Bebas Deforestasi; Saatnya Indonesia Menyikapi Uni Eropa

Lingkungan & Krisis Iklim

June 9, 2023

Jon Afrizal

Deforestasi di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

BERMULA dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang memperkirakan bahwa 420 juta hektare hutan di dunia dikonversi dari hutan menjadi penggunaan pertanian dan perkebunan pada tahun 1990 hingga 2020. Areal yang digunduli itu, tentu saja lebih luas dari luasan Uni Eropa yang hanya sekitar 4 juta hektare, yang terdiri dari 27 negara dengan total populasi 517 juta jiwa.

Tetapi, sebanyak 10 persen dari total konsumsi dari produk-produk yang menggunduli hutan itu adalah dari negara-negara Uni Eropa. Dimana minyak sawit dan kedelai menyumbang lebih dari dua pertiganya.

“Sampai hari ini, rak-rak di supermarket negara-negara Uni Eropa terlalu sering diisi dengan produk-produk yang tertutup abu hutan hujan yang terbakar dan ekosistem yang hancur secara permanen dan yang telah memusnahkan mata pencarian masyarakat dan penduduk asli. Terlalu sering, ini terjadi tanpa konsumen mengetahuinya,” kata anggota kelompok Partai Rakyat Eropa (EPP) dari Kristen Demokrat, Christophe Hansen, dikutip dari europarl.europa.eu.

Hingga akhirnya, pada tanggal 6 Desember 2022 parlemen Uni Eropa menyetujui untuk menghentikan laju deforestasi global. Pada penetapan undang-undang ini, disetujui oleh 552 suara, berbanding 44 suara, dan 43 suara lainnya menyatakan abstain.

Parlemen Uni Eropa telah menanggapi harapan warga negara terkait penegakan pengelolaan hutan yang bertanggungjawab untuk melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati.

Undang-Undang ini terkait dengan perdagangan antar negara. Sebab, produk yang disebut dalam undang-undang itu adalah; sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai, kayu, karet, arang, produk kertas cetak, dan juga turunannya.

Catatan yang diberikan parlemen, perusahaan juga harus memverifikasi bahwa produk ini mematuhi undang-undang yang relevan di negara produksi, termasuk hak asasi manusia, dan bahwa hak masyarakat adat yang terkena dampaknya tidak diabaikan.

Parlemen juga menetapkan definisi degradasi hutan yang lebih luas yang mencakup konversi hutan primer atau hutan yang beregenerasi secara alami menjadi hutan tanaman atau lahan berhutan lainnya.

Selanjutnya, komisi Uni Eropa akan mengklasifikasikan negara, atau bagiannya, dalam resiko rendah, standar, atau tinggi. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan penilaian yang objektif dan transparan dalam waktu 18 bulan sejak peraturan ini mulai berlaku.

Otoritas Uni Eropa akan mengakses informasi yang diberikan oleh perusahaan. Seperti titik koordinat geolokasi, dan melakukan pemeriksaan dengan bantuan alat pemantauan satelit dan analisis DNA untuk memeriksa dari mana asal produk.

Sanksi dari ketidakpatuhan ini akan diberikan kepada perantara dan pedagang. Yakni berupa denda sebesar 4 persen dari total omset tahunan di Uni Eropa.

Menurut data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Indonesia adalah negara pemasok di peringkat ke-22 untuk skala global, dengan persentasi marketshare ekspor sebesar 1,05 persen atau senilai US$ 6,48 miliyar. Produk-produk makanan asal Indonesia dipasarkan ke Belanda (US$ 34,84 juta), Italia (US$ 26,74 juta), Jerman (US$ 26,32 juta), Belgia (US$ 24,92 juta), Inggris (US$ 21,11 juta), Federasi Russia (US$ 17,98 juta), Spanyol (US$ 11,95 juta), Perancis (US$ 6,60 juta), Turki (US$ 5,91 juta), dan Portugal (US$ 5,86 juta).

Tetapi, terdapat beberapa tindakan regulasi yang melahirkan undang-undang baru Uni Eropa ini. Seperti regulasi tentang energi baru terbarukan, uji tuntas wajib, dan pelaporan dan penindakan.  Juga termasuk tindakan non regulasi, seperti dialog antar pemangku kepentingan dan penyediaan ruang hijau.

Akibatnya, produk-produk dari Indonesia seperti minyak sawit, kedelai, kayu, daging sapi, kakao, kopi dan turunannya dinilai berkontribusi terhadap deforestasi.

Diah Suradireja, senior advisor SPOSI KEHATI, menyebutkan diperlukan pemahaman terkait langkah-langkah kebijakan Uni Eropa ini. Terutama, katanya, pengaturan demand side (sisi permintaan) yang secara langsung mentargetkan pengaturan imported deforestation (produk impor yang bebas deforestasi).

“Definis terkait free deforestation harus menjadi kesepakatan bersama antara Uni  Eropa dan Indonesia dengan cut-off date yang disepakati,” katanya, dikutip dari sebijak.fkt.ugm.ac.id.

Sehingga, katanya, kepemilikan Sistem Ketelusuran Rantai Pasok, harus berada di Indonesia. Yakni berupa platform lintas sektoral dengan memastikan komoditi strategis yang berorientasi ekspor.

Fairness adalah kuncinya,” katanya.

Untuk itu pendekatan yuridiksi dan landsekap menjadi pendekatan yang sedang dikembangkan. Sebab peraturan Uni Eropa dibuat berdasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan dasar ilmiah dan metodologis yang kuat.

Sekarang, adalah, bagaimana Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip ini.*

avatar

Redaksi