Mengingat “Undang-Undang Lohok Tiga Laras”
Resonansi
August 11, 2025
Jon Afrizal

Makam Putri Selaras Pinang Masak di Desa Pemunduruan Kumpe Ulu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Inilah hukum akal yang tiga martabatnya seperti hadis dengan dalil adakah bercerai keduanya itu; inilah hukum Adat yang tiga martabatnya, seperti tubuh dengan nyawa adakah ia bercerai keduanya itu; inilah hukum Kitab Allah dua martabat inilah artinya malam dengan siang adakah ia bercerai keduanya itu; inilah hukum Allah dua martabat gaib, lahir dengan batin adakah ia bercerai keduanya. Tamat kalam wa l-Lahu a’lam bi s-sawab.”
NASKAH “Lohok Tiga Laras” adalah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah yang berasal dari Jambi ini, ditulis pada kertas dengan tinta hitam. Sayangnya, tidak diketahui siapa penulisnya, dan tidak diketahui tahun berapa diterbitkan.
Naskah ini adalah sebagai undang-undang. Yakni mengenai peraturan, sopan santun dan adat yang berlaku di wilayah Kerajaan Jambi.
Adapun yang dimaksud dengan Undang-undang dalam naskah kuno ini ialah adat dalam masyarakat Minangkabau dan Kerajaan Jambi.
Kata “adat” disadur dari bahasa Arab, yakni “adab”. Yang memiliki arti luas, kira-kira, yang berhubungan dengan: kesopanan, tata krama, etika, dan perilaku terpuji.
Hilderia Sitanggang dalam buku berjudul “Lohok Tiga Laras”, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan tahun 1995, menjelaskan bahwa naskah ini ditulis dengan menggunakan Arab (Jawi), berbahasa Melayu bercampur bahasa Minangkabau.
Naskah undang-undang ini, terdiri dari 29 pasal.
Naskah dimulai dengan kata “Bismillah Hirrohmanirrohim” dengan huruf Arab.
Adapun ketentuan-ketentuan serta peraturan-peraturan yang tertera di dalam undang-undang ini cukup mendasar untuk dijadikan pedoman, dan ditaati oleh masyarakat pendukungnya. Sebab, undang-undang itu tidak memihak kepada siapapun.
Jika pun ada di antara orang-orang tertentu yang tidak dapat dikenakan sanksi, walaupun ia melanggar undang-undang. Namun, keputusan ini telah melalui berbagai pertimbangan mufakat.
Seperti, anak di bawah umur, yang tidak dapat dihukum adat. Pun juga orang tua yang sudah lanjut usia, serta raja atau penghulu.
Selain itu “Lohok Tiga laras” juga memuat tentang pemberian gelar. Setiap orang yang layak menerima gelar, umumnya adalah orang terkemuka di suatu tempat.
Pemberian gelar ini terhadap seseorang disesuaikan pada orangnya, tempatnya atau lingkungannya.
Sebagai contoh, pemberian gelar Dipati Setio Dirajo yang diberikan kepada orang yang sangat setia kepada raja. Juga, gelar Dipati Setio Beti yang diberikan kepada seseorang yang setia menjaga raja.
Sebagai latar belakang, dapat diulas, bahwa tata cara adat yang terdapat di daerah Minangkabau berpenetrasi pada tata cara adat masyarakat Jambi dan Kerinci. Sementara itu, agama Islam masuk ke Minangkabau dan Jambi sekitar abad 14 dan 15 Masehi.
Sehingga, terjadilah perpaduan dari agama Islam dan tata cara adat, dimana nilai-nilai agama lebih dominan dan nilai-nilai adat mengalami penyusutan. Ini dapat dilihat pada prasa, “Adat menurun, syarak mendaki”.

Patung Adityawarman di Museum Siginjei, Kota Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Hukum syarak adalah kesepakatan dari kaum ulama. Sedangkan hukum adat adalah kesepakatan penghulu di dalam negeri.
Tetapi kedua hukum ini bersumber dari al Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Sehingga, hukum adat dapat dijalankan jika, “Sesuai kata adat, benar kata syarak, dan syah kata Kitabullah”.
Pada naskah “Lohok Tiga Laras” diungkapkan bahwa “adat nan diadatkan” diterima oleh orang tua-tua dari Datuk Ketumenggungan dan Perpatih Nan Sabatang. Kemudian, diterimakan “cupak nan dua kata, undang-undang nan empat, negeri nan empat”.
Yakni, setiap negeri yang memiliki pemerintahan yang tersusun, dengan ukuran asli dałam negeri iłu, begitu juga di daerah Jambi.
Sehingga, Cupak asli adalah, gantang yang pepat (rata), bungkal yang piawai, kerja yang betul, berjenjang naik bertangga turun, yang bertitik dan berbaris (teratur), jauh boleh ditunjukkan (diberitahu tempatnya) dekat boleh dipegangkan.
Cupak asli berisi nilai-nilai yang mereka terima secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Seperti nilai yang ada dalam filsafatnya.
Sementara Cupak buatan adalah; hasil permufakatan dari buah pikiran orang-orang pintar, seperti; penghulu, dubalang, alim ulama yang berakal, atau hasil permufakatan anak negeri yang pintar, dan, diterima anggota masyarakat pendukungnya.
Cupak buatan adalah nilai-nilai yang dibuat kemudian atas kesepakatan, atau karena keterpaksaan keadaan.
Perselisihan yang terjadi antara dua datuk; Datuk Ketumenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, telah menyebabkan Datuk Perpatih Nan Sabatang pergi keluar dan meninggalkan wilayah Minangkabau.
Selama perjalanan ke daerah-daerah di sekitar Kerinci, dan Jambi, ia mempenetrasi adat Jambi, dengan adat dan undang-undang yang telah ia susun di Minangkabau.
Pun, menurut adat Jambi, dimana, “Undang-undang Minangkabau, tahta Jambi”.
Undang-undang adat dari Minangkabau itu tidak diterima begitu saja oleh masyarakat Jambi pada waktu itu. Satu persatu undang-undang itu diteliti.
Undang-undang yang sesuai dan memungkinkan untuk diterapkan di Jambi, akan diterima menjadi undang-undang Jambi.
Sedangkan undang-undang yang tidak cocok untuk masyarakat Jambi, “dikembalikan” ke Minangkabau.*

