Woyla: Drama Tiga Hari Pembajakan

Hak Asasi Manusia

July 2, 2024

Jon Afrizal

Garuda Indonesia Penerbangan 206, pesawat DC-9 Woyla (PK-GNJ). (credits: aircrashdaily)

Pesawat DC-9 Woyla (PK-GNJ) dengan nomor penerbangan nomor 206 yang dibajak di udara oleh kelompok “Komando Jihad”. Pilot pesawat dan satu anggota Kopasandha tewas dalam peristiwa ini. Juga lima orang pembajak.

“BEING hijacked, being hijacked”. Pada pukul 10.18 WIB tanggal 28 Maret 1981, Captain Pilot A. Sapari dengan pesawat F28 Garuda baru saja tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekanbaru. Ia mendengar panggilan radio dari GA 206.

Garuda Indonesia Penerbangan 206, pesawat DC-9 Woyla (PK-GNJ), telah dibajak oleh lima teroris. Tindakan pembajakan ini membahayakan nyawa penumpang dan awak kapal. Serta, menandai momen kelam dalam sejarah industri penerbangan di Indonesia.

Hari itu, Sabtu, pukul 08.00 WIB Garuda Indonesia Airlines Penerbangan GA 206 yang dioperasikan oleh Pesawat McDonnell Douglas DC-9 yang bertuliskan “Woyla” di bagian paruh depannya, memulai penerbangan dari Bandara Internasional Kemayoran menuju Medan. Pilot pesawat ini adalah Captain Herman Rante, dan kopilot Hedhy Djuantoro.

Penerbangan ini singgah di Bandara Talangbetutu, Palembang. Diperkirakan GA 206 akan mencapai tujuan akhir: Bandara Polonia Medan, pada pukul 10.55 WIB.

Pesawat ini berisi sebanyak 48 penumpang dan lima crew. Pesawat itu diterbangkan oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.

Di tengah penerbangan dari Talangbetutu menuju Polonia, dua penumpang pesawat Woyla bangkit dari tempat duduknya. Satu orang menuju kokpit dan satu orang lagi berdiri di lorong.

“Jangan Bergerak, pesawat kami bajak,” kata seseorang sambil mengacungkan pistol kepada pilot.

Pria yang mengacungkan pistol itu menggunakan bahasa Indonesia.

Pada pukul 10:10 WIB, pesawat sepenuhnya berada di bawah kendali lima pembajak bersenjata. Mereka, kemudian diketahui sebagai kelompok Komando Jihad. Di atas udara, setelah melawati Pekanbaru.

“Terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia,” kata Mahrizal, seorang pembajak.

Mahrizal, selanjutnya diketahui adalah pemimpin dari aksi pembajakan itu.  

Pembajak di kokpit memaksa pilot Captain Herman Rante untuk terbang ke Kolombo, Sri Lanka. Namun pilot menyatakan bahan bakar tidak mencukupi untuk perjalanan itu.

Pesawat kemudian dialihkan ke Penang, Malaysia.

Pemimpin mereka, diketahui, adalah Imran bin Muhammad Zein. Belakangan, setelah aksi hijacking ini, ia diadili dan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 28 Maret 1983.

Rencana para pembajak terlihat sangat serampangan, sejak awal. Bahkan, dua orang sandera, berhasil kabur dari cabin pada Minggu.

Woyla yang dibajak mendapatkan bantuan pengisian fuel dan logistik di Bandara Internasional Pulau Pinang di Bayan Lepas, Malaysia. Seorang penumpang wanita berusia lanjut diizinkan untuk turun di Malaysia.

Pesawat DC-9 PK-GNJ ini terbang menuju Don Muang, Thailand.

Para pembajak pun mulai mengeluarkan tuntutan mereka: pembebasan 80 anggota Komando  Jihad yang ditahan oleh pihak berwajib pemerintah Indonesia. Selain itu, mereka juga meminta tebusan sebesar USD 1,5 juta.

Mereka juga meminta sebuah pesawat disiapkan untuk para tahanan yang dibebaskan. Untuk selanjutnya diterbangkan lokasi yang belum disebutkan nama tempatnya.

Dan, berkemungkinan, para pembajak telah memasang bahan peledak di pesawat.

Kenyataanya, dua pucuk senjata jenis Glock 18C yang mereka gunakan ketika membajak pesawat, adalah hasil curian dari kantor polisi Cicendo. Pada 11 Maret 1981 kelompok ini, atau biasa disebut Jamaah Imran, telah menyerang kantor polisi Cicendo.

Kelompok ini cukup membuat keresahan di Jawa Barat. Pada periode 1977 hingga 1981, mereka melakukan banyak penggerebekan, termasuk terhadap kantor polisi dan pangkalan militer.

Terdapat dugaan pesawat tersebut pada akhirnya akan diterbangkan ke negara Timur Tengah, berkemungkinan adalah Libya. Dan fakta bahwa pesawat tersebut telah meninggalkan Malaysia semakin menambah kekhawatirannya.

Benny Moerdani, dalam buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis, menyatakan, Dubes Amerika Serikat Edward Masters menelponnya pada Minggu pagi. Edward mengkhawatirkan akan keselamatan warga Amerika berada di GA 206, jika opsi militer dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

“I am sorry sir, but this is entirely an Indonesian problem. It is an Indonesian aircraft,” kata Benny, waktu itu.

Benny menegaskan Indonesia berhak mengambil segala langkah dalam meringkus pembajak. Dan, tentunya tidak perlu izin dari negara lain.

“We don’t guarantee anything,” kata Benny, di ujung pesawat telephone.

Benny Moerdani, sewaktu itu menjabat sebagai Kepala Pusat Intelijen Strategis Benny Moerdani. Pada Sabtu malam, diketahui Benny Moerdani berada di Cendana, kediaman Presiden Soeharto. Dan opsi militer akan dilakukan untuk membebaskan Woyla.

Ia langsung menghubungi Asrama Kopasandha (: sekarang Kopassus). Asisten Operasi Kopasandha, LetKol Sintong Panjaitan diperintahkan untuk menyiapkan pasukan.

Pemerintah Thailand, awalnya ragu untuk menyetujui opsi militer. Sebagai negar berdaulat, tentu asing bagi mereka untuk memberikan pasukan dari negar lain beroperasi di wilayah hukumnya.

Selain itu, Thailand juga berharap agar perundingan damai dapat dilakukan dengan para pembajak. Seperti pada Black September 1972, dimana Kedubes Israel di Bangkok berhasil dibebaskan dengan damai.

Namun, mengingat pemerintah Indonesia adalah pemilik pesawat Woyla, dan semua pembajaknya adalah warga negara Indonesia, tapi dari kelompok garis keras, maka pemerintah Thailand pun menyetujuinya.

Sementara itu, Woyla telah mendarat di Bandara Don Muang, Thailand, pada Sabtu malam pukul 17.02 waktu setempat.

Minggu malam, pemerintah Thailand memberikan clearance bahwa Indonesia diizinkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput sandera. Pasukan anti teror diterbangkan dari Jakarta, dengan menggunakan pesawat McDonnell Douglas DC-10 milik Garuda Indonesia. Sepintas, psawat ini mirip dengan Woyla.

Pada tanggal 31 Maret, pukul 02.30 waktu setempat, mengutip special-ops, tiga tim anti teror; merah, hijau dan biru, menyeruak mendekati Woyla yang sedang parkir di bandara. Benny Moerdani, di luar skenario, berada di antara pasukan Baret Merah itu.

Resimen Pasukan Keamanan Angkatan Udara Thailand (SFR), yang membantu proses pembebasan Woyla, diposisikan berada di landasan pacu. Untuk mengantisipasi jika pembajak kabur.

Tim biru dan merah harus memanjat sayap dan menunggu di pintu samping. Sementara tim hijau akan menerobos pintu belakang dan masuk secara bersamaan sesuai sandi “masuk”.

Setelah sandi “masuk” diberikan, tim memasuki pesawat. Tim hijau masuk lebih dulu dan menemui pembajak yang waspada. Dalam baku tembak, seorang anggota pasukan khusus tertembak.

Selanjutnya, tim biru dan merah masuk dan membunuh dua pembajak lainnya yang terlihat saat para penumpang merunduk dan menutup mata. Pasukan memerintahkan penumpang keluar cabin. Dan pembajak terakhir tewas di luar pesawat.

Kelima pembajak itu adalah Machrizal, Zulfikar T Johan Mirza, Abdullah Mulyono, Sofyan Effendy dan Wendy Mohammad Zein.

Pada tanggal 31 Maret 1981, secara resmi dinyatakan bahwa Woyla. Tim Kopasandha telah berhasil melaksanakan operasi pembebasan.

Pasukan Kopasandha yang telah melakukan pembebasan pesawat Woyla itu, adalah embrio terbentuknya unit anti teror di Kopassus saat ini. Yakni Sat 81 Gultor.

Kelima pembajak tewas dalam misi itu. Sementara dari pihak Kopasandha, Capa Achmad Kirang, tertembak di bagian perut pada misi itu. Ia meninggal karena luka-lukanya di Rumah Sakit Bhumibol Adulyadej Bangkok pada tanggal 1 April 1981.

Enam hari kemudian, Captain Herman Rante, pilot yang terjebak baku tembak, juga meninggal dunia di Bangkok.

Jenazah Capa Achmad Kirang dan Captain Herman Rante kemudian dibawa ke Jakarta. Keduanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Saat ini, Garuda Indonesia tetap mengoperasikan nomor penerbangan 206. Per Maret 2024 nomor penerbangan ini melayani rute Jakarta – Yogyakarta dengan menggunakan armada Boeing 737-800.*

avatar

Redaksi