Lahirnya Mitos Dalam Perjalanan Sejarah

Budaya & Seni

May 14, 2023

Aulia Tasman

SESUAI dengan tuntutan sejarah bangsa kita pada zaman dahulu, setiap daerah pada waktu itu merupakan negara-negara berdaulat yang satu sama lain terpisah secara keseluruhan. Kenyataan menunjukkan kala itu banyak kerajaan kecil di nusantara yang militernya sangat lemah, walaupun dalam bidang diplomasi termasuk yang terpandang.

Namun suatu keharusan tak pernah terhindari, yakni diplomasi hanya dapat berkembang dengan baik bila mendapat dukungan yang menyakinkan dari kekuatan militer secara riil. Demikianlah, ketika suatu ekspedisi dari suatu kerajaan memasuki suatu negara, para menguasa negara yang lemah militernya terpaksa mengambil beberapa jalan kompromi demi keselamatan negara mereka sendiri.

Khusus untuk daerah Jambi, karena ketidakmampuan menjelaskan kenapa pasukan mereka tidak mampu mengalahkan Tiang Bungkuk, misalnya, maka dicari alternatif pembenaran bahwa Tiang Bungkuk perlu dihukum karena tidak patuh kepada raja, pada hal beliau membela mati-matian wilayah Kerinci dan Merangin pada waktu itu agar tidak dijajah oleh negara lain dan kesejahteraan masyarakatnya dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

Maka dibuatlah mitos bahwa seolah-olah Tummenggung Kabul Dibukit adalah orang yang sangat kuat dan dianggap mampu memenangkan perang dengan Kerinci dan menangkap Tiang Bungkuk. Padahal untuk menangkap beliau, Tummenggung menggunakan akal busuk yang tidak sportif yaitu dengan mengajak berunding mencari keputusan yang sama-sama menguntungkan.

Mungkinkah seorang panglima perang mampu dibujuk hanya memakai baju keramat kemudian ketika beliau memakai baju tersebut dan ketika itulah beliau ditangkap dan diikat tanpa menghargai sedikitpun dari sisi kemanusiaan walau tindakan brutal yang dilakukan oleh tentara kerajaan Tanah Pilih mengazab, menghina, dan memperlakukan beliau dengan tidak wajar.

Inilah proses hayalan untuk mencari pembenaran agar tindakan biadab tersebut dapat dimaafkan. Pada saat itu harus ada yang dikorbankan dan harus ada pula yang disanjung secara berlebihan, padahal tindakan apa saja yang dilakukan oleh tentara yang sudah mengakui Islam sebagai dasar negara Adat bersendi syarak-syarak bersendi kitabullah pasti tindakan itu dikukuk oleh Allah Swt.

Padahal dalam ajaran Islam diwajibkan kepada setiap penduduk untuk membela negaranya, malah diimbali syahidlah hukumnya kalau mereka mati di medan perang demi membela negara. Lain halnya pendekat Tiang Bungkuk dianggap orang yang sehina-hinanya sewaktu beliau mati-matian membela kepentingan negaranya.

Mitos timbul disini, Tumenggung Kabul Dibukit seolah-olah disanjung dengan segala kekeramatannya sehingga sepantasnya diberi penghargaan memimpin wilayah Pucuk Jambi Sebilan Lareh berkedudukan di Muaro Masumai.

Demikan pula halnya mitos pada kerajaan Minangkabau, karena ketidakmampuan menghalangi tentara kerajaan Majapahit yang datang ke daerah mereka, maka dibuatlah suatu kemupakatan mengambil pimpinan tertinggi ekspedisi itu sebagai urang sumando.

Kebijakan ini nampaknya berahasil melindungi adat-istiadat Minangkabau dan kelangsungan hidupnya. Maka duduklah urang sumando sebagai raja yang tidak mempunyai taji, alias raja perlambang. (lihat Rainur Gani, 2001. Menelusuri Sejarah Minangkabau, hal 156).

Diduga, ketika itulah digariskan prinsip: kamanakan saparentah mamak dan posisi urang sumando di rumah istrinya: bak abu di ateh tungku, bisa dibuang dan terbang kapan saja dihembus angin.

Maksudnya sebagai pendatang baru urang sumando tidak dibemanrkan mencampuri secara langsung internal kaum istrinya.


Karena malu raja Minangkabau dikawinkan oleh orang lain daerah (ingat kondisi adat waktu itu, bukan sekarang) maka ketika itu unsur mitos mulai muncul, bahwa nyiur kelapa gading yang dikawal oleh bermacam binatang berbisa, hanya Bujang Salamiak (Adityawarman) lah yang mampu memanjatnya.

Ini bermakna perkawinan Bundo Kanduang dengan sang Pangeran pastilah melalui proses yang tidak gampang. Setelah meminum air kelapa gading itu maka hamillah Bundo Kanduang dan melahirkan Dang Tuanku.

Namun setelah sepantasnya diangkat menjadi raja, ternyata pribadi Dang Tuanku begitu lemahnya sehingga dengan mudah Rajo Imbang Jayo dapat menggantikan kedudukannya sebagai bakal suami Puti Bungsu. Tentulah kurang wajar, bila Rajo Mudo di ranah Sungai Ngiang dengan begitu saja manyiliah (membuang) Dang Tuanku kalau tidak ada alasan-asalan psikologis. Alasan psikologis itulah yang menyebabkan eksistensi kerajaan Pagarruyung tidak berurat-berakat, alam sanubari rakyat Minangkabau (lihat Rizanur Gani – 2001, hal. 160).

Penyebab lain dari kelahiran mitos Dang Tuangku ialah mengkamuflase kondisi tungkek mambawo rabah (tongkat membawa rebah) yang telah menjadi kenyataan.

Kenyataan itu adalah seorang Ratu Minangkabau kawin dengan bukan orang Minangkabau sendiri. Dalam dalam ini sekali perlu diingat jangan memandang problema tersebut dengan kacamata sekarang, tapi ruang dan waktu peristiwa itu terjadi.  Agar kegelisahan rakyat awam dapat ditenangkan, selaras dengan kebijakan, maka dianggap perlu untuk mematangkan kondisi kelahiran mitos Dang Tuantu.

Di sini  terletak jasa si pencipta mitos tersebut, sehingga rakyat dapat diyakinkan bahwa raja kita bukan raja sembarangan raja, tetapi raja keramat yang hanya meminum nyiur gading yang dipanjatkan Bujang Salamaik baginda dikaruniai oleh yang maka kuasa seorang cita kerajaan.

Di sinilah tercapai tujuan politis demi menjaga nama baik kerajaan Pagarruyung dalam mata rakyat Minangkabau yang sangat kritis. Sehingga Cindur Mato yang sebenarnya penyelamat kerajaan cukup puas hanya sebagai bangsawan walaupun dia memiliki kelebihan dibandingkan dengan rajo mudo Dang Tuanku.

Disamping itu banyak pula ahli sejarah mengatakan bahwa masuknya unsur mitos dan legenda dalam perjalanan sejarah suatu bangsa diakibatkan ketidakmampuan untuk mengalahkan bangsa penjajah sehingga diperlukan suatu nuansa yang lebih menghibur masyarakatnya bahwa di daerah itu ada tokoh-tokoh yang punya kekuatan supranatural yang bisa membuat sesuatu diluar nalar logika.

Padahal dalam kenyataan tidak pernah terjadi, seperti contoh bahwa semasa Dang Tuanku lah kerajaan-kerajaan kecil yang dulunya terlingkup dalam kerajaan Melayupura dibawah pimpinan orangtuanya Adityawarman berjaya, namun semasa pemerintahannya banyak daerah yang melepaskan diri dari kerajaan induk. Itulah satu tanda, bahwa raja yang diagungkan melalui mitos tidak banyak berbuat dalam kenyataan yang sebenarnya.

Kalau dipelajari secara detail, banyak tokoh-tokoh mitos dalam perjalanan sejarah daerah-daerah lain mempunyai pola yang sama, yaitu membuat si tokoh mempunyai banyak kelebihan, dikeramatkan, dan diberi buaian janji dari si pembuat mitos bahwa kalau sesudah tokoh ini meninggal dunia maka harus dikeramatkan dan dapat pula menolong anak-anak cucunya supaya mendapat kekuatan supranatural yang sama bahkan melebihi sang tokoh.*

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi alm. Aulia Tasman. Dan kami terbit kembali , sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap sejarah, budaya dan tradisi Jambi. (Redaksi)

avatar

Redaksi