Sistem “Induk Semang” Pada Petani Karet Jambi

Ekonomi & Bisnis

May 19, 2023

Fachruddin Saudagar*

Gedung Serikat Karet di Jambi, 1910. (photo courtesy : Universitet Leiden)

SISTEM “Induk Semang” adalah suatu sistem bisnis tradisional dalam masyarakat petani karet di pedalaman Jambi. Sistem ini sebenarnya merupakan perpaduan antara budaya (adat) kepemimpinan tradisional dengan dunia bisnis khususnya komoditi karet rakyat.

Awalnya pada waktu masih berlaku hukum dagang secara barter terdapat suatu bentuk pasar yang dikenal dengan nama Pasar Pukul Banir. Pasar ini berkembang antara 2 kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaan yakni kelompok masyarakat yang hidup mengembara dalam hutan (Suku Kubu) dan kelompok masyarakat yang telah hidup berdusun.

Pasar ini dikelola oleh pimpinan tradisional yakni jenang. Jenanglah yang menghubungkan dan mengatur masyarakat yang akan tukar menukar barang kebutuhan. Pada awal abad 20 M setelah kehadiran Pemerintah Hindia Belanda dan jenang di ganti dengan demang maka peran jenang mulai menonjol sebagai pedagang pengumpul yang di sebut Induk Semang atau Bapak Semang atau toke dusun.

Munculnya induk semang dalam dunia bisnis getah karet di pedalaman Jambi tidak terlepas dari kondisi lingkungan, budaya, dan kebutuhan petani karet itu sendiri. Seorang petani karet dalam kondisi tertentu dapat saja berubah peran menjadi induk semang atau toke di dusunnya. Kemunculan induk semang baru di lingkungan petani karet tergambar sebagai berikut.

Manakala seorang petani memiliki kebun karet antara 4-7 bidang siap sadap, maka dirinya dan keluarganya tidak akan mampu lagi memungut hasil dengan baik. Untuk itu maka ia akan mencari tenaga kerja dari kerabat dekat atau orang lain dengan pola bagi hasil. Tenaga kerja penyadap pohon karet seperti ini disebut anak buah.

Dalam model bisnis induk semang maka antara toke dengan anak buah terdapat aturan yang tidak tersurat tapi tersirat yang saling mengikat antara kedua belah pihak.

Yakni, masa berlaku saling ketergantungan dalam ikatan bisnis (kontrak kerja) tidak di tentukan tetapi tergantung dengan kebutuhan induk semang. Lalau, segala peralatan dan perlengkapan kerja menjadi beban induk semang.

Kemudian, pengadaan barang kebutuhan sehari-hari (konsumsi) anak buah dan keluarganya menjadi tanggung jawab induk semang dengan cara di hutangkan dan di bayar pada waktu jual beli hasil, dan selanjutnya, oleh karena itu seorang induk semang akan berperilaku sebagai pedagang pengumpul (toke dusun) yang menampung dan membeli barang anak buahnya dan juga sebagai pedagang kelontong yang menyediakan beras, gula, garam, minyak, rokok, tembakau, bagi kebutuhan anak buahnya.

Dari sisi induk semang, bila di ketahui ada anak buahnya berperilaku curang seperti menjual getah karet pada toke lain, berhutang pada toke lain, kurang semangat bekerja, dll, maka induk semang telah cukup alasan untuk memberhentikannya. Dari banyak kasus di lapangan ternyata seorang anak buah akan sangat sulit untuk keluar dari ikatan kontrak dengan induk semang karena berbagai alasan.

Seperti, kondisi sosial ekonomi anak buah yang lemah seperti tidak memiliki pekerjaan tetap, tidak memiliki kebun karet siap sadap, dll, telah mendorong ketergantungan anak buah pada induk semangnya. Atau, hutang anak buah pada induk semang secara psikologis sangat mengikat ketergantungan dengan induk semang. Boleh jadi, bagi anak buah yang keluar dari ikatan kerja dengan induk semang karena alasan curang (tidak jujur) maka sangat sulit baginya mencari induk semang baru.*

* Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi alm. Fachruddin Saudagar. Dan kami terbitkan kembali, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap sejarah, budaya dan tradisi Jambi. (Redaksi)

avatar

Redaksi