat hubungan incest antara WA (16) dan AS (18), di Desa Pulau Kecamatan Muarotembesi Kabupaten Batanghari pada bulan Agustus tahun 2018 lalu. Aborsi dilakukan WA atas bantuan ibunya, AD (38) dengan cara diurut.

Janin berusia enam bulan yang dilahirkan WA berada dalam kondisi meninggal dunia. Janin itu ditemukan di belakang rumah mereka di Desa Pulau.

Sebelumnya, pada Juni 2017, Polresta Kota Jambi menemukan dua lokasi pekuburan yang digunakan untuk mengubur janin dari praktek aborsi illegal. Yakni di bagian belakang sebuah rumah di Kelurahan Penyengat Rendah Kecamatan Telanaipura dan di pemakaman di Kelurahan Sungai Putri Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Praktek aborsi terorganisir itu melibatkan seorang dokter spesialis kandungan, seorang bidan dan empat orang petugas lainnya. Praktek illegal itu dilakukan di sebuah klinik yang berada di Kelurahan Penyengat Rendah Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Banyak dari kasus tindakan aborsi di Provinsi Jambi ini terjadi sebagai akibat dari skandal atau hubungan di luar pernikahan. Dimana pernikahan kerap berfungsi sebagai kontrol norma dan etika.

Menurut kemenpppa.go.id, secara jelas pasal 75 ayat (1) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Tetapi, dalam kondisi tertentu, seperti di atur pada ayat (2), yakni kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan janinnya, dan kehamilan yang terjadi akibat perkosaan yang memiliki efek trauma psikologis.

Undang-undang itu pun mengatur sanksi dari perbuatan melawan hukum itu pada pasal 194, dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar.

Mengutip lbhpengayoman.unpar.ac.id, pelarangan terhadap praktek aborsi itu adalah pernyataan bahwa setiap ciptaan Tuhan memiliki hak untuk hidup dan bertahan hidup. Begitu juga untuk janin yang belum dilahirkan.

Hukum positif Indonesia telah mempertimbangkan tentang penderitaan dan trauma yang dialami oleh korban perkosaan. Yakni dari pasal 346 sampai dengan pasal 348 KUHP. Yang juga dipertegas dalam pasal 75 ayat (1) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Begitu pula pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang menyatakan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Dengan pertimbangan bahwa tindakan aborsi memiliki risiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan seorang wanita, dan dapat menyebabkan penyakit kelamin, kanker dan kematian, juga bagi janinnya, menyebabkan negara melarang praktek aborsi.

Tetapi, terdapat pengecualian terhadap kondisi tertentu pada pasal 75 ayat (2) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan juga pada pasal 31 Peraturan Pemerintah nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi.

Mengacu pada pasal 75 ayat (3) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, tindakan aborsi dapat dilakukan setelah melalui konseling pra dan pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Selanjutnya, pada pasal 76 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, tindakan aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan berusia enam bulan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dan penyedia layanan kesehatan yang tersertifikasi oleh menteri kesehatan.

Jika itu adalah korban perkosaan, maka pada pasal 34 sampai dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, disebutkan bahwa harus ada keterangan penyidik, psikolog, atau ahli. Sebab harus melihat sisi kedaruratan medis dan trauma yang dialami korban.

Sehingga, alasan pembenar dalam tindakan aborsi harus diikuti dengan syarat-syarat lainnya, yang juga sangat ketat, dan selalu berlandaskan pada keselamatan nyawa ibu dan janin.

Kondisi ini terjadi pada kasus incest yang dialami WA (16) pada tahun 2018 lalu. Pengadilan Negeri Muara Bulian yang memutuskan WA bersalah dan divonis enam bulan penjara karena telah melakukan aborsi. Selanjutnya, setelah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi, WA pun dinyatakan bebas dari tuntutan.

Tetapi, yang patut dan harus disadari, bahwa tindakan aborsi adalah juga upaya untuk menghilangkan nyawa seseorang; yang bisa terjadi pada ibu atau janinnya. Dengan melihat resiko yang tinggi terhadap keselamatan, maka butuh pertimbangan : antara pikiran dan perasaan, norma agama dan sosial, dan hukum yang berlaku.*

avatar

Redaksi