Pemberontakan “Ikat Kepala Merah” Di Jambi (2)

Daulat

June 24, 2023

Jon Afrizal

Petikan dari surat kabar Darmo-Kondo tentang Sarikat Abang.

TERDAPAT catatan tentang peristiwa penembakan kontelir Gurkom oleh Haji Bakri di Kerinci pada tahun 1915. Haji Bakri adalah anggota Sarikat Islam.

Pada kenyataannya, ini adalah cikal bakal pemberontakan, yang menurut Snouck Hurgonje, adalah reaksi politik pribumi (: Sarikat Abang) terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang menyusahkan rakyat banyak.

Selanjutnya, Dusun Rantau Kapas Tuo, Tembesi telah menorehkan catatan tentang mereka – anggota Sarikat Abang – yang berunding secara rahasia. Pada hari itu, 20 Agustus 1916, mereka berunding dan menyusun rencana terkait waktu pelaksanaan perang pemberontakan terhadap Belanda.

Seluruh elemen kekuatan yang ada, dari wilayah tengah hingga huluan Djambi bermufakat dan bersepakat. Kombatan yang berasal dari wilayah Sarolangun, Bangko, Muaro Bungo, dan Muaro Tebo, berlatih ilmu perang dan strategi di Sarolangun. Tentu saja secara rahasia, agar tidak terlacak agent Belanda.

Target utama dari pemberontakan Sarekat Abang, adalah menyerang Belanda yang berkedudukan di Muaro Tembesi pada tanggal 26 Agustus 1916. Muaro Tembesi, adalah kunci untuk menguasai daerah lainnya, seperti Muaro Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Sarolangun. Dengan menyerang dan menguasai Muaro Tembesi, maka pasukan Sarekat Abang juga memutus mata rantai kekuasaan pemerintah kolonial Belanda ke daerah-daerah.

Pasukan pemberontak dipimpin oleh Abdul Wahid Sri Maharaja. Ia berasal dari Dusun Muaro Ketalo, Tebo. Mereka menggunakan senjata tradisional yang selama ini akrab dengan keseharian mereka; parang, badik, pedang, keris dan tombak.

Pada waktu itu, Kontelir Robenherst Tinbergen dan Demang Arbain tidak berada di Muaro Tembesi. Serangan tertuju pada pos polisi pemerintah kolonial Belanda; 10 polisi dan satu dokter tewas.

Berbekal senjata pampasan dari pos polisi, pemberontakan terus belanjut. Sehari setelah itu, Demang Arbain yang telah kembali ke Muaro Tembesi, tertembak oleh pasukan pemberontak.

Muaro Tembesi pun diubah menjadi benteng pertahanan pasukan pribumi ini. Mengetahui keberhasilan terjangan pasukan Sarikat Abang di Muaro Tembesi, letupan-letupan pemberontakan lainnya mulai muncul di banyak daerah di Djambi, terutama di huluan.

Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Kota Djambi tidak tinggal diam. Pasukan pun dikirim ke Muaro Tembesi dengan tujuan : menghentikan perlawanan massa Sarikat Abang yang sedang memberontak.

Pertempuran yang besar, dan terjadi selama tiga hari tiga malam. Selain menyerang Muaro Tembesi, pasukan Belanda pun menyerang pertahanan-pertahanan rakyat semesta ini di daerah Sarolangun, Bangko, Muaro Tebo dan Muaro Bungo.

Kombatan terdesak, dan mundur jauh ke daerah pedalaman. Lalu dipilih Lubuk Resam, Cermin nan Gedang sebagai markas persembunyian pasukan. Pasukan dibantu oleh tokoh masyarakat dan ulama setempat, yakni Haji Bakri dan Ali Safar, serta pemuda dari Pauh, Karang Mendapo, Lidung dan Ladang Panjang.

Kembali, massa Sarikat Islam dalam jumlah besar menyerang Belanda yang berkedudukan di Sarolangun. Pasukan rakyat ini berhasil membunuh Kontelir Walter dan beberapa orang polisi serta pegawai pemerintah kolonial Belanda. Belanda kembali membalas serangan dibawah pimpinan Overste Geralch.

Di wilayah yang berbeda, Muaro Tebo, serangan massa Sarikat Abang terjadi pada tanggal 1 dan 2 September 1916. Serangan ini menyasar pada rumah kontelir dan kantor pos. Tercatat, Pasar Muaro Tebo ludes terbakar pada peperangan ini.

Selanjutnya, di wilayah Bangko, tanggal 11 September 1916 adalah waktu yang dipilih untuk menyerang Belanda. Pasukan rakyat dipimpin oleh Manna bin Andun, tokoh yang berasal dari Semurung, Air Hitam. Rumah kontelir dibakar, juga pasar dan beberapa rumah lainnya.

Pemerintah Belanda yang berkedudukan di Kota Djambi, memutuskan untuk memberangus perlawanan kelompok ikat kepala merah ini. Kolonel Kroesen bertugas untuk menumpas para pelaku yang dinyatakan melakukan huru hara ini.

Sama seperti kisah-kisah heroik yang berakhir sedih, pemberontakan massa Sarikat Abang di Keresidenan Djambi dibabat habis oleh penguasa kolonial pada pertengahan Oktober 1916.

Kombatan yang didakwa sebagai dalang pemberontakan pun diadili melalui Pengadilan Rapsi Besar Istimewa di tiap-tiap wilayah (afdeeiling) oleh Kontelir setempat. Kontelir dibantu oleh kepala mergo (marga) dan penasehat agama yang merangkap sebagai juru sumpah yang diambil dari Hakim Mergo. Sedangkan juru tulis kontelir bertindak sebagai panitera pengadilan.

Mereka yang divonis bersalah oleh pengadilan-pengadilan buatan pemerintah kolonial ini, telah dijatuhi hukuman mati sebanyak empat orang, yakni di Muaro Bungo. Satu diantaranya adalah Basyaruddin Krio, tokoh masyarakat dari Air Gemuruh Marga Bathin III.

Sementara tokoh masyarakat yang berasal dari Sarolangun dan Bangko, yang dinyatakan bersalah sesuai pengadilan buatan Belanda itu, adalah; Haji Kuris, Nasar, Malim Bujang, Haji Matsur, Karim, Mungkak, Sahu, Haji Abbas, Jadin, M. Yusuf, Bambang, Haji Makruf, Haji Sena, Datuk Unsin Salim, dan Kepala Kampung Sone.

Mereka harus menjalani hukuman kerja paksa di Nusakambangan, Digul dan Endeh selama lima hingga 10 tahun. Dan, setelah itu, mereka dapat kembali ke Djambi.

Sedangkan yang lainnya, tidak pernah kembali ke Djambi.

Tetapi, hasil dari pemberontakan Sarikat Abang dapat dilihat beberapa tahun setelah itu. Pemerintah kolonial meninjau kembali aturan pajak, dan mengurangi penetapan pajak bagi rakyat Djambi, agar pemberontakan serupa tidak terjadi lagi. Yang dikenal dengan Inlandsche Gemeenteary Donantie pada tahun 1919.

Sedangkan untuk Sarekat Islam sendiri, segala bentuk rapat bagi organisasi ini menjadi sangat dikurangi pada tahun 1919. Dan, H.O.S. Cokroaminoto pun menerapkan garis perjuangan lunak, dengan program kepinteran yang lahir dan kepinteran yang bathin.

Dan cabang-cabang organisasi Sarikat Islam di daerah-daerah itu, seperti Sarolangun dan Surulangun, secara resmi dinyatakan terlarang oleh pemerintah kolonial, dan dibubarkan. *

avatar

Redaksi