Masuknya Islam Untuk Kedua Kali Di Jambi

Ekonomi & Bisnis

September 23, 2024

Jon Afrizal

Pedagang Arab di era Silk Road. (credits: gettyimages)

ISLAM, diketahui disebarkan sebanyak dua kali di Jambi. Yakni, pada masa Jalan Sutera, ketika perdagangan rempah melintasi Nusantara, termasuk Jambi, kala itu. Selanjutnya, pada tahap yang kedua, pada abad ke-16, dan tetap dengan menggunakan jalur perdagangan.

Kevakuman yang terjadi, setelah era Silk Road, menyebabkan, kembalinya masyarakat pada tradisi-tradisi keagamaan pola lama.

Namun, harus diakui, masuknya Islam ke Jambi di kali yang kedua ini, telah memberikan dampak yang luas pada tatanan kehidupan berkerajaaan dan bermasyarakat. Ketika Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, maka hukum dan aturan pun akan mengikutinya.

Anthony Reid dalam bukunya, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450 – 1680, menyebutkan bahwa Islam mempunyai pengaruh yang jelas terhadap prosedur perdagangan. Sebab bagian dari hukum perundang-undangan Melayu, juga termasuk Jambi, yang berkaitan dengan perdagangan, sebagian besar dipinjam dari hukum Islam.

Seperti kata-kata untuk konsep seperti muflis (bangkrut) yang masuk ke dalam kasanah bahasa Melayu, adalah berasal dari bahasa Arab.

Pada hukum ini, tidak secara eksplisit mengatur tentang “bunga karena riba”, sebagai sesuatu yang diharamkan dalam Islam, karena terkait dengan praktek lintah darat.  Tapi hukum ini menyetujui terkait pembagian keuntungan, seperti pada pelaksanaan perbankan Syariah pada saat ini.

Dan, yang terpenting dalam pola tata kerajaan, dimana gelar-gelar raja dan bangsawan, yang semula adalah menggunakan bahasa lokal, secara tidak langsung pun terpengaruh.

Ini adalah era penting, dimana Kerajaan Jambi berubah menjadi Kesultanan Jambi. Dan Raja Jambi berubah menjadi Sultan Jambi.

Mengutip Arif Rahim dari Program Studi Sejarah, FKIP Universitas Batanghari dalm penelitian berjudul Kerajaan Jambi dan Pengaruh Islam, terdapat dua kelompok penyebar agama Islam di Jambi.

Keduanya, berasal dari tanah Arab dan sekitarnya, yang kemudian menetap di Jambi. Yakni kelompok Sayid dan kelompok non Sayid.

Kelompok Sayyid, datang ke Jambi sejak dari abad ke-17 hingga awal bad ke-19. Kelompok ini dipimpin oleh Habib Husein Baraghbah. Ia dipandang sebagai waliyullah, dan berasal dari kota Tarim Hadramaut, Yaman Selatan.

Sementara, kelompok non sayid, dipimpin oleh Mohammad Syufi Bafadal.

Dalam menjalankan dakwah Islam, kedua kelompok ini, bekerja sendiri-sendiri. Meskipun, terkadang, saling bantu.

Agar nyaman diterima oleh rakyat Jambi, tentu saja harus ada strategi yang diterapkan. Maka, Islam pada awalnya disebarkan ke kalangan istana dan para bangsawan.

Sebab, kalangan ningrat memiliki kewibawaan, dan perkataannya akan diikuti oleh rakyat kerajaan. Sehingga, penyebaran Islam tidak terganggu.

Setelah diterima istana, maka, dakwah pun menyebar ke para pemimpin adat dan pemuka masyarakat, ninik mamak dan tua tengganai.

Selain itu, kelompok Arab ini pun menikah dengan keluarga kerajaan. Seperti, Sayyid Idrus bin Hasan Aljufri, yang menikahi Ratumas Maryam, putri Sultan Jambi Ahmad Nazaruddin.

Sultan Taha, adalah sultan terakhir Kesultanan Jambi di abad ke-19, dan ketika ia menjabat sebagai sultan, akibat pemberontakannya, maka, kesultanan Jambi dibekukan oleh Belanda pada tahun 1906. Perlawanan Sultan Taha terhadap Belanda, membuat ia didapuk sebagai Pahlawan Nasional.

Sayyid Idrus adalah anak dari Sayyid Hasan Aljufri, ulama sekaligus seorang saudagar kaya. Ia memiliki kapal api dan kapal layar.

Ini pula yang dikatakan oleh Anthony Reid. Bahwa, selain keluarga-keluarga raja, pedagang-pedagang Cina adalah pelaku ekonomi terpenting di kerajaan-kerajaan Nusantara, termasuk Jambi pada masa itu.

Namun, posisi-posisi penting dalam ekonomi hanya didapat melalui izin sultan. Dengan pengaruh Islam yang menguat, maka, di Jambi, posisi syahbandar telah dipegang oleh orang Cina beragama Islam.

Syahbandar kala itu, adalah jabatan penting. Syahbandar  adalah orang yang menentukan bagi kesultanan untuk menjalin kemitraan dengan pihak pedagang dari luar.

Dan, bukanlah secara kebetulan. Dimana posisi Jambi kala itu, memiliki pelabuhan Sungai Batanghari yang banyak didatangi pedagang dari luar. Yakni Cina, India, Turki, Arab, Persia dan Eropa.

Kedudukan sultan kala itu, tidak hanya sebagai pemimpin politik wilayah Jambi saja. Melainkan juga sekaligus sebagai pemimpin agama negara.

Sultan dan keluarganya adalah juga bagian dari pelaku ekonomi. Acapkali, sultan  adalah sebagai pemilik modal.

Ia meminjamkan modalnya kepada orang lain untuk tujuan keuntungan usaha. Pola perhitungan yang diterapkan adalah bagi hasil, ataupun, terkadang, dengan cara-cara membayar bunga.

Kelompok Arab, datang ke Jambi sebagai pedagang. Seperti yang terungkap pada awal essay ini.

Namun, mereka, tidak hanya sekaligus datang saja, melainkan berkali-kali.

Habib Husein Baraqbah, misalnya. Ia tercatat pertama kali datang ke Jambi, tanpa keluarga. Setelah itu, ia datang kembali ke Jambi dengan membawa keluarga dan clan-nya dari Hadramaut.

Dengan banyak pihak yang terlibat, penyebaran Islam tidak hanya di kawasan Istana Tanah Pilih saja, yakni Kota Jambi dan sekitarnya saat ini, yang berada di pinggir Sungai Batanghari. Melainkan juga hingga ke huluan Jambi, atau bahkan terus menuju ke wilayah hilir.

Bukti itu masih dapat ditemui saat ini. Clan Arab masih dapat ditemui di daerah Lubuk Nyiur Tanah Tumbuh, Kabupaten Tebo. Atau bahkan di Teluk Majelis, Muara Sabak dan daerah lainnya.

Pengaruh Islam yang kuat pada Kesultanan Jambi telah membuat Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan. Kondisi ini, pun mempengaruhi aspek sosial budaya di lingkungan istana.

Islam mempengaruhi cara pandang terhadap kehidupan, cita-cita, norma-norma ketertiban dan juga sanksinya. Ketentuan-ketentuan kemasyarakatan pun, yang pada awalnya mengacu pada budaya lama, bernagsur-angsur berubah menjadi berdasarkan Islam.

Sehingga, secara perlahan, terjadi pula perubahan pada masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ritual agama. Kepercayaan terhadap dewa-dewa dan roh nenek moyang, dan juga benda-benda keramat, mulai ditinggalkan, dan berganti dengan kepercayaan yang utuh terhadap Allah, selaku pemeluk Islam.

Bukti kuatnya pengaruh Islam di Kesultanan Jambi, sebagai contoh, dapat ditemui pada makam raja-raja dan kerabatnya. Yakni di Kompleks Makam Taman Raja-Raja di Kampung Baru, Broni, Kota Jambi.

Disana dimakamkan dua orang sultan Jambi, yakni Sultan Baring, dan Sultan Mahmud Baharuddin dan istrinya Ratu Aisyah. Dan juga terdapat makam Raden Mat Taher, panglima perang Kesultanan Jambi yang diberi julukan Singo Kumpe.

Dengan pola makam yang menggunakan adab Islam. Sama seperti makam-makam lainnya di Nusantara kala itu, yang terpengaruh dengan budaya dan agama Islam.*

avatar

Redaksi