Warga Rapatkan Barisan Tolak Stockpile Batu Bara
Hak Asasi Manusia
August 5, 2025
Junus Nuh/Kota Jambi

Rencana pelabuhan stockpile PT SAS. (credits: Walhi Jambi)
PERSOALAN pembangunan stockpile PT Sinar Anugrah Sentosa (SAS) hingga hari ini belum terselesaikan. Akibatnya, warga Aur Kenali, Mendalo Darat, Mendalo Laut, Penyengat Rendah, dan wilayah sekitarnya menyatukan kekuatan dalam Barisan Perjuangan Rakyat (BPR).
Tujuannya adalah: menolak dan menghentikan realisasi pembangunan stockpile batu bara ini.
“Kami tidak menolak investasi, tapi kami menolak investasi yang membawa maut dan menghancurkan lingkungan tempat tinggal kami,” kata Ketua BPR, Rahmat Supriadi, Sabtu (2/8).
Ia, atas nama warga, meminta kepada Wali Kota Jambi, Bupati Muaro Jambi, dan Gubernur Jambi untuk menjalankan mandat konstitusi dengan benar. Dan, melakukan pembangunan sesuai dengan peruntukannya.
Seorang warga, Aldi mengatakan bahwa pembangunan stockpile batu bara seluas 70 hektare ini akan berdampak buruk terhadap warga. Terutama terkait aspek kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
“Kami menolak pembangunan stockpile di dekat pemukiman warga dan sumber air bersih. Sebab, seluruh warga akan terdampak langsung,” katanya.
Persoalan pembangunan stockpile batu bara PT SAS telah beberapa bulan ini bergulir. Namun, tetap saja, hingga hari ini, tidak ada solusi konkret dari pemangku kebijakan untuk menghentikannya.
Meskipun, senyatanya, pembangunan stockpile batu bara ini tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi. Yang artinya, juga tidak sejalan dengan RTRW nasional.
Jika pun, atas nama investasi, pembangunan stockpile batu bara tetap dilaksanakan, maka pemerintah sebagai penyusun RTRW telah melanggarnya.
Adapun warga terdampak, didampingi oleh Walhi Jambi.
“Pembangunan stockpile ini adalah bentuk nyata dari perampasan ruang hidup rakyat. Dan juga ancaman serius terhadap kesehatan dan keberlanjutan lingkungan,” kata Direktur WALHI Jambi, Oscar Anugrah.
Menurut kajian Walhi Jambi, lokasi stockpile sangat dekat jaraknya dengan Intake PDAM di Aurduri. Yakni infrastruktur vital penyaring dan penyalur air bersih bagi sekitar 20.000 rumah tangga di Kota Jambi.

Intake PDAM di Aurduri. (credits: Walhi Jambi)
Jika pembangunan dibiarkan, maka, katanya, dapat berisiko mencemari sumber air dan berdampak luas terhadap kualitas hidup masyarakat.
“Pembangunan tidak selayaknya mengorbankan keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan,” katanya.
Jika ini dibiarkan, maka yang terjadi adalah sebuah kejahatan ekologis.
“Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 1, dan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, maka pemerintah harus berpihak pada keselamatan rakyat, dan bukan berpihak pada kepentingan modal,” katanya.
Meskipun, secara lokasi, stockpile ini berada di kawasan Aur Kenali Kecamatan Telaniapura Kota Jambi, namun, dampaknya dapat saja mengancam kesehatan dan keselamatan warga yang berada di Kecamatan Mendalo Darat Kabupaten Muaro Jambi. Sebab, kawasan Aur Kenali berbatasan langung dengan Kecamatan Mendalo Darat.
Untuk memahami persoalan ini, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi termaktub dalam Perda Kota Jambi Nomor 5 tahun 2024 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi Tahun 2024 – 2044” yang ditetapkan pada tanggal 25 Mei 2024 oleh Walikota Jambi dengan persetujuan DPRD Kota Jambi.
Dimana wilayah Aur Kenali termasuk dalam Sub Wilayah Perencanaan (SWP) VI. Yang terdiri dari; Kecamatan Telanaipura, sebagian Kecamatan Danau Sipin, dan sebagian Kecamatan Jelutung, dengan luas kurang lebih 2.897 hektare.
Fungsi utama SWP VI adalah sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jambi, perdagangan, jasa, pendidikan dan pariwisata. Ini sesuai dengan pasal 5 huruf 2 f Perda Kota Jambi Nomor 5 tahun 2024.
Dan, dalam pasal 5 ataupun pada fungsi SPW VI tidak ada penjelasan peruntukan ruang wilayah stockpile batu bara.
Maka, dengan adanya kegalauan ini, adalah lebih baik untuk mengutip siplawfirm. Dimana, RTRW adalah dokumen perencanaan yang disusun oleh pemerintah untuk mengatur pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah.
Tujuannya adalah untuk menciptakan tata ruang yang teratur, serasi, dan seimbang, antara aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dokumen RTRW juga berfungsi sebagai panduan bagi pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah untuk jangka waktu tertentu.
Dalam prakteknya, RTRW dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang, memastikan penggunaan ruang sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah. Ini bertujuan untuk menghindari konflik pemanfaatan lahan dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Yakni menjamin keseimbangan antara pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Penetapan RTRW telah diatur melalui beberapa peraturan perundang-undangan.
Yakni; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang “Penataan Ruang”, Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2021 tentang “Penyelenggaraan Penataan Ruang”, dan, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang “Percepatan Pelaksanaan Program Pembangunan Infrastruktur Prioritas”,
Lalu, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2021 tentang “Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang”, dan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang “Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang “Cipta Kerja menjadi Undang-Undang”.
Lantas, bagaimana drama selanjutnya?*

