Menunggu Gebrakan “Kartel” Karet Alam
Ekonomi & Bisnis
June 3, 2023
Jon Afrizal/Kota Jambi
Pohon karet yang terletak di perbatasan Provinsi Jambi – Sumatera Selatan. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)
“Datuk, mintak izin. Jangan ganggu kami. Kami cuman nyari makan.”
GETAH karet adalah komoditas yang hadir sejak lama di Provinsi Jambi. Sejak era pendudukan Belanda tumbuhan latex ini telah hadir di sini, dan menjadi perkebunan rakyat.
Penggalan kalimat pembuka di artikel ini adalah cara yang digunakan oleh petani atau buruh perkebunan karet. Dikarenakan pohon karet berbentuk sama seperti pohon-pohon di hutan pada umumnya, yakni rimbun dan menjulang tinggi, dan dipenuhi semak belukar di sekitarnya. Maka, besar kemungkinan harimau Sumatera (panthera tigris) pun sering berada di sana.
Untuk menghindari gangguan Sang Datuk Belang, ketika berkerja menakik (deres) getah, maka warga dusun pun harus meminta izin ke penguasa hutan rimba itu.
Warga Jambi menyebut para untuk pohon karet (hevea bransiliensis), dan geta para untuk lateks. Tumbuhan ini aslinya berasal dari Amerika Selatan. Sebagai tanaman eksotik, maka daya tahannya tentu tidak sama dengan pohon jelutung (dyera costulata), misalnya, yang juga mengeluarkan getah. Sebab, jelutung adalah tanaman endemik di pulau Sumatera.
Tapi, harga getah karet saat ini tidak lagi menjanjikan. Dengan harga Rp 7.000 per kilogram di tingkat petani, dan Rp 9.000 per kilogram di tingkat pabrik, tentu saja kesejahteraan berada jauh dari petani karet.
Saat ini, karena nilai ekonomis itu, luasan kebun karet terus berkurang. Menurut Kadis Perkebunan Provinsi Jambi, Agus Rizal, luas kebun karet di Provinsi Jambi hanya 671.000 hektare pada tahun 2023. Dan, karena alasan ekonomis pula, katanya, sekitar 2.000 hektare kebun karet beralih menjadi kebun sawit.
“Keputusan ini adalah pertimbangan ekonomis para petani karet,” katanya.
Seorang mandor yang berada di perkebunan karet di Jambi sekitar tahun 1900. (photo courtesy : Universitet Leiden)
Dalam kasanah Melayu Jambi, terdapat kosa kata toke karet. Yakni orang yang memiliki kebun karet yang luas, dan banyak mempekerjakan warga.
Setiap hari tertentu dalam satu pekan, getah-getah karet akan dibawa ke pabrik dengan menggunakan kendaraan roda empat dengan bak belakang yang terbuka. Di sepanjang jalan menuju ke pabrik, getah-getah yang berbentuk persegi panjang itu selalu memeneteskan air dan menebarkan bau yang khas.
“Ambeklah duwetnyo. Biak bauknyo be dapat di kami.” (Ambil saja uangnya untuk anda. Tidak masalah baunya saja yang kami cium – red.) Begitu kira-kira seloroh warga yang mencium bau khas dari getah karet di sepanjang jalan.
Dengan memperkiraan produksi rakyat akan mencapi 2,5 ton per hektare per tahun, maka pemerintah melakukan replanting tanaman karet lama sejak 10 tahun lalu. Dengan tujuan pohon karet yang baru sudah dapat menghasilkan getah pada usia 4,5 tahun.
Tapi kebijakan ini tidak dapat mendongkrak keinginan petani untuk tetap berkebun karet. Tentu saja, dengan alasan ekonomis tadi.
Menurut catatan ditjenbun.pertanian.go.id, produksi karet Provinsi Jambi pernah mencapai 315,7 ribu ton pada tahun 2018. Dengan luasan 378,7 ribu hektare, yang berada di Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Tebo, Merangin dan Sarolangun, getah karet asal Provinsi Jambi diekspor ke 20 negara. Seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Bahkan, Rubber Remiling Company (Remco) cabang Jambi yang pabriknya berada di wilayah Tanjung Johor, Kota Jambi telah mengekspor getah karet jenis SIR-20 atau TSNR-20. Dengan volume sebesar 2.782,5 ton atau senilai US $ 3,91 juta.
Berdasarkan kemenperin.go.id, terdapat tiga perusahaan yang kini bergerak di perkebunan karet di Provinsi Jambi. Yakni Jambi Wood Industry, Lestari Utama Karya, dan PTP Nusantara VI Kebun Batanghari.
Secara bisnis, getah karet masih menguntungkan. Terlebih, dengan adanya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 Asean di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) awal Mei 2023 lalu.
Satu agenda yang menjadi pembicaraan serius di KTT Asean ini adalah supply restriction (pengendalian pasokan) dan price fixing (harga) karet alam global. Tentu saja, Indonesia adalah negaranya yang menginisiasinya. Sebab Indonesia adalah satu dari lima negara produsen karet alam global, selain, Thailand, Malaysia, India dan China.
Kepentingan Indonesia adalah karena Indonesia memproduksi sekitar 2,821 juta ton karet alam, dari total 12,6 juta ton produksi karet alam global. Sebab, harga karet global pernah mencapai angka US $ 4,82 atau setara dengan Rp 72.936 per kilogram pada tahun 2011. Tetapi kemudian mencapai titik terendah pada Oktober 22 lalu, yakni menjadi US $ 1,17 atau setara dengan Rp17.704 per kilogram.
Terkait persoalan ekspor getah karet, menurut ircorubber.com, International Tripartite Rubber Council (ITRC) telah dibentuk di Bali pada tahun 2001 lalu. Dimana, Indonesia menjadi anggotanya. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk memastikan produksi karet alam yang berkelanjutan serta menerapkan mekanisme dalam mencapai harga karet alam yang remuneratif dan adil untuk kesejahteraan petani karet alam.
Pada KTT Asean di Labuan Bajo itu, anggota ITRC telah menyetujui organisasi ini untuk bertransformasi menjadi kartel karet alam. Sehingga, peran ITRC pun sama seperti Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dalam mengendalikan produksi minyak bumi dunia.
Sebuah terobosan baru, mengingat negara-negara Asean menguasai 80 persen dari produk karet alam. Dan, kini, kita semua menunggu gebrakannya.*