Puteri Liung Dari Borneo

Budaya & Seni

December 16, 2025

Junus Nuh

Perempuan Dayak. (credits: Maria Mellisa Christiani)

“Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.” (Adil kepada sesama manusia, bercermin seperti di surga, napas hidup dari Tuhan). Filosofi Dayak

TANAH Lingo di Pulau Kalimantan, di era lampau. Tengah terjadi kemarau panjang. tanaman tidak menjadi, hutan-hutan sudah banyak yang kering dan terbakar, sungai-sungai tidak berair lagi, dan batu-batuan berpecahan karena teriknya sinar matahari.

Bahaya kelaparan mengancam penduduk desa, di mana-mana terjadi pembicaraan di antara warga. Mereka, masing-masing mengemukakan pendapatnya tentang sebab dari keadaan yang begitu mengancam ini.

Para tetua kampung pusing dan gelisah menghadapi bahaya yang mengancam penduduk.

Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, para penduduk lalu menyerahkan persoalan itu kepada seorang Datu sebagai pimpinan tertinggi dari keluarga-keluarga di Tanah Lingo. Baritu Taun, demikianlah nama datu yang diserahi tugas berat itu.

“Kami serahkan persoalan ini padamu, Datu. Agar engkau dapat mencarikan solusinya,”
 kata penduduk beramai-ramai.

Ia lalu memusatkan seluruh kemampuannya agar dapat menemukan sebab dari kondisi yang begitu mengancam sekarang. Setelah cukup lama pun akhirnya mengetahui penyebabnya.

Bahwa; tak lain karena banyak manusia yang telah melanggar larangan-larangan yang dipesan oleh para leluhur, karena bebas bercinta tanpa ikatan perkawinan yang sah antara jejaka dengan gadis-gadis, meraja-lelanya permusuhan dengan alasan satu sama lain dan soal-soal yang remeh temeh, dan, semakin banyaknya perampasan hak milik seseorang antar seorang dengan orang lainnya.

Demikian besar dosa yang telah dilakukan oleh penduduk, sehingga untuk mendapatkan keampuhan dari leluhur. Bahwa haruslah ada salah seorang di antara mereka yang rela mengorbankan jiwanya, mengalirkan darah di atas bumi yang kering ini.

Solusi itu kemudian disampaikan oleh Baruti Taun kepada orang banyak.

Ornamen Dayak. (credits: Dep P dan K)

Beragam tanggapan dan pikiran yang timbul di antara mereka. Orang-orang yang terang telah melakukan pelanggaran tidak ada yang berani mematuhi panggilan suci dari arwah nenek moyang mereka itu.

Tidak seorang pun di antara mereka yang berani menebus perbuatannya itu dengan pengorbanan jiwa.

Segolongan orang-orang tua menyerahkan agar diadakan undian saja. Agar mereka mengetahui sesiapa diantara penduduk yang dikehendaki oleh leluhur untuk menjadi korban.

Namun, pendapat ini kemudian ditentang oleh yang lain. Sebab, jika undian itu dilakukan, maka berarti bahwa pengorbanan itu bukanlah atas dasar kerelaan hati yang betul-betul timbul dari keinginan yang suci untuk berkorban demi kepentingan orang banyak.

Sebagian lagi ada yang bersikap masa bodoh dengan kndisi ini. Mereka itu mengatakan bahwa biarkanlah para leluhur berbuat sekehendak hatinya, sampai leluhur itu sendiri yang puas atau jemu dengan kondisi ini, atau biarkanlah dunia ini hancur kalau memang dikehendaki.

Pendapat seperti itu sangat disayangkan oleh Baritu Taun, dan ia tidak memahami mengapa penduduk enggan untuk berkorban. Sedangkan pengorbanan itu adalah untuk orang banyak yang sebenarnya juga untuk menutupi kesalahan mereka sendiri.

“Mengapa hilang sifat-sifat kepahlawanan yang telah diwariskan oleh leluhur, hingga para penduduk hanya berani berbuat tetapi tidak berani menanggung akibatnya.” Demikian Beritu Taun bergumam dalam hati.

Suasana di lingkungan keluarga Baritu Taun bertambah gempar. Sebab keluarganya sedang menyibukan diri untuk mencari yang akan dijadikan korban.

Secara tiba-tiba, tampillah seorang gadis remaja, Puteri Liung, anak dari Baritu Taun sendiri.

“Aku sanggup dan rela mengorbankan jiwanya sebagai tebusan dosa-dosa yang selama ini diperbuat oleh manusia,” kata Puteri Liung.

Semua orang di Rumah Panjang terkejut dengan keputusan Puteri Liung. Beberapa dari mereka menganjurkan agar Datu Baritu Taun tidak mengabulkan permintaan itu.

Jikalau mungkin, dalam waktu dekat, akan ada orang lain yang rela untuk berkorban. Demikian kata mereka.

Maka timbullah pertentangan di dalam batin Baritu Taun; antara menyetujui atau tidak, permintaan puterinya itu. Terlebih, Puteri Liung ada!ah puteri yang sangat disayanginya.

Tetapi selaku Datu, berat pula baginya untuk menolaknya. Apalagi permintaan itu datang dari anak kandungnya sendiri.

“Apa yang kira-kira yang akan dikatakan oleh rakyat banyak nanti, jika aku sampai ia menolak permintaan itu?” tanyanya kepada dirinya sendiri.

Batang Biaju Besar (Sungai Kahayan) Kalimantan Tengah. (credits: Hutan Itu)

Pun, istri dari Datu Baritu Taun selalu mendesak agar permintaan sang puteri itu jangan dikabulkan.

Namun, permintaan Puteri Liung ini telah menjadi satu keputusan yang tidak dapat lagi dihalangi oleh siapapun juga. Berulang kali Puteri Liung meminta kedua orang tuanya agar merelakan saja permintaan itu.

Lalu, dalam kondisi yang begitu membingungkan, Datu Baritu Taun mengumumkan kepada warga bahwa leluhur telah menghendaki pengorbanan Puteri Liung.

“Kehendak leluhur ini harus diterima oleh semua orang dengan penuh ketenangan,” katanya kepada penduduk.

Baritu Taun kemudian memukulkan sebatang tongkat bambu yang berisi batu-batu kecil ke sebuah tiang sebagai tanda jatuhnya keputusan terakhir. Warga yang hadir kala itu, sangat kagum menyaksikan betapa kuatnya Baritu Taun memegang adat dan peraturan.

Lalu, dua orang petugas adat segera mempersiapkan pelaksanakan pengorbanan Puteri Liung, dan ia pun dibawa ke luar wilayah perkampungan. Tentu saja, dengan diiringi banyak orang.

Hingga sampailah mereka di sebuah tanah lapang yang terbuka. Sebagai tempat dimana upacara pengorbanan akan dilangsungkan.

Tepat di tengah tanah lapang, telah berdiri tegak Puteri Liung dengan pakaian upacara adat. Kedua petuga adat, yang adalah algojo, kemudian menjalankan tugasnya.

Tak lama kemudian, darah pun bersemburat dari tubuh Puteri Liung, jatuh membasahi tanah di sekitarnya.

Tanpa jeritan, dan wajah Puteri Liung tetap berseri-seri. Sementara tubuhnya telah jatuh lunglai ke bumi. Sebagai tanda setianya terhadap para leluhur.

Warga yang menyaksikan upacar pengorbanan itu seolah tercekat, dan menutupi matanya seperti tidak ingin menyaksikan pengorbanan Puteri Liung.

Sementara di langit, kilat sambar-menyambar, awan berkumpul menjadi mendung, dan hujan lebat turun membasahi bumi.

Alam yang sedang berduka, dan turut mengantarkan perdinya puteri sang Datu.

Hujan lebat turun berhari-hari, tidak berjeda.

Para leluhur telah mengampuni dosa penduduk dengan adanya pengorbanan dari Puteri Liung.

Setelah hujan reda, alam pun kembali cerah. Tanaman mulai menghijau, dan penduduk desa terhindar dari bahaya kelaparan.

Air sungai kembali mengalir seperti biasa, hutan-hutan kembali menghijau, satwa-satwa pun telah pulih seperti biasa.

Sementara itu, ibu dari Puteri Liung kembali ke tanah lapang, untuk melihat tempat upacara pengorbanan Puteri Liung. Di sana, ia menemukan semacam tumbuhan yang menyerupai rumput dengan buahnya yang berbulir-bulir.

Sejak itulah untuk pertama kalinya penduduk mengenal apa yang dinamakan tumbuhan padi.

Adapaun Puteri Liung, dianggap telah menjelma pada butir-butir padi dan dinyatakan sebagai dewi pertanian.*

*Dinukil, diedit tanpa mengurangi arti, dan dipublished kembali dari buku “Folklore Kalimantan Tengah”, terbitan Dep P dan K.

avatar

Redaksi