Jugun Ianfu; Bunga Yang Layu Ketika Matahari Terbit
Hak Asasi Manusia
July 11, 2024
Jon Afrizal
Pyeonghwaui Sonyeosang (: comfort woman statue) di depan Pusat Asosiasi Kebudayaan Korea, di Toronto, Kanada. (credits: nowtoronto)
CATATAN Pramoedya Ananta Toer tentang penderitaan gadis-gadis Indonesia yang menjadi korban kekejaman balatentara Jepang pada masa Perang Dunia Kedua diberi judul Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer. Beberapa menyebut para penyintas itu dengan terminologi Jugun Ianfu (: comfort woman).
Secara ringkas, pemerintahan pendudukan balatentara Dai Nippon di Jawa pada tahun 1943 telah mengeluarkan instruksi kepada para remaja perempuan untuk melanjutkan sekolah di Tokyo dan Shonanto. Instruksi ini tidak pernah diumumkan secara resmi, dan tidak pernah masuk dalam Osamu Serei (Lembaran Negara).
Berkemungkinan, Jepang sengaja melakukannya untuk menghilangkan jejak. Sebab, apapun alasannya, ini adalah tindak kejahatan.
Dan kenyataan, para perawan remaja yang telah diberangkatkan meninggalkan kampung halaman dan keluarga, bukanlah untuk bersekolah. Faktanya, mereka ditempatkan di comfort station, dan dipaksa oleh serdadu Jepang untuk menjadi Jugun Ianfu.
Mengutip ianfu, Profesor Su Jiliang menyimpulkan bahwa selama periode tujuh tahun dari 1938 hingga 1945, comfort woman di wilayah-wilayah yang diduduki Jepang berjumlah 360.000 hingga 410.000 orang. Tiongkok merupakan kelompok terbesar, yakni sekitar 200.000 orang.
Korespondensi militer Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menunjukkan bahwa tujuan memfasilitasi comfort station adalah untuk mencegah kejahatan pemerkosaan yang dilakukan oleh personel tentara Jepang. Dan juga untuk mencegah munculnya permusuhan di antara masyarakat di wilayah pendudukan.
Carmen Argibay, mantan anggota Mahkamah Agung Argentina, juga menyatakan bahwa pemerintah Jepang bertujuan untuk mencegah kekejaman seperti pemerkosaan di Nanking dengan membatasi pemerkosaan dan pelecehan seksual di dalam fasilitas yang dikontrol militer, atau menghentikan bocornya insiden tersebut ke pers internasional, seandainya kejadian seperti itu terjadi.
Ia juga menyatakan bahwa pemerintah Jepang ingin meminimalkan biaya pengobatan untuk mengobati penyakit kelamin yang didapat para prajurit akibat pemerkosaan yang sering dan meluas, yang menghambat kapasitas militer Jepang.
Selain itu, rumah bordil lokal yang berada di luar jangkauan militer mempunyai masalah keamanan karena berkemungkinan adanya mata-mata yang menyamar sebagai pekerja di fasilitas swasta itu.
Dikarenakan prostitusi di negeri Jepang terorganisir dengan baik, maka pemerintah dan militer Jepang pun mengembangkan program serupa bagi balatentara Dai Nippon. Caranya adalah dengan membangun banyak comfort station di wilayah-wilayah pendudukan Jepang.
Mengutip awf, terdapat sekitar 40 comfort station yang berada di wilayah Indonesia. Meskipun, jumlahnya berkemungkinan lebih banyak lagi.
Seperti di utara Belawan, Batavia, Semarang, Muntilan, Surabaya, dan Makasar. Tetapi, perempuan penghuninya tidak melulu berasal dari wilayah Indonesia. Melainkan dari banyak wilayah pendudukan Jepang lainnya.
Pembangunan comfort station ini, dengan dalih untuk mencegah penyakit kelamin dan pemerkosaan oleh tentara Jepang, juga untuk memberikan kenyamanan kepada tentara dan mencegah spionase.
Namun, menurut sejarawan Jepang Yoshiaki Yoshimi, comfort station tidak memecahkan masalah, melainkan memperburuk kondisi.
“Tentara Kekaisaran Jepang paling khawatir bahwa ketidakpuasan yang membara di antara para prajurit, yang dapat meledak dengan bentuk kerusuhan dan pemberontakan. Itulah sebabnya mereka menyediakan comfort waman,” katanya, mengutip ianfu.
Comfort station pertama yang didirikan di wilayah pendudukan Jepang, yakni di Shanghai pada tahun 1932. Comfort woman yang ada di sana adalah mantan pekerja seks yang berasal dari Jepang. Mereka telah mengajukan diri “secara sukarela” untuk di tempatkan di comfort station.
Namun, ketika Jepang terus meluaskan ekspansi militer, pihak militer kekurangan “sukarelawan” Jepang, dan meminta penduduk setempat untuk menculik atau memaksa perempuan untuk bertugas di stasiun-stasiun itu. Kenyataannya, banyak perempuan yang menanggapi panggilan untuk bekerja sebagai pekerja pabrik atau perawat, dan ternyata mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang dipaksa menjadi Jugun Ianfu.
“Karena struktur kekuasaan di Indonesia pada saat itu tidak mengizinkan penduduk untuk menentang otoritas atau tetua desa, maka aksi yang sangat mirip dengan pemaksaan mungkin telah terjadi, dan dapat digeneralisasikan bahwa pemaksaan telah terjadi,” kata Profesor Aiko Kurasawa, mengutip awf.
Di wilayah Indonesia, lanjutnya, balatentara Dai Nipon bahkan secara paksa menangkap perempuan atas kemauan mereka sendiri dan mengurung mereka di fasilitas kamp untuk mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang diterapkan pada comfort woman.
Penculikan ini dilaporkan paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat. Kasus-kasus tersebut mencakup perempuan yang diculik dalam perjalanan pulang dari bekerja di kota, atau diculik di rumah ketika orang tuanya sedang keluar bekerja.
Pada tahap awal perang, pihak berwenang Jepang merekrut pelacur melalui cara konvensional. Di daerah perkotaan, periklanan konvensional melalui perantara juga digunakan bersamaan dengan penculikan. Para broker beriklan di surat kabar yang beredar di Jepang dan koloni Jepang di Korea, Taiwan, Manchukuo, dan Tiongkok.
Tetapi, sumber-sumber ini segera menurun drastis, terutama dari Jepang. Lalu, Kementerian Luar Negeri menolak penerbitan visa perjalanan lebih lanjut bagi pekerja seks dari Jepang, karena merasa hal itu mencoreng citra Kekaisaran Jepang.
Selanjutnya, militer beralih mencari wanita penghibur di luar daratan Jepang, sebagian besar berasal dari Korea dan Tiongkok. Sistem prostitusi berlisensi yang ada di Korea memudahkan Jepang merekrut perempuan dalam jumlah besar.
Hank Nelson, profesor emeritus di Divisi Riset Asia Pasifik Universitas Nasional Australia, telah menulis tentang rumah bordil yang dijalankan oleh militer Jepang di Rabaul, di wilayah yang sekarang disebut Papua Nugini selama Perang Dunia II. Ia mengutip dari buku harian Gordon Thomas, seorang tawanan perang di Rabaul.
Thomas menulis bahwa perempuan yang bekerja di rumah bordil “kemungkinan besar melayani 25 hingga 35 laki-laki setiap hari” dan bahwa mereka adalah “korban perdagangan budak”.
Nelson juga mengutip Kentaro Igusa, seorang ahli bedah angkatan laut Jepang yang ditempatkan di Rabaul. Igusa menulis dalam memoarnya bahwa para wanita itu terus berjuang mengatasi infeksi dan ketidaknyamanan yang parah, meskipun mereka “menangis dan memohon bantuan”.
Selama masa-masa pertahanan terakhir pasukan Jepang pada tahun 1944 hingga 1945, para comfort women seringkali dipaksa bunuh diri atau dibunuh. Di Burma, terdapat kasus dimana comfort woman Korea melakukan bunuh diri dengan menelan pil sianida atau dibunuh dengan melemparkan granat tangan ke dalam ruang istirahat mereka.
Untuk mencegah penyakit menular, para comfort woman biasanya disuntik dengan salvarsan oleh perawat Kesehatan Jepang. Tetapi, dalam banyak kasus, comfort woman yang sakit parah ditinggalkan begitu saja hingga meninggal dunia seorang diri.
Pada 12 Mei 2007, jurnalis Taichiro Kajimura mengumumkan penemuan 30 dokumen pemerintah Belanda yang diserahkan ke pengadilan Tokyo sebagai bukti insiden prostitusi massal secara paksa pada tahun 1944 di Magelang.
Pada tahun 2014, Tiongkok mendapatkan hampir 90 dokumen dari arsip Tentara Kwantung mengenai masalah ini. Menurut Tiongkok, dokumen-dokumen tersebut memberikan bukti kuat bahwa militer Jepang memaksa perempuan Asia untuk bekerja di comfort station di frontline perang sebelum dan selama Perang Dunia II.
Berdasarkan penemuan dokumen-dokumen itu dan selanjutnya, banyak media internasional menulis sekitar 200.000 perempuan muda yang diculik oleh tentara Jepang untuk bertugas di rumah bordil militer. BBC menyatakan “200.000 hingga 300.000 orang”, dan Komisi Ahli Hukum Internasional menyatakan “perkiraan sejarawan sebesar 100.000 hingga 200.000 perempuan.”
Profesor Universitas Chuo, Yoshiaki Yoshimi menyatakan terdapat sekitar 2.000 comfort station di mana sebanyak 200.000 perempuan Jepang, Tiongkok, Korea, Filipina, Taiwan, Burma, Indonesia, Belanda, dan Australia diinternir.
“Selama agresi kolonial Jepang menyebabkan banyak penderitaan, terutama kepada orang-orang di Asia. Hal itu terasa sangat disesali dan kami menawarkan permintaan maaf tulus bagi mereka yang menderita,” kata Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe pada Januari 2015, mengutip channelnewsasia.
Pernyataan permintaan maaf ini, sekaligus meruntuhkan penolakan Jepang selama berpuluh-puluh tahun terhadap tuduhan terkait Jugun Ianfu dan comfort station. Sebagai sebuah kejahatan perang, pemerintah Jepang telah mengalokasikan dana sebesar JPY 380 juta untuk kompensasi bagi comfort woman di wilayah Indonesia.*