Zabag, Dimana?
Budaya & Seni
November 3, 2025
Jon Afrizal

Peta Samudera Hindia abad ke 12 M oleh Al-Idrisi. (credist: Wiki Commons)
“Di antara adat raja-raja Negeri Emas dan Zabaj bahwa tidak dibenarkan seseorang pun baik dia itu orang muslim, orang asing atau rakyat setempat duduk dihadapan mereka melainkan dengan cara melipatkan kaki, yaitulah yang dinamakan oleh mereka sebagai bersila.” Buzurg bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi
ZABAJ (: Zabag, Sabag) berasal dari kata Sababija (Sabaj). Demikian menurut Gabriel Ferrand, sejarawan tentang Asia Tenggara dalam Encyclopaedia of Islam volume empat.
Ferrand menyebutkan bahwa Sababija (Sabaj) adalah orang Nusantara yang telah bermigrasi ke Timur Dekat, yakni wilayah Arab dan sekitarnya.
Encyclopaedia of Islam adalah karya rujukan yang berisi ringkasan informasi tentang seluruh aspek Islam dan dunia Islam. Ensiklopedia ini diterbitkan oleh Brill Publishers di Leiden. Edisi pertama, yang berisi 5 volume diterbitkan pada tahun 1913 hingga 1938.
Seluruh aspek Islam dan dunia Islam yang dimaksud adalah geografis dan sejarahnya. Sejak dari kekaisaran Arab-Islam lama, negara-negara Islam Iran, Asia Tengah, sub-benua India dan Indonesia, Kekaisaran Ottoman dan seluruh negara Islam lainnya.
Juga, orang-orang Muslim terkemuka dari setiap zaman dan tanah, suku dan dinasti, kerajinan dan ilmu pengetahuan, lembaga-lembaga politik dan agama, pada geografi, etnografi, flora dan fauna dari berbagai negara, dan sejarah, topografi dan monumen kota-kota besar dan kota-kota kecil.
Terdapat pula sebuah pulau atau kepulauan dalam legenda Seribu Satu Malam pada abad pertengahan di Timur Tengah. Kepulauan itu disebut dengan nama al-Waqwaq.
Nama al-Waqwaq juga sering disebutkan dalam catatan para musafir dan geografer Islam. Meskipun, pendapat para musafir berbeda-beda terkait penentuan lokasi tepatnya al-Waqwaq.
Seperti; Kepulauan Zabag atau Nusantara (Jawa dan Sumatera), pantai Afrika, kepulauan Seychelles, kepulauan Asia Tenggara, kepulauan Jepang, dan seterusnya.
Titik terang muncul ketika Buzurg bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi menulis buku Aja’ib al-Hind Barrihi wa Bahrihi wa Jaza’irihi pada tahun 953 M. Buzurg menjelaskan bahwa bangsa al-Waqwaq berkemungkinan adalah orang-orang di Kerajaan Medang Kuno.
Lalu, Prof. Gerini dalam Research of Ptolemy’s Geography menyatakan bahwa kata Zabaj berasal dari bahasa Sanskrit, untuk pulau Jawa. Yakni: Chavakha, Javaka, Jabaj, dan Zabaj.

Ilustrasi Orang Waqwaq dalam legenda “Seribu Satu Malam” oleh Muhammad ibn Muhammad Shakir. (credist: Wiki Commons)
Menurut Gerini, huruf -k- dalam Javaka berubah menjadi huruf -j- dalam Zabaj. Ini terjadi karena sama halnya seperti kata “jati” yang dalam bahasa Sanskrit disebut shaka dan menjadi saj dalam Bahasa Arab.
Kemudian, Ibn Khurdadzbih dalam buku Masalik wal Mamalik (Jalur dan Kerajaan) menjelaskan bahwa Zabaj berada di kepulauan yang terletak setelah Serandib, yakni antara Ceylon hingga Svarnadwiva (Sumatra), yang berada di tengah-tengah India dan Cina.
“Di sini ada daerah Zabaj yang dikuasai oleh Maharaj. Di kerajaan ini juga ada pulau yang disebut Burthail yang sepanjang malam selalu terdengar suara gendang,” demikian ditulis Ibn Khurdadzbih.
Masalik wal Mamalik yang ditulis sekitar tahun 870 Masehi adalah tentang geografi dan perjalanan dari masa Islam abad pertengahan yang menjelaskan tentang masalik (jalur-jalur) dan mamalik (kerajaan-kerajaan).
Buku ini mendokumentasikan dan memetakan jalur perdagangan utama, geografi, budaya, dan politik dunia. Seperti; Jepang, Korea, dan Cina, serta wilayah-wilayah Islam dan Asia Tenggara.
Selanjutnya, Gerini berpendapat bahwa Pulau Burthail yang ramai dengan suara berisik di dekat Zabaj adalah daerah Riau.
Menurut Gerini, kata “Riau” berasal dari kata riuh yang berarti ramai atau berisik. Deskripsi Riau ini sangat sesuai dengan keterangan Ibn Khurdadzbih tentang Burthail.
Buku Nuzhat al-Mushtaq (: Opus Geographicum) karya Muhammad al-Idrisi menyatakan bahwa Zabaj (Ranaj) ini dekat dengan sebuah gunung. Gunung ini dalam buku lain disebut terletak di Salahat dan dekat dengan Pulau Jabah.
“Salahat” kerap diidentifikasi oleh para ahli sebagai “selat”. Berkemungkinan adalah yang kini disebut Selat Sunda dengan Gunung Krakataunya.
Ahmad Ibn Yahya al-Baladhuri Baladzuri menjelaskan dalam Futuhul Buldan menjelaskan tentang Sababija.
“Kaum Sababijah, Zuthth, dan Andagar ini dulu termasuk tawanan dan pasukan Persia. Orang Persia menganggap mereka berasal dari Sind. Ketika mereka mendengar Kaum Oswari masuk Islam, Sababija dan Zuthth mengikuti jejak Oswari dan mendatangi Abu Musa. Oleh Abu Musa mereka ditempatkan di Basrah.”
Pada masa pemerintahan Sayyidina Umar RA, ketika kelompok ini bekerja sebagai penjaga gerbang (jalawiza) dan sipir penjara, di Basrah. Selanjutnya, sekitar tahun 50 Hijriyah, beberapa orang Zuthth dan Sababijah ini kemudian dipindah ke Antakya, Turki oleh Khalifah Muawiyah.

Kampong Saba (: Muara Sabak) pada “Midden Sumatra Expeditie” tahun 1877 hingga 1879. (credits: Tropen Museum)
Sehingga, Orang Sababijah (Nusantara) telah masuk Islam sejak zaman Umar dan menjadi penjaga Baitul Mal di masa Khalifah Ali.
Migrasi penduduk Nusantara, kata Ferrand, adalah karena banyak dari mereka bekerja di kapal-kapal besar yang mengunjungi banyak wilayah.
Bahkan, Zakariyya al-Qazwini dalam bukunya Athar al-Bilad wa-Akhbar al-Ibad menyatakan bahwa Orang dari Nusantara, yang merujuk pada orang dari Kalimantan, telah mengkoloni Madagaskar sebagaimana ditulis oleh Qazwini.
Orang Sababijah yang juga difungsikan sebagai pengusir bajak laut di masa itu. Prof. Hirth di buku Chau Ju-Kua: His Work on The Chinese and Arab Trade menyatakan Bangsa China menyebut orang-orang yang berasal dari kepulauan Melayu sebagai: Kun-lun (: meleu colon).
Beberapa peneliti sejarah menjelaskan kemungkinan bahwa Orang Kun-lun berasal dari Borneo. Dan, seperti buku dari al-Qazwini, orang Kalimantan telah berkoloni di Madagaskar.
Sehingga, itulah mengapa, jika silsilah raja-raja Melayu sering mengaitkan diri dengan Anushirvan (Khosrow I), raja Persia yang berkuasa dari tahun 531 hingga 579 M. Sebagaimana selanjutnya, nama Iskandar Zulkarnain pun terikut serta.
Meskipun, secara genetik dan DNA belum didapatkan kejelasannya.
Sebab, menurut Baladzuri, Orang Sababijah saat itu berada di Thuf (: Bahrain dan Oman), wilayah yang saat itu dikenal dengan tingginya intensitas perdagangan.
Berdasarkan buku-buku para travelog itu, maka penelitian mengaitkan Zabag dengan Sriwijaya. Serta, juga memperkirakan lokasinya berada di suatu tempat di Jawa, Sumatra, atau Semenanjung Malaya.
Bahkan, beberapa sejarahwan Indonesia menyatakan bahwa Zabag sama dengan Sabak (: Muara Sabak) sebuah wilayah yang kini adalah Kabupaten Tanjungjabung Timur, yang terletak di muara sungai Batanghari, di Provinsi Jambi.
Sejauh mana kebenarannya, tentu, lagi-lagi, butuh penelitian lanjutan. Sebab, nama setiap daerah, akan selalu berganti, mengikuti jaman dan orangnya.*
