Mencermati “Gender Gap” Pada Budaya Kerja Di Jepang

Ekonomi & Bisnis

December 27, 2023

Zachary Jonah

(: hrprofessionalsmagazine)

KETIKA perempuan disibukkan dengan urusan rumah dan mengasuh anak, maka gender gap dalam budaya kerja di Jepang pun terbentuk. Sebab semakin banyak laki-laki yang bekerja berjam-jam untuk mendapatkan gaji, bonus dan promosi yang lebih tinggi.

Akibatnya, terjadilah kesenjangan upah. Dimana upah dibuat berdasarkan gender.

Ini tentunya tidak terlepas dari budaya kerja di perusahaan di Jepang yang sangat menghargai “pekerja yang loyal”. Yakni pekerja yang mampu melakukan pekerjaan dengan jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel. Namun, tentunya dengan mendapatkan upah yang lebih.

Persoalan ini menjadi hambatan serius bagi perempuan untuk mendobrak batasan tersebut. Sebab, berbeda dengan perempuan, laki-laki tidak terbebani dengan tanggung jawab urusan rumah tangga.

Mengutip nikkei, Claudia Goldin, seorang profesor Universitas Harvard yang memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 2023, melihat bahwa keserakahan dalam bekerja adalah penyebab utama terjadinya kesenjangan upah antar gender di Jepang.

“Karyawan yang bersedia bekerja pada hari libur dan malam hari serta siap dipanggil dalam keadaan darurat cenderung menghasilkan jumlah uang yang tidak proporsional. Para pekerja itu cenderung laki-laki, karena perempuan seringkali sibuk mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya, sehingga semakin memperlebar kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan,” katanya.

Menurut survei Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi pada tahun 2022, di antara karyawan tetap yang bekerja 40 jam atau lebih dalam seminggu, jumlah laki-laki yang bekerja lebih dari 50 jam lebih tinggi dibandingkan perempuan di segala usia. Kesenjangan ini dua kali lebih besar bagi pekerja berusia akhir 30-an hingga 40-an tahun, ketika banyak dari mereka menjadi manajer.

Banyak pekerja di Jepang yang tidak mempunyai hak untuk berbicara mengenai hal-hal seperti lembur, mutasi, penugasan kerja, dan gelar.

“Di Jepang, karyawan mematuhi permintaan perusahaan untuk lembur dan upaya lain sebagai imbalan atas keamanan kerja,” kata Hidehiro Okumoto, kepala Recruit Works Institute.

Perempuan, katanya, seringkali tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut karena mereka harus mengasuh anak, sebuah faktor di balik kesenjangan upah berdasarkan gender.

Menurut survei dari Universitas Chuo pada tahun 2017, persentase laki-laki yang saat ini melakukan mutasi kerja lebih tinggi dibandingkan perempuan di semua kelompok umur, dengan kesenjangan gender mencapai 200 persen pada mereka yang berusia 35 tahun ke atas.

Peralihan pekerjaan tampaknya memegang kunci promosi; dimana karyawan yang berpindah antar perusahaan mendapat posisi yang lebih tinggi di banyak perusahaan.

Pengalaman bekerja di lokasi yang berbeda dianggap sebagai bagian integral dari pengembangan bakat. Namun perempuan sering kali tidak dapat pindah jika mereka memiliki anak yang harus diasuh.

Meskipun beberapa pria mengesampingkan cita-cita kariernya demi memenuhi tanggung jawab keluarga. Tetapi kasus seperti ini masih jarang terjadi.

“Penting untuk mempertimbangkan cara-cara yang berbeda dalam membina sumber daya manusia selain melalui peralihan pekerjaan,” kata Okumoto.

Kesenjangan gender lebih menonjol pada pekerjaan dengan gaji lebih tinggi.

Penelitian seorang profesor dari Universitas Meiji, Hiromi Hara pada tahun 2021 menemukan diantara 10 persen pekerja penuh waktu dengan bayaran tertinggi, laki-laki memperoleh penghasilan 30 persen lebih banyak dibandingkan perempuan.

“Hasil penelitian ini menunjukkan banyak perempuan berjuang untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi,” kata Hara.

Secara keseluruhan, Jepang memiliki kesenjangan upah berdasarkan gender lebih dari 20 persen, atau hampir dua kali lipat dari rata-rata negara maju. Demikian menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.

Tetapi, sepertinya telah muncul tanda-tanda perubahan. Mulai tahun depan, Tokio Marine & Nichido Fire Insurance tidak lagi membagi karyawan menjadi dua kelompok; yakni calon mutasi pekerjaan dan pekerja di lokasi tetap.

Langkah ini dirancang untuk meningkatkan gaji bagi kelompok terakhir, yang sebagian besar adalah perempuan. Perusahaan berencana untuk mengakhiri transfer nonkonsensual pada awal tahun fiskal 2026.

Goldin mengatakan, dimasa yang akan datang, Jepang tentunya dapat berbuat lebih banyak untuk membuat struktur kerja lebih fleksibel dan membantu pekerja mendapatkan evaluasi berbasis kinerja yang lebih baik.*

avatar

Redaksi